Rombongan sirkus akhirnya hengkang juga dari site. Wajah-wajah ceria mulai bertebaran di mess. Apalagi disambung dengan kalender yang telah berganti muda. Kelelahan lahir batin gara-gara rombongan dari pusat yang tumben sampai seminggu lebih di site segera terlupakan. Tak peduli akan rutinitas setiap mereka datang, dimana meeting-meeting berkepanjangan seringkali cuma jadi teori yang tak jelas tindak lanjutnya.
Dari sekian banyak mess di kompleks, yang paling bete saat wisatawan datang adalah warga guesthouse. Ruang meeting ada di kantor, tapi mereka lebih suka rapat atau sekedar ngumpul di ruang santai guesthouse. Mau masuk kamar jadi rada sungkan harus lewat didepan orang rapat. Yang sudah telanjur di kamar, mau keluar juga bingung. Apalagi kalo keluar sambil menenteng sabun, odol, handul dan celana dalam. Untungnya saat berangkat ke site, mereka suka perhatiin demo pramugari di pesawat. Saat kondisi darurat, silakan keluar melalui jendela.
Budaya feodal di perusahaan masih sangat terasa. Mereka yang merasa dari pusat suka seenaknya sendiri kepada orang site. Mungkin mereka memang orang-orang pinter. Sayangnya banyak yang tidak pede menjadi pejabat perusahaan. Kelihatan kalo ngomong ke bawahan seringkali menggunakan gaya Harmoko yang tak pernah lepas dari kata, "menurut petunjuk bos saya..."
Aku bisa mengerti ketika teman-teman di site bete dengan tata cara seperti itu. Tapi mau gimana lagi wong sudah mendarah daging di bangsa ini. Lihat saja kalo musim kampanye, mau nyalon anggota hewan saja harus pajang fotonya bersandingan dengan orang yang menurut dia penting. Malah banyak yang pasang foto orang mati yang pasti ga tau apa-apa dengan kepentingan dia. Kalo sudah nemu temen yang curhat soal arogansi itu, aku cuma bisa sok tua kasih nasehat. "Jangan suka memandang dirimu rendah. Siapa tahu kamu lebih hebat dari yang kamu duga. Kecuali tinggimu cuman seketek, baru kamu pantas dipanggil pendek..."
Segalanya kembali ke strategi pengelolaan Indonesia raya yang membiasakan diri mengelola aspirasi dengan ilmu air. Kalo dari atas kasih perintah, mau bening mau buthek tetap saja mengucur deras bak air terjun di musim hujan. Tapi kalo yang dibawah nyampein ke atas, nyampenya seupret-seupret seperti uap air.
Apalagi kalo sudah soal kesejahteraan. Segitu banyak keluhan terkumpul harus selesai dengan satu kalimat bijak, "Hidup itu memang tak pasti. Saat menemukan kesulitan, hadapilah dengan sabar..."
Iya sabar sih sabar
Cuma masalahnya kalo kebelet boker tapi di kamar mandi jarang ada air...?
Dari sekian banyak mess di kompleks, yang paling bete saat wisatawan datang adalah warga guesthouse. Ruang meeting ada di kantor, tapi mereka lebih suka rapat atau sekedar ngumpul di ruang santai guesthouse. Mau masuk kamar jadi rada sungkan harus lewat didepan orang rapat. Yang sudah telanjur di kamar, mau keluar juga bingung. Apalagi kalo keluar sambil menenteng sabun, odol, handul dan celana dalam. Untungnya saat berangkat ke site, mereka suka perhatiin demo pramugari di pesawat. Saat kondisi darurat, silakan keluar melalui jendela.
Budaya feodal di perusahaan masih sangat terasa. Mereka yang merasa dari pusat suka seenaknya sendiri kepada orang site. Mungkin mereka memang orang-orang pinter. Sayangnya banyak yang tidak pede menjadi pejabat perusahaan. Kelihatan kalo ngomong ke bawahan seringkali menggunakan gaya Harmoko yang tak pernah lepas dari kata, "menurut petunjuk bos saya..."
Aku bisa mengerti ketika teman-teman di site bete dengan tata cara seperti itu. Tapi mau gimana lagi wong sudah mendarah daging di bangsa ini. Lihat saja kalo musim kampanye, mau nyalon anggota hewan saja harus pajang fotonya bersandingan dengan orang yang menurut dia penting. Malah banyak yang pasang foto orang mati yang pasti ga tau apa-apa dengan kepentingan dia. Kalo sudah nemu temen yang curhat soal arogansi itu, aku cuma bisa sok tua kasih nasehat. "Jangan suka memandang dirimu rendah. Siapa tahu kamu lebih hebat dari yang kamu duga. Kecuali tinggimu cuman seketek, baru kamu pantas dipanggil pendek..."
Segalanya kembali ke strategi pengelolaan Indonesia raya yang membiasakan diri mengelola aspirasi dengan ilmu air. Kalo dari atas kasih perintah, mau bening mau buthek tetap saja mengucur deras bak air terjun di musim hujan. Tapi kalo yang dibawah nyampein ke atas, nyampenya seupret-seupret seperti uap air.
Apalagi kalo sudah soal kesejahteraan. Segitu banyak keluhan terkumpul harus selesai dengan satu kalimat bijak, "Hidup itu memang tak pasti. Saat menemukan kesulitan, hadapilah dengan sabar..."
Iya sabar sih sabar
Cuma masalahnya kalo kebelet boker tapi di kamar mandi jarang ada air...?
Namanya juga bos2 mas, mereka mah taunya enak aja, gak mikirin yang dibawahnya.
BalasHapusJadi apa yang mereka lakuin ya seenak udel.
Itu fotonya kok.............kayak maling ya :)))
Hem... piye yo kang, klo udah urusan atasan akupun kadang segen mau ngomong panjang lebar takutnya disangka ng'gurui, apalagi kita2 (kita?) ini cuma karyawan, mau protes kaya apapun ya tetep aja yg punya kuasa akhir atasan... wes sing sabar ae kang... nganggo air kali ae nek gur arep adus hahaha...
BalasHapusbener juga pak,sabar juga kan ada batasnya..serba salah juga akhirnya gak enak ngapa-ngapain.
BalasHapusboleh juga tuh ilmu dari pramugarinya.
boker di kali emang nggak ada kali di situ. atau di pekarangan aja terus peper deh
BalasHapusya inilah Indonesia...tapi bagaimanapun kita lahir, besar dan tinggal di Indonesia. Jadi terima saja apa adanya sob....#kok jd serius ya he he he
BalasHapusdiplastiki ae mas. biasa ituuu...
BalasHapusKalo ga ada air pas mau ngising yo sabar...
BalasHapustak ada air, daun/batu pun boleh ingat sunah rasul :)
BalasHapussukses perutku sakit gara2 nahan ketawa
BalasHapusrombongan pusat kok diberi nama rombongan sirkus, hahahaha... sekalian disuruh pake baju kostum badut... (kira-kira mereka baca blog ini gak ya)
BalasHapus