06 Maret 2012

Memberdayakan

#13+

"Saya tidak bisa kalo disuruh bicara. Tapi kalo disuruh bunuh orang, saya bisa. Terima kasih.."
Sepotong sambutan dari warga lokal saat meeting bersama asosiasi pengusaha angkutan.

Salah satu program CSR atau comdev perusahaan adalah pemberdayaan masyarakat lokal agar mereka turut serta jadi pelaku ekonomi. Warga yang tanahnya dibebaskan untuk kegiatan tambang tidak dibayar langsung dengan uang, melainkan diberikan dump truck dengan sistem leasing. Dengan menyerahkan tanah seluas 3 hektar yang per hektarnya bernilai 15 juta, warga bisa mendapat satu dump truck yang kemudian digunakan untuk mengangkut batubara perusahaan dari tambang ke pelabuhan. Hasil perbulan setelah dipotong operasional dan bayar cicilan leasing, pemilik truk rata-rata memperoleh sisa 10 juta.

Tapi yang namanya masyarakat pedalaman, perlu perjalanan panjang agar mereka bisa benar-benar mengerti maksud dari kegiatan comdev tersebut. Ada saja yang menjual atau mengoperalih kepemilikan truknya hanya karena kalah judi untuk kemudian datang lagi ke perusahaan maksa menukar tanahnya dengan truk baru tanpa mau tahu tanah itu masuk konsesi atau mengandung batubara apa tidak. 

Orang sini, saat ngobrol saja sudah terdengar kenceng. Apalagi kalo lagi ngotot minta sesuatu. Padahal masih saja ada yang punya kebiasaan membawa-bawa mandau kemana-mana. Wajar kalo banyak karyawan kiriman dari Jawa yang baru beberapa hari langsung ngacir pulang karena ketakutan. Padahal menurutku, bicara keras itu bukan karena mereka sangar atau sadis. Melainkan karena tradisi lokal sebagai warga tepi hutan yang memaksa mereka untuk bawa golok dan bicara keras. Namanya sudah kebiasaan, wajar kalo mereka kadang lupa bahwa mereka lagi di kantor dan bukan di hutan.

Kebiasaan memaksakan kehendak, aku pikir juga bukan milik orang Dayak semata. Dimanapun adanya, bila merasa jadi yang punya kawasan, pasti ada saja yang bertindak arogan terhadap pendatang. Di Jawa saja yang katanya beradab, kalo ada cewek diapelin cowok kampung sebelah suka dipalakin. Sama saja kan..?

Bukti lainnya aku rasakan saat jawara disini diajak ke Jakarta. Sikap sok jagoannya mendadak hilang tanpa bekas. Jangankan disuruh berurusan dengan preman Jakarta, diajak ngeluyur malam ke kawasan Gajah Mada atau Hayam Wuruk saja langsung lemes dengkul lihat pemandangan indah bertebaran di pinggir jalan.

Lebih keren lagi beberapa waktu lalu ketika ada jagoan yang sakit. Menggunakan ambulans perusahaan sang jagoan dibawa ke RSUD. Dan disana mau ga mau aku harus menahan nyengir saat melihat dia ketakutan dan memelas bilang ga mau disuntik. Padahal badannya penuh tato.

Menanamkan mindset pengusaha juga masih lumayan susah. Masih saja mereka menganggap menjadi karyawan adalah sebuah kebanggan tersendiri. Sudah dikasih dump truck dengan penghasilan lumayan, masih saja suka ngotot minta kerjaan walau cuma jadi helper yang gajinya UMR. Ke anak-anaknya pun mereka memaksakan pemikiran yang sama. Bukannya diajarin mengembangkan usaha angkutan batubaranya, tapi maksa ke perusahaan agar menerima anaknya jadi karyawan walau hanya jadi OB.

Aku saja sempat pusing pada waktu sekretaris humas maksa aku menerima anaknya jadi IT dengan alasan anaknya pinter komputer. Memang benar aku lagi butuh staf untuk mengawasi server dan networking traffic. Tapi kan jadi bete ketika dipaksa harus menerima anak lulusan SMA yang cuma tahu word excel ala kadarnya.

Saat aku laporan ke HRD tidak bisa menerima calon yang diajukan, teman di HRD malah balik mengeluh. Katanya beliau juga sempat maksa memasukkan anaknya ke humas dengan alasan dia butuh sekretaris. Bukan soal kemampuan anaknya yang kurang atau bapaknya yang maksa. Tapi suer, baru saat itu aku dengar ada sekretaris yang minta sekretaris.

Ternyata memberdayakan juga bisa bikin tak berdaya...

10 comments:

  1. jago komputer tapi kan keahliannya beda2 ya. pascal juga jago tapi mana bisa dia kerja hihihi.
    btw kayanya kalau aku kerja disana juga lgs kabur deh dengar suara2 yg kasar :(

    BalasHapus
  2. kalau begitu perusahaan musti memberdayakan masyarakat dgn bangun sekolah, rumah sakit, tempat ibadah.... kalau mau pakai warga lokal mereka musti disiapkan dulu skillnya

    BalasHapus
  3. saya dulu awal datang ke sini juga kaget Om-ngomongnya pada nyaring2 treak2-kayak orang marah aja. Tapi lama2 tahu-memang gitu n terbiasa denger deh. Liat rumah panggungnya aja saya nggumun. Eh tapi ya ngeri lah Om kalau saya jadi karyawannya Om di sana-ada yg bawa2 mandau segala. Udah tampang sangar kan Om, hahaha

    BalasHapus
  4. memang agak susah ya om... memberdayakan masyarakat lokal.. memang keinginan perusahaan pinginnya memberdayakan masyarakat lokal.. namun itu merupakan sebuah dilema tersendiri....

    BalasHapus
  5. Sekretaris minta sekretaris... hahaha :D
    Minta anaknya aja yang menggantikan posisinya. :)

    BalasHapus
  6. hehehe lucu masa sih jawara takut di suntik :P

    BalasHapus
  7. Pusing banget ya jadi bangsa Indonesia...hidup udah susah, masih harus disusahin sama hal2 kayak gitu...ckckck

    Sabar ya Bang Rawins

    BalasHapus
  8. Ternyata kerja di luar jawa itu susah ya. Semoga tetap bertahan.

    BalasHapus
  9. Sekretaris minta sekretaris..?! Hahaha...
    Baru tahu ada kejadian kayak gitu deh Kang... :p
    Eh, aku baru tahu lho kalo ternyata di blog ini ada "keterangan tambahan" tentang postingan di sini bisa dibaca utk kategori umur berapa.
    Harusnya jangan 17+ Kang... tapi 21+ hehehe Soalnya udah 'dalem' banget cara pembahasannya :)

    BalasHapus
  10. ada ya pak sekretaris yang minta sekretaris,,
    ckckckck. terus sekretaris yang minta sekretaris itu kerja apa?
    hemm

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena