Serombongan teman dari Bandung datang menyambangi galeri. Ku kira mereka benar ingin melepas rindu sekian lama tak bertemu. Nyatanya cuma mau numpang nginep agar tak perlu bayar hotel. Yang lebih parah lagi, mereka pelesiran dengan dalih tugas kantor selama tiga hari yang nyatanya sehari sudah beres kerjaannya.
Sebagai tuan rumah aku sudah siapkan relawan untuk menjadi guide selama mereka di Jokja. Cuman heran aja. Titel Jokja sebagai kota wisata dan budaya seolah tidak ada pengaruhnya buat mereka. Ajakanku ke pathuk membeli bakpia atau geplak tak mereka gubris. Malah ribut minta di Ambarukmo Plaza. Makan pun milih di fried chicken, bukan di gudeg Yu Jum atau ayam goreng Baciro.
Sejarah romantik Jokja dianggap penyelewengan dengan cara mereka memahami Jokja. Kenapa sih mereka tak mau belanja salak pondoh di Jalan Magelang atau Pasar Tempel yang harganya lebih murah?
Kenapa pula cara pandangnya tidak kita ubah dari romantisme menjadi semacam empati. Misalnya dengan berpikir, bahwa penjual salak pondoh di pasar tempel lebih perlu kita bantu daripada cukong buah-buahan di mall. Wedang uwuh lebih menyegarkan tenggorokan daripada minuman kemasan.
Ini bukan soal kontradiksi atau demonstrasi ideologi, namun sekedar keseimbangan. Ibarat pada suatu hari kita makan kue bikinan Bakery lalu esoknya kita makan ketela goreng tanpa harus berpikir ulang soal selera makan atau konstruksi wacana pemikiran.
Sepanjang menjadi pemandu aku terus saja berpikir tentang mereka. Mereka selalu berebutan masuk ke mall, jangan-jangan karena di Bandung tidak ada mall. Dan setiap hari mereka hanya bermain-main di sawah.
Sebagai tuan rumah aku sudah siapkan relawan untuk menjadi guide selama mereka di Jokja. Cuman heran aja. Titel Jokja sebagai kota wisata dan budaya seolah tidak ada pengaruhnya buat mereka. Ajakanku ke pathuk membeli bakpia atau geplak tak mereka gubris. Malah ribut minta di Ambarukmo Plaza. Makan pun milih di fried chicken, bukan di gudeg Yu Jum atau ayam goreng Baciro.
Sejarah romantik Jokja dianggap penyelewengan dengan cara mereka memahami Jokja. Kenapa sih mereka tak mau belanja salak pondoh di Jalan Magelang atau Pasar Tempel yang harganya lebih murah?
Kenapa pula cara pandangnya tidak kita ubah dari romantisme menjadi semacam empati. Misalnya dengan berpikir, bahwa penjual salak pondoh di pasar tempel lebih perlu kita bantu daripada cukong buah-buahan di mall. Wedang uwuh lebih menyegarkan tenggorokan daripada minuman kemasan.
Ini bukan soal kontradiksi atau demonstrasi ideologi, namun sekedar keseimbangan. Ibarat pada suatu hari kita makan kue bikinan Bakery lalu esoknya kita makan ketela goreng tanpa harus berpikir ulang soal selera makan atau konstruksi wacana pemikiran.
Sepanjang menjadi pemandu aku terus saja berpikir tentang mereka. Mereka selalu berebutan masuk ke mall, jangan-jangan karena di Bandung tidak ada mall. Dan setiap hari mereka hanya bermain-main di sawah.
Hahaaa,, benar juga.. dan sekiranya taman lebih menyenangkan daripada beton berserakan.. menyebalkan memang dengan konteks pemikiran seperti itu, tatkala konsumerisme telah menggerogoti otak manusia...
BalasHapuseh, kapan traktir aku nang nggone mbok jum, mas? :P
Sok kapan ke Jokja...
BalasHapuszaman sekarang emang makin banyak orang yang berpikir kaya gitu
BalasHapussayang sekali emank
padahal makanan khas kita kan lebih sehat daripada fast food ala barat
warga yang membutuhkan lebih banyak pembeli juga masih segudang
nice article =)
slm knal btw