#Dewasa
Jurnal panjang dan menyebalkan
Kalo ga mau mumet, silakan lewat saja...
Biasanya aku malas ngomongin sesuatu yang lagi rame. Namun setelah baca-baca tulisan beberapa teman, kepala ini mendadak gatel ingin ikut ngomong soal elpiji juga.
Bukan soal elpijinya, melainkan prihatin dengan mereka yang tak mau kalah dengan anggota hewan yang suka ngomong gegap gempita tapi tak mau baca data.
Salah satunya nulis Pertamina serakah mau untung besar sampai menaikan elpiji 15 kg menjadi 120 ribu.
Yang ini kayaknya tak mau menengok ke belakang bahwa Pertamina sudah sejak lama mengusulkan kenaikan ini berdasarkan hasil audit BPK yang menyatakan bahwa unit bisnis elpiji merugi. Sekali lagi unit bisnis elpiji, bukan profit Pertamina secara keseluruhan.
Pemegang saham Pertamina adalah negara melalui Menteri BUMN. Berarti kerugian Pertamina juga kerugian negara. Tahun 2011 saja Pertamina setor pajak ke pemerintah sebesar 50 trilyun rupiah dan itu belum termasuk deviden. Datanya bisa dibaca di sini.
Ingat...
Pemerintah hanya menyubsidi gas 3kg yang dianggap untuk masyarakat kelas bawah.
Adalah aneh bila gas 12 kg yang dikatakan untuk menengah ke atas, harus Pertamina yang kasih subsidi sementara negara sudah terima duit segitu banyak. Kemana dana sebesar itu bila pemerintah kemudian cuci tangan dan hanya menyubsidi gas 3 kg saja.?
Kalo pemerintah mau fair, semestinya gas 12 kg juga disubsidi. Atau subsidi ditanggung Pertamina namun pemerintah membuatkan payung hukum agar hasil audit BPK yang menyatakan rugi bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
Ada yang membandingkan harga elpiji kita dengan elpiji negeri jiran yang hanya 20 ringgit.
Pernyataan itu ada benarnya. Namun perhatikan dong data dari International Institute For Sustainable Development bahwa harga elpiji 14 kg di Malaysia sebenarnya RM 54.39 Harga jual RM 26.60 itu setelah disubsidi. Datanya bisa dilihat di sini.
Paling gampang bandingin aja dengan gas swasta berlabel Blue Gaz. Harga untuk tabung 5,5 kg itu 95 ribu perak. Datanya bisa dilihat di sini.
Kemudian ada yang bilang elpiji domestik dimahalkan tapi untuk ekspor dimurahkan.
Ada benarnya
Namun perlu dipahami yang diekspor itu adalah LNG bukannya elpiji alias LPG. Perbedaan antara LNG dan LPG bisa dibaca di sini.
Keduanya sama-sama bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga. Tapi karakteristik LNG itu tekanannya sangat tinggi sehingga kurang cocok dikemas dalam bentuk tabung kecuali diconvert menjadi CNG seperti yang sudah dipakai oleh bus TransJakarta.
Makanya di luar negeri gas bisa lebih murah, karena yang dipakai adalah LNG yang didistribusikan ke rumah-rumah melalui jaringan pipa gas.
LNG atau gas alam cair ini memang melimpah di Indonesia makanya harga jualnya juga relatif murah. Beda dengan elpiji yang dihasilkan dari pengilangan minyak mentah sebagaimana bensin atau minyak tanah.
Karena minyak mentah sebagai bahan bakunya 60% masih diimpor, wajar bila biaya produksinya jadi tinggi. Kecuali kalo elpiji yang diekspor murah, baru namanya kurang ajar.
Lagian operator LNG itu bukan Pertamina melainkan Tangguh. Cari saja di google siapa pemegang saham Tangguh. Semuanya operator luar negeri semacam BP, MI Berau B.V, LNG Japan Corporation dll.
Dah ah cape...
Eh, sekali lagi...
Ini bukan semata bahas carut marut politik kenaikan elpiji. Namun sekedar keinginan agar teman-teman mau sedikit baca data dulu sebelum ngomongin sesuatu.
Kalo males cari data, ga perlu pake menyalahkan pihak tertentu. Curhat saja tentang anggaran dapur yang bertambah. Itu malah aman.
Tak terlalu sulit kok belajar jadi blogger cerdas
Kecuali niatnya ngejar traffic doang sih silakan saja ga mikir juga...
Maaf buat yang tidak berkenan...
Sama-sama...
Read More