30 Desember 2008

Renungan Penghujung Tahun...

Akhir Desember…
Satu tahun lalu…

Berbagai masalah mendera. Orang yang seharusnya menjadi teman terbaikku pun ikut menjerumuskan hidup ke dalam persoalan yang tiada henti. Dan mencapai klimaksnya ketika aku harus terusir dari rumah diantar tangisan. Demi jagoanku bisa terus sekolah dan tidak dibawa pergi dari kota kecilku, kutinggalkan rumah, keluarga, usaha dan segala yang pernah ku miliki. Hanya sebuah ransel butut berisi dua stel kaos yang dicampakkan ke lantai yang aku bawa.

Beberapa hari aku merenung di CyberNet tempatku berteduh sementara aku mencari bekal penyambung hidup. Sampai akhirnya aku putuskan untuk hijrah mencari kehidupan baru. Dan aku pun pergi dari kota kecil penuh kenangan itu tanpa teman, tanpa ucapan selamat jalan, bahkan tanpa identitas, apalagi dompet. Hanya ransel butut pembungkus kepedihan dan bayang tangis jagoan saja yang aku bawa.

Terlunta-lunta dari kota ke kota kujalani. Tanpa bekal memadai membuatku kadang harus bertahan di suatu tempat hanya untuk mencari pengganjal perut. Banjar, Tasik, Bandung, Jakarta, Tangerang, Solo, Jogja dan akhirnya kembali ke Jakarta dengan satu tekad yang makin membulat.

Aku tak boleh setengah-setengah mendobrak cobaan ini. Aku putus hubungan ke semua yang pernah aku kenal. Teman, keluarga dan semua yang pernah dekat bahkan tak tahu dimana keberadaanku. Aku harus benar-benar menjadi bayi yang tak memiliki daya apa-apa. Aku harus memulai semuanya dari titik paling minimal.

Jalan layang dan anak-anak jalanan sebelah halte busway Central Senen adalah pengisi hari-hari awal aku memulai kehidupan baru. Anak-anak yang sebenarnya belum boleh merasakan kerasnya hidup menjadi pendorongku untuk bisa bangkit dan belajar merangkak. Saat itu aku bertekad untuk bisa bangkit dalam waktu dua tahun.

Kehidupan Ibu Kota yang katanya keras malah mendekatkanku dengan teman-teman baru dan teman-teman yang selama ini hanya aku kenal di internet. Dari sekedar kerja serabutan angkat junjung karung di Pasar Senen, mengobrak abrik instalasi listrik atau komputer, akhirnya aku bisa duduk di belakang meja komputer admin website di ManetVision berkat bantuan Kang Maya. Disana aku bisa banyak belajar tentang marketing kepada Pak Roni Yuzirman founder TDA Community. Apalagi urusan jualan busana muslim, aku tak punya pengalaman sama sekali.

Dibantu Lik Ihin aku bisa mengontrak sebuah kamar kosong di bilangan Asyirot. Dari Kanthong, teman lama mantan pasukanku di Purwokerto dulu aku bisa mendapat satu unit CPU untuk menemani hari-hari sepiku dengan monitor pinjaman dari StarLight Printing. Support dari teman-teman AMIKOM Yogyakarta dengan buku-bukunya sangat mendukung proses pembelajaranku.

Kebiasaan nebeng internet di StarLight telah menarik perhatian komandan SA Communication dan menawariku untuk bekerja freelance menyiapkan sebuah website untuk usaha barunya. Aku minta waktu 3 bulan untuk mengorbitkan bakal website di mesin pencari. Dan sebulan berikutnya untuk beberapa keyword yang ditarget, website Tujuh Bintang sudah masuk di halaman pertama google.

Sampai akhirnya aku dilempar ke Jogja untuk membangun sebuah galeri dari nol dengan dukungan total juragan SAComm dan pasukan tukang dibawah kendali pak Wahidin. Dunia seni rupa yang merupakan hal baru bagiku tak membuatku surut. Petunjuk dari Bapak Sumadji dan seniman-seniman Jokja mampu membuka mataku tentang nilai sebuah seni kehidupan.

Geliat kehidupan Jokja telah benar-benar menarik hatiku untuk menetap. Aku putuskan untuk tidak kembali ke Jakarta apapun resikonya. Jokja teramat damai buatku. Aura magis titik nol kota ini membawa kedamaian yang telah mampu menepis segala gundahku akan sebuah kenyataan bahwa aku masih saja hidup dalam kesendirian.


Menjelang Lebaran…
Sepuluh bulan kemudian …

Sejak awal aku bertekad untuk menghilang dari masa laluku, aku begitu berkeras hati untuk tidak muncul di kehidupan lampau sebelum aku mencapai apa yang aku targetkan tentang kesuksesan dan ambisi pribadi. Tapi entah kenapa, menjelang lebaran aku mendapat berita, jagoanku sakit.

Segala bentuk kekerasan hati tak mampu untuk menolak kuatnya dorongan untuk pulang, apapun yang terjadi. Tanpa ada rencana dari semula, kuterobos kemacetan melawan arus mudik hanya untuk jagoanku. Berjuta pilu disela kebahagiaan menyentak. Apalagi kalau teringat ucapan jagoanku ketika ku tanya kenapa sakit. “Habis, dibilang ayah sudah mati….”

Usai melepas kerinduan, aku teringat akan janjiku Desember itu tentang hadiah ulang tahunnya yang tertunda. Act Of War Direct Action. Sebuah game yang lama dia idam-idamkan. Setelah itu, entah menagih entah bergurau, jagoanku menagih hadiah keduanya. Casing barunya mana, yah…?”

Aku terdiam.
Lama aku terdiam sampai aku bersimpuh di pangkuan orang yang telah melahirkanku dengan kondisi yang teramat jauh dengan ketika aku tinggalkan dulu. Semoga Tuhan memaafkan dosaku, Ibu…



Desember ini…

Ketika orang lain sibuk muter beteng keraton atau ngalap berkah di Parangtritis di malam satu sura, aku malah termangu di angkringan jagung bakar alun-alun utara. Semua gambaran selama setahun ini tak mau berhenti berkelebat satu persatu. Perlahan-lahan aku mencoba mengurai semua benang kusut itu.

Malam tadi, entah kenapa aku seperti ada yang mengajak berbicara ketika aku sendiri. Ada banyak pencerahan tentang masa lalu dan masa depan. Sampai ketika aku memutuskan untuk beranjak ke tempat tidur, aku seolah telah memiliki sebuah kebulatan hati untuk menutup 2008 dan membuat sebuah rencana untuk 2009.

Aku memang membuat target dua tahun. Tapi setelah satu tahun kujalani, walau belum berlebih, aku sudah tidak merasa kurang. Sudah saatnya aku rem segala ambisi akan karir dan pekerjaan. Buatku ini terlalu cepat. Sungguh terlalu cepat. Apa yang kudapatkan sekarang kuanggap cukup.

Sudahlah…
Aku cukup untuk mengejar dunia walau belum genap dua tahun pengejaranku. Lebih baik 2009 ini aku targetkan untuk mendekatkan diri pada yang selama ini terlupakan. Tuhan… Aku ingin segalanya berjalan seimbang.

Aku juga sadar akan kesepian hati. Terlebih bila ingat tagihan dari jagoanku yang kini terkekang tentang sosok lembut yang juga dia rindukan. Sudah masanya aku memikirkan itu. Aku juga merindukan sebuah kelembutan hati. Kebahagiaan lahir sudah aku dapatkan. Aku harus adil untuk segera membahagiakan batinku juga.

Sampai setahun ke depan harus kudapatkan itu.. Dan aku harus mulai merubah sikap dan ucapanku yang selama ini begitu sembarangan asal nyeplos. Siapapun asal itu perempuan kadang aku tanya mau jadi istriku tidak, padahal itu hanya ucapan kosong. Entah dengan perasaan apa teman-teman baikku itu menerima segala celoteh ngawurku itu. Maafkan aku teman…

Aku harus mulai bisa melihat ke sekeliling. Bukan untuk mencari seorang pendamping hidup semata. Melainkan sosok ibu yang mampu menerima kenyataan bahwa jagoanku itu ada dan merindukannya juga. Hanya itu. Aku tak membutuhkan figur sempurna yang mungkin tak pernah ada. Cukup sebuah kesederhanaan yang membawa kedamaian dengan Bunga Terakhir ini.

Hanya itu harapanku..
Di awal tahun yang baru…

Terima kasih kepada Lik Ihin atas segalanya, Kang Maya atas informasinya, Kang Khamshe atas nasi kucingnya, Mas Guru Ali Rahmat atas segala petuahnya, Kang Pacul atas bantuan galonnya, Mas Semar atas HPnya, Bung Yossy atas pecel curingnya, Yu Sopi atas tajilannya, Yu Ropi atas nasehatnya, Yu Windie atas sponsornya, Yu Rossy atas dukungannya, Tukangebeg dan Chay Dhanis atas menghilangnya, Kanthong atas CPU dan segala supportnya, Blendhonk atas bantuan websitenya, Pak Kartiman dan Cybernetnya, Pak Albert dan programmer Alvantys, Pak Roni dan staf ManetVision, Bu Sari dan balakurawa Starlight, Pak Sapto dan pasukan SAComm, Ibu Dai atas motivasinya, Dr Tata atas makan malamnya, Pak RT atas KTP tembakannya, Pak Sumadji dan kru Tujuh Bintang, Ureng-ureng Multiply dan blogger serta semuanya yang tak mungkin aku sebutkan satu persatu. Tanpa kalian membantuku bangkit selama setahun ini, mungkin aku belum bisa seperti ini. Semoga Yang Di Atas sana bisa mengerti permintaanku akan kalian, seperti kemudahan jalan yang kuterima selama setahun ini.

Amiiin…
Read More

21 Desember 2008

Aura vs Strategi

Menjelang pameran kemarin saya iseng tebak-tebak buah manggis dengan seorang teman yang sepertinya sedikit punya kemampuan paranormal. Kira-kira karya yang dipamerkan yang hanya diikuti oleh dua seniman ini laku apa tidak. Teman saya itu menjawab, "laku, mas. Tapi untuk pelukis yang satu lagi kurang. Aura negatifnya domainan sekali."

Bingung dengan jawaban itu saya mengejar lagi. Trus dia menjawab, "yang satu kelihatan tenang sehingga energi positifnya kelihatan sekali. Beda banget dengan yang satu lagi. Coba deh nanti setelah pembukaan lihat sendiri, mas."

Cuma segitu memang obrolannya. Tapi tak urung saya jadi sering memperhatikan kedua seniman itu. Setelah pembukaan tampak sekali yang satu begitu santai tapi selalu mengawal setiap tamu yang datang dan melayaninya dengan baik. Sedangkan yang satu lagi selalu kelihatan sibuk kalau yang datang kelihatan kolektor berduit. Tapi ketika yang datang kelihatan biasa, jangankan menemani tamu, mendekat pun dia enggan. Ketika saya tanya, dia malah bersungut-sungut, "ngapain..? Ga penting. Ga bakalan beli orang kaya gitu. Buang-buang tenaga aja..."

Cuma setelah dua hari berjalan. Walau seniman sibuk itu selalu sungguh-sungguh setiap kolektor datang, belum satupun lukisan dia terjual. Sedangkan seniman santai yang tak pernah membeda-bedakan pengunjung sudah laku dua buah.

Saya jadi berpikir, apa iya sih ada yang namanya aura positif dan negatif yang keluar dari hati kita yang ternyata bisa mempengaruhi datangnya rejeki. Kalau begitu, strategi marketing profesional dengan pelayanan maksimal yang tepat sasaran tidak sepenuhnya berlaku donk..?

Hmmm...
Jadi bingung juga memikirkannya...
Read More

19 Desember 2008

Laku dan Rasa


Selepas acara pembukaan pameran Off / On semalam, sebuah obrolan pendek terjadi dengan seorang teman. Waktu itu aku berceloteh tentang sepotong kerinduan dari sebuah penantian panjang. Dan temanku itu berkomentar pendek, "sabar, kang..."


Sabar...
Agak lama juga aku diam. Benarkah selama ini aku tidak bisa sabar menjalani kehidupan yang kadang mudah dan kadang susah?

Mungkin benar kata temanku itu. Walau menurutku tak bisa dikatakan sepenuhnya. Sebagai manusia biasa, sabar bagiku ada dua macam. Bermacam masalah dan musibah mungkin aku bisa tenang menjalani. 

Aku bisa sabar "nglakoni". Tapi ketika kesendirian menyergap, aku seringkali bertanya-tanya dan mengeluh pada diri sendiri. Dalam hal "ngrasakna" ternyata aku belum mampu 100% jadi insan tawakal.

Dan ketika aku balik bertanya kepada temanku tadi. "Bisakah kamu sabar menjalani kehidupan..?"
Sigap temanku menjawab, "alhamdulillah bisa."

Ketika aku tanya, "bisa jugakah sabar merasakannya..?"
Temanku malah tersenyum dan menjawab ringan, "diempet lah. Paling jadi jerawat..."

Hmmm...
Ternyata sama saja.
Mungkin Bob Marley yang paling tepat memberikan jawabannya.
No Woman No Cry....


Gambar diambi dari Off/on Exhibition
Rejuvenate #15 Wahyu Geiyong


Read More

10 Desember 2008

Budaya Misuh


Seorang teman memprotes ketika saya keceplosan menyebut nama binatang tak berdosa dalam sebuah percakapan. Memang itu tak menjadi masalah panjang. Tapi saya masih saja berusaha memikirkan ucapan yang mungkin sudah menjadi budaya.
Misuh...

Dulu saya berasumsi, budaya misuh merupakan milik masyarakat tingkat bawah. Terutama terasa sekali di kultur masyarakat Banyumas. Saya kutip sebuah tulisan lama "Inyong Bangga Dadi Wong Ngapak" yang antara lain berbunyi "Nek nyilih istilaeh kang Ahmad Tohari -budayawan ngapak- basa banyumas kuwe basa kerakyatan. Mulane ora kenal anggah-ungguh. Kowe madhang, lurahe madhang, bupatine madhang, ning inyong urung madang kiyeeeh..."

Dan ternyata setelah menyelami kehidupan di kota heroik ini, misuh juga cukup kental dalam budaya kemasyarakatannya. Hanya saja pengucapannya sedikit dipelesetkan. Mungkin ini berkaitan dengan kultur priyayi yang teramat melekat dalam hati manusia-manusianya.

Bila dalam masyarakat Banyumas yang terkenal blakasuta jelas terucap kata "asu" atau "bajingan", di kota ini akan terpeleset menjadi "bajigur". Pengucapan yang beda tapi dengan maksud sama. Dan menurut saya, budaya misuh ini bukan merupakan kejahatan yang menyamakan seseorang dengan asu atau bajingan dalam definisi kata yang sesungguhnya.

Karena kenyataan saat saya mengucap "asulaaah...", tidak ada sedikit pun bayangan binatang berkaki empat dalam benak. Teman yang dimaki pun tidak pernah merasakan sakit hati. Yang ada justru keakraban yang semakin erat.

Kembali ke soal makian di Jokja, saya ingat juga sebuah kaos yang sudah menjadi trade mark nya Jokja :

satoe lagi dari djokja
sesoeda geplak, goedeg en bakpia

kaos oblong bertanda merk mata


Bila pisuhan merupakan sebuah penghinaan, mengapa kaos "dagadu" makin merajalela? Mungkin sederhana saja. Bukan berarti penggagasnya hobi misuh atau tuna kesopanan. Tapi ada kejelian atas keadaan yang justru membuat mereka menjadi garis panutan.

Dan kenyataan bila kebiasaan memaki itu melekat di segala lapisan masyarakat. Terlepas dari tata cara pengungkapannya yang pasti akan berbeda, sesuai latar belakang budayanya. Yang pasti kita semua musti sadar akan sengkarut budaya kemanusiaan yang tak mungkin lepas dari kebutuhan akan keseimbangan. Dimana hitam putih kehidupan haruslah sama banyaknya.

Tak salah bila kita belajar memaki, daripada mengumbar iri dengki...
Dan marilah kita misuh asal tidak telat shalat subuh...

Asuuulaaaah....
Read More

09 Desember 2008

Kontradiksi dan Empati

Serombongan teman dari Bandung datang menyambangi galeri. Ku kira mereka benar ingin melepas rindu sekian lama tak bertemu. Nyatanya cuma mau numpang nginep agar tak perlu bayar hotel. Yang lebih parah lagi, mereka pelesiran dengan dalih tugas kantor selama tiga hari yang nyatanya sehari sudah beres kerjaannya.

Sebagai tuan rumah aku sudah siapkan relawan untuk menjadi guide selama mereka di Jokja. Cuman heran aja. Titel Jokja sebagai kota wisata dan budaya seolah tidak ada pengaruhnya buat mereka. Ajakanku ke pathuk membeli bakpia atau geplak tak mereka gubris. Malah ribut minta di Ambarukmo Plaza. Makan pun milih di fried chicken, bukan di gudeg Yu Jum atau ayam goreng Baciro.

Sejarah romantik Jokja dianggap penyelewengan dengan cara mereka memahami Jokja. Kenapa sih mereka tak mau belanja salak pondoh di Jalan Magelang atau Pasar Tempel yang harganya lebih murah?

Kenapa pula cara pandangnya tidak kita ubah dari romantisme menjadi semacam empati. Misalnya dengan berpikir, bahwa penjual salak pondoh di pasar tempel lebih perlu kita bantu daripada cukong buah-buahan di mall. Wedang uwuh lebih menyegarkan tenggorokan daripada minuman kemasan.

Ini bukan soal kontradiksi atau demonstrasi ideologi, namun sekedar keseimbangan. Ibarat pada suatu hari kita makan kue bikinan Bakery lalu esoknya kita makan ketela goreng tanpa harus berpikir ulang soal selera makan atau konstruksi wacana pemikiran.

Sepanjang menjadi pemandu aku terus saja berpikir tentang mereka. Mereka selalu berebutan masuk ke mall, jangan-jangan karena di Bandung tidak ada mall. Dan setiap hari mereka hanya bermain-main di sawah.

Read More

08 Desember 2008

Aku berandai-andai...


Ada sebuah cerita dari seorang teman beberapa hari lalu. Ini tentang seorang ayah yang begitu menyayangi anaknya. Keadaan memaksa si ayah tak pernah bisa mencurahkan kasih sayangnya itu setiap waktu. Dan suatu hari ketika si anak rindu kepada neneknya. Dan kebetulan si ayah bisa mengantarkannya.

Anak, ayah dan nenek belum puas melepas rindu ketika senja beranjak datang. Sang bunda tiba-tiba menelpon si anak, "Main sampai sore, nggak mau ngaji kamu.. Dosa tau..!!!"

Si anak pun minta ayahnya untuk mengantarkan pulang ke rumah bundanya. Dengan penuh rasa bersalah dia meminta ayahnya untuk menerobos lalu lintas yang padat. "Cepetan, yah. Aku harus ngaji, nanti dimarahin Tuhan..."

Si ayah tak mampu menjawab apa-apa. Tak mungkin mengejar waktu maghrib sampai di rumah anaknya dengan selamat. Tapi dia pun tak tahan melihat wajah kecil yang sangat disayanginya teramat ketakutan kepada "Tuhannya".

Walau sudah beberapa hari terlewati, cerita itu tak pernah bisa hilang dari ingatan.
Aku pun berandai-andai mencoba menghayati peran si anak saat itu. Untuk apa aku begitu ketakutan kepada Tuhan. Sedangkan Tuhan saja tak mampu memenuhi doaku setiap waktu agar telpon dari sang bunda menyejukkan hati. "Pulangnya nanti saja. Shalat maghrib dulu di tempat nenek. Ngajinya sehabis isya saja. Bilang ke ayah hati-hati di jalan, jangan ngebut ya..."

Huuuh...
Malah jadi mengumpat Tuhan.

Kemudian aku mencoba membayangkan aku menjadi si ayah saat itu. Namun sekian lama aku mencoba, tak pernah juga aku mengerti harus berbuat apa. Selain menelpon sang bunda untuk menunggu di tepi jalan. Dan menginjak gas dalam-dalam ketika melihat sosoknya. Tamat...

Rasanya tak perlu ada rasa bersalah. Bila rintihan pilu anak dan jeritan hati ayah dalam setiap sujud malamnya saja sudah tak mampu membelokan pandangan Tuhan dari pemilik surga di kakinya. Seolah Tuhan telah buta dan tak tahu bila surga itu sudah tak ber AC lagi. Bagaikan gerbong kereta ekonomi yang penuh sampah dan sumpah serapah.

Kalau Tuhan saja sudah tak mampu melihat apalagi manusia. Apa perlu aku takut dengan dakwaan Jaksa akan pasal 338 atau 340 KUHP. Bila polisi saja malah tersenyum ketika aku datang dan menanyakan biaya mencabut proses verbal.

"Bisa diatur, pak. Cuma kecelakaan lalu lintas kok."

Hmmm...
Sebaiknya aku berandai-andai jadi Tuhan saja...
Read More

07 Desember 2008

Belajar Miskin

Menyaksikan berita tentang pembagian kupon daging kurban yang turut memakan korban di masjid Tegal, di liputan 6 SCTV sore tadi, saya jadi ingat beberapa kejadian serupa beberapa waktu lalu.

Masih di liputan 6, pembagian kupon di Polda Metro Jaya menampilkan wawancara dengan mereka yang ikut berebut. Antri dari pagi dan akhirnya protes kepada panitia karena tidak kebagian. Tapi mereka tidak akan menyerah dan akan datang lagi pada saat pembagian besok.

Tidak hanya dalam kegiatan semacam ini, dalam banyak hal termasuk dalam pembagian BLT yang kesemuanya itu mensyaratkan "untuk orang tidak mampu", kejadian semacam itu selalu terulang.

Hmmm...
Mengapa sih orang begitu bangga ingin menjadi miskin tanpa mau memahami apa arti hidup miskin dalam kehidupan. Mereka berebut mempertaruhkan nyawa demi predikat miskin tapi akan ngamuk bila dibilang, "kere loe..."

Kenapa kita tidak juga mau belajar bahwa miskin itu indah. Kita tak akan pernah berani berhutang ke bank dan tak perlu dikejar-kejar debt collector. Kita jadi tak berambisi menjadi caleg yang butuh dana milyaran untuk membeli suara yang kenyataannya membuat kita menjadi koruptor dan penjahat berdasi.

Malah mbah kyai bilang, di akherat pertanyaan kita akan berkurang satu. Darimana harta kau dapatkan dan kemana kau belanjakan.

Salahkah bila kita belajar menjadi miskin dengan pemahaman hati. Bukan dengan cara mempertontonkan ketakutan akan kemiskinan itu sendiri. Bila kenyataanya dengan sepincuk nasi kucing saja, cacing di perut kita sudah damai.

Semoga saya bisa belajar miskin...
Read More

04 Desember 2008

Apa Kata Duniaaaa....?

Bengong ga sih, pagi-pagi dah datang surat tagihan Pajak Bumi dan Bangunan atas tanah yang baru beberapa bulan dikontrak. Lebih bengong lagi kalo lihat angka yang tertera sampai 4 juta sekian berikut denda. Banyak amin, yah...

Meluncur deh ke kelurahan, karena surat penagihannya emang dari sana. Eh, disana ga punya salinan SPT yang entah siapa yang dulu menerimanya. Dan aku disuruh ke Kantor Pajak saja. Nelpon ke yang punya tanah, ga bisa jelasin secara detil selain jawaban, "emang segitu, pak"

Di kantor pajak jadi jelas deh. Bahwa seharusnya, pajaknya cuma 2 juta sekian. Tapi karena harga bangunannya ditaksir di atas 1 ember, jadi NJOPnya 40%, bukan 20% lagi.

Oooo...
Sambil manggut-manggut aku ngeluarin uang yang emang udah tak siapin. Tapi ga mau terima tuh petugasnya. Cuma senyum dan sambil meninggalkan meja.

"Bayarnya nanti saja jam 1, pak. Mau istirahat dulu nih, sudah hampir jam 12."

Ooooo...
Read More

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena