Ada sebuah cerita dari seorang teman beberapa hari lalu. Ini tentang seorang ayah yang begitu menyayangi anaknya. Keadaan memaksa si ayah tak pernah bisa mencurahkan kasih sayangnya itu setiap waktu. Dan suatu hari ketika si anak rindu kepada neneknya. Dan kebetulan si ayah bisa mengantarkannya.
Anak, ayah dan nenek belum puas melepas rindu ketika senja beranjak datang. Sang bunda tiba-tiba menelpon si anak, "Main sampai sore, nggak mau ngaji kamu.. Dosa tau..!!!"
Si anak pun minta ayahnya untuk mengantarkan pulang ke rumah bundanya. Dengan penuh rasa bersalah dia meminta ayahnya untuk menerobos lalu lintas yang padat. "Cepetan, yah. Aku harus ngaji, nanti dimarahin Tuhan..."
Si ayah tak mampu menjawab apa-apa. Tak mungkin mengejar waktu maghrib sampai di rumah anaknya dengan selamat. Tapi dia pun tak tahan melihat wajah kecil yang sangat disayanginya teramat ketakutan kepada "Tuhannya".
Walau sudah beberapa hari terlewati, cerita itu tak pernah bisa hilang dari ingatan.
Aku pun berandai-andai mencoba menghayati peran si anak saat itu. Untuk apa aku begitu ketakutan kepada Tuhan. Sedangkan Tuhan saja tak mampu memenuhi doaku setiap waktu agar telpon dari sang bunda menyejukkan hati. "Pulangnya nanti saja. Shalat maghrib dulu di tempat nenek. Ngajinya sehabis isya saja. Bilang ke ayah hati-hati di jalan, jangan ngebut ya..."
Huuuh...
Malah jadi mengumpat Tuhan.
Kemudian aku mencoba membayangkan aku menjadi si ayah saat itu. Namun sekian lama aku mencoba, tak pernah juga aku mengerti harus berbuat apa. Selain menelpon sang bunda untuk menunggu di tepi jalan. Dan menginjak gas dalam-dalam ketika melihat sosoknya. Tamat...
Rasanya tak perlu ada rasa bersalah. Bila rintihan pilu anak dan jeritan hati ayah dalam setiap sujud malamnya saja sudah tak mampu membelokan pandangan Tuhan dari pemilik surga di kakinya. Seolah Tuhan telah buta dan tak tahu bila surga itu sudah tak ber AC lagi. Bagaikan gerbong kereta ekonomi yang penuh sampah dan sumpah serapah.
Kalau Tuhan saja sudah tak mampu melihat apalagi manusia. Apa perlu aku takut dengan dakwaan Jaksa akan pasal 338 atau 340 KUHP. Bila polisi saja malah tersenyum ketika aku datang dan menanyakan biaya mencabut proses verbal.
"Bisa diatur, pak. Cuma kecelakaan lalu lintas kok."
Anak, ayah dan nenek belum puas melepas rindu ketika senja beranjak datang. Sang bunda tiba-tiba menelpon si anak, "Main sampai sore, nggak mau ngaji kamu.. Dosa tau..!!!"
Si anak pun minta ayahnya untuk mengantarkan pulang ke rumah bundanya. Dengan penuh rasa bersalah dia meminta ayahnya untuk menerobos lalu lintas yang padat. "Cepetan, yah. Aku harus ngaji, nanti dimarahin Tuhan..."
Si ayah tak mampu menjawab apa-apa. Tak mungkin mengejar waktu maghrib sampai di rumah anaknya dengan selamat. Tapi dia pun tak tahan melihat wajah kecil yang sangat disayanginya teramat ketakutan kepada "Tuhannya".
Walau sudah beberapa hari terlewati, cerita itu tak pernah bisa hilang dari ingatan.
Aku pun berandai-andai mencoba menghayati peran si anak saat itu. Untuk apa aku begitu ketakutan kepada Tuhan. Sedangkan Tuhan saja tak mampu memenuhi doaku setiap waktu agar telpon dari sang bunda menyejukkan hati. "Pulangnya nanti saja. Shalat maghrib dulu di tempat nenek. Ngajinya sehabis isya saja. Bilang ke ayah hati-hati di jalan, jangan ngebut ya..."
Huuuh...
Malah jadi mengumpat Tuhan.
Kemudian aku mencoba membayangkan aku menjadi si ayah saat itu. Namun sekian lama aku mencoba, tak pernah juga aku mengerti harus berbuat apa. Selain menelpon sang bunda untuk menunggu di tepi jalan. Dan menginjak gas dalam-dalam ketika melihat sosoknya. Tamat...
Rasanya tak perlu ada rasa bersalah. Bila rintihan pilu anak dan jeritan hati ayah dalam setiap sujud malamnya saja sudah tak mampu membelokan pandangan Tuhan dari pemilik surga di kakinya. Seolah Tuhan telah buta dan tak tahu bila surga itu sudah tak ber AC lagi. Bagaikan gerbong kereta ekonomi yang penuh sampah dan sumpah serapah.
Kalau Tuhan saja sudah tak mampu melihat apalagi manusia. Apa perlu aku takut dengan dakwaan Jaksa akan pasal 338 atau 340 KUHP. Bila polisi saja malah tersenyum ketika aku datang dan menanyakan biaya mencabut proses verbal.
"Bisa diatur, pak. Cuma kecelakaan lalu lintas kok."
Hmmm...
Sebaiknya aku berandai-andai jadi Tuhan saja...
Hmm,, trus kapan berandai² jadi istri?
BalasHapusGa kebayang soalnya. Yang kepikir malah jadi bencong...
BalasHapus