31 Oktober 2012

Budaya Meminta


#Bimbingan Orang Tua

Beberapa belas tahun lalu, bila kita menuju Purwokerto dari arah Jogja atau sebaliknya dan melewati perkebunan karet Krumput - Banyumas, yang kita temukan hanyalah hutan yang sepi dan cenderung dianggap angker. Namun belakangan ini banyak orang yang duduk-duduk di tepi jalan. Awalnya aku ga tahu mereka lagi apa. Baru-baru ini saja aku mulai ngeh kalo mereka meminta-minta ke orang lewat.

Aku jadi ingat perilaku sopir bila melewati daerah yang katanya wingit. Ada yang cukup kasih klakson, ada pula yang suka melemparkan uang recehan agar perjalanan mereka tidak diganggu makhluk halus. Mungkin karena banyak recehan bertebaran di tepi hutan, lama-lama ada yang sengaja datang untuk memunguti. 

Payahnya itu jadi kebiasaan akut dan mereka tidak lagi sekedar memungut. Melainkan sengaja stand by dan mengacungkan tangan meminta belas kasihan orang lewat. Benar-benar sebuah kekeliruan kultural yang tidak mendidik masyarakat untuk belajar produktif. 

Masih mending kalo orang tua yang mungkin sudah tak mampu kerja berat lagi. Anak-anak muda yang sebenarnya masuk golongan produktif juga tega melepas kemaluan untuk jadi pengemis dengan berbagai kedok misalnya ngamen. Cuma genjrang-genjreng tak jelas atau modal icik-icik lalu nyadong. Sambil mabok lagi...

Kalo pengamen yang beneran jual suara sih ga masalah. Saat nongkrong di alun-alun bersama keluarga, aku malah suka nanggap mereka kasih 10 ribu borongan beberapa lagu. Beneran menghibur suasana plus all in one murah meriah. Paling suka sama yang menguasai banyak lagu, sehingga setiap orang bisa rikues sesuai selera. Paling-paling mereka bingung kalo Citra nimbrung minta lagunya sondesip atau timmy time.

Efek negatif dari budaya semacam ini sudah merembet kemana-mana. Lihat saja kalo ada jalan longsor atau lagi perbaikan. Para pekerja proyeknya tak jarang ikut-ikutan memungut retribusi ilegal dari pengguna jalan. Sampe-sampe yang kerja cuma dua tiga orang, yang minta duit bisa sampai lima atau enam orang. 

Jarang banget aku mau kasih duit kepada mereka. Bukan soal pelit dengan recehan. Aku cuma tak setuju bila budaya meminta itu makin berkembang pesat bila semua orang hanya mikir belas kasihan tanpa mikir pendidikan moralnya. 

Apalagi yang membawa-bawa anak-anak atau balita ke jalanan. Aku lebih tidak suka lagi. Buatku, jalanan bukan tempat untuk anak-anak walau ekonomi yang jadi alasan. Bagaimanapun juga aku pernah jadi gelandangan di emperan Pasar Senen dan hidup bersama mereka. Aku bisa tahu bahwa mereka cuma dijadikan korban pelengkap penderita sementara yang mengambil hasil terbesarnya justru orang tua atau preman terorganisasi.

Bukan aku tak mau tahu dengan mereka yang kebetulan kesulitan rejeki. Tapi aku lebih suka membantu orang miskin yang tak mau meminta-minta. Misalnya beli koran di jalan tanpa meminta kembalian. 

Selalu aku katakan tidak untuk peminta-minta, kecuali sama banci.
Suer ini bukan diskriminasi sosial atau genderisasi
Tapi aku ngeri dan trauma berat dengan mereka
Gara-gara ada yang ngamen nyanyinya gini
"Kalo gak ngasih, ane sentil biji agan... huwooo.. huwooo.."

Amit-amit dah...



Read More

Buntut Bumbung


#Semua Umur

Waktu masih kecil dulu, aku sering dengar tembang Jawa yang kalo ga salah berbunyi "klontang-klantung, wong nderes buntute bumbung, apa gelem apa ora..?"

Tembang itu bukan sekedar lagu semata, melainkan mantra atau doa para penyadap nira saat akan memulai aktifitasnya agar hasil deresannya banyak dan gula yang dihasilkan bagus. Konon kabarnya jampi-jampi itu merupakan warisan penderes legendaris, Ki Cokrojoyo yang dikemudian hari dikenal dengan nama Sunan Geseng setelah menjadi murid Sunan Kalijaga.

Jaman berubah
Tembang bertuah itu pun kini tinggal sejarah. Walau masih banyak penderes badheg di kampungku, sudah tak ada lagi yang melantunkannya. Penyadap modern lebih suka menggunakan obat kimia untuk merangsang manggar agar lebih banyak menghasilkan nira.

Tak cuma itu
Agar menghasilkan gula yang kelihatan lebih bagus, berwarna cerah dan bersih, tak jarang perajin gula mencampurkan sodium meta bisulfit. Serbuk kimia yang mengandung asam tinggi dan korosif karena mengandung sulfur. Mereka berkilah itu merupakan tuntutan pasar dengan alasan gula yang berwarna gelap kurang disukai konsumen.

Memang gula hasil pengolahan alami yang menggunakan laru, tatal dan kapur sirih bentuknya kurang menarik walau sebenarnya aman untuk dikonsumsi. Entah siapa yang salah dalam hal ini. Konsumen atau produsen..?


Jaman modern memang telah banyak menanggalkan kearifan lokal yang sebenarnya lebih menjaga harmoni alam. Sekarang tak ada lagi tukang deres berbuntut pongkor bambu, karena jeriken atau botol plastik lebih mudah didapat dan lebih praktis. Memikul bumbung pun sudah jarang terlihat, karena lebih suka menggunakan sepeda motor.


Namun salahkah bila kita kembali ajaran Sunan Geseng agar buntut bumbung bisa kembali menjadi filosofi dan quality control gula yang sehat..?

Kamus :
Nyadap : Bahasa Indonesia
Nderes : Bahasa Jawa
Mantat : Bahasa Dayak

ada yang mau nambahin..?


Read More

Pantai Pok Tunggal


#Bimbingan Orang Tua

Keluyuran di tanggal tua, judulnya ga bisa jauh-jauh. Tapi itu sekedar niat doang. Kenyataannya tak pernah jauh dari yang sudah-sudah. Seperti minggu kemarin niatnya mau ke Turgo yang cuma beberapa kilo dari Kaliurang, nyatane ya nyasar ke Ketep Pass, nyambung Kopeng dan akhirnya jajan bandeng di Semarang.




Perjalanan terakhir, maunya cuma ngeluyur ke Imogiri. Jebul terus ke selatan sampai ke Pantai Baron. Tapi karena hasrat blusukan belum insyaf juga, jadilah acaranya offroad ke pantai Pok Tunggal.

Kalo dari arah Wonosari menuju pantai Indrayanti, sekitar satu kilometer sebelum pos pemungutan retribusi ada jalan berbatu ke arah kiri. Ada papan bertuliskan pantai Pok Tunggal 1 km. Padahal kalo diukur pakai odometer jaraknya sekitar 2 km. Separo jalan masih tanah berbatu, sebagian lagi sudah dicor beton. Karena belum melewati loket, masuknya tidak perlu bayar. Cuma kena parkir 5 ribu perak untuk mobil.




Pantainya lumayan asik untuk melepas anak-anak bermain pasir. Belum begitu ramai pengunjung sehingga lebih bisa menikmati suasana. Memang lebih seep kalo ke situnya sore hari, karena tak begitu banyak pepohonan untuk berteduh. Tapi banyak tenda-tenda sewaan yang dikelola penduduk setempat buat ngadem. Kamar mandi umum juga ada dan termasuk bersih dengan tarif 3 ribu perak.





Yang penting kalo kesana jangan sendirian biar ga sakit hati. Mungkin karena masih sepi, makanya banyak yang sengaja kesana buat pacaran. Kalo berminat, silakan saja memasukan pantai Pok Tunggal kedalam daftar tujuan favorit buat yang-yangan. Tak perlu takut mikirin biaya, karena cukup banyak semak-semak potensial untuk sekedar nggesruk menikmati keindahan karunia Sang Pencipta.

Selamat jalan-jalan...



Read More

30 Oktober 2012

Wifi Bandara


#Semua Umur

Lama ga numpang onlen di bandara Soetta, pas kemarin pengen onlen jadi kaget ketika semua free hotspot menyaratkan login. Aku pikir dirubah harus bayar, ternyata tidak. Cukup diminta register dengan HP trus dikasih username dan paswordnya melalui sms.

Hotspot Login


Kemarin jadi kebelet onlen karena ada pemberitahuan delay. Begitu login ternyata lumayan ngebut. Skrinsut dari speedtest.net hasilnya seperti ini.

Server Lokal

Server Luar Negeri


Dulu suka males onlen di bandara karena leletnya minta ampun. Di bandara Jogja atau Banjarmasin malah sering ga bisa nyambung ke jaringan wifinya. Tau bisa kenceng begini, harusnya datang dari pagi. Lumayan kan bisa donlot banyak-banyak daripada nebeng kantor yang lemot atau nongkrong di warnet.

Sempat putus dan harus login ulang. Katanya sih dibatasi sampai satu jam kedepan. Tapi kayaknya ngaco. Orang aku relogin jam 16 lewat tapi dikasih kesempatan sampai pukul 19:16. Ga tau ini bener apa engga karena keburu ada panggilan boarding.

Relogin


Salah aku juga kali
Waktu ada pengumuman delay satu jam, aku bilang ke petugasnya terminal, "kalo molor lagi, pramugarinya aku bawa pulang satu..."

Baru saja cari-cari film buat didonlot, eh delaynya ga jadi
Ga lagi-lagi deh komplen-komplen orang kayak gitu
Sudah gagal donlot, gagal pula bawa pramugari...

Semoga semua bandara bisa seperti itu
Ga cuma di Soekarno Hatta 



Read More

27 Oktober 2012

Sabun Cair

image credit to kaskus

#Bimbingan Orang Tua

Sabun cair memang praktis. Apalagi kalo lagi jalan-jalan. Habis mandi cukup dilap botolnya sudah bisa masuk koper tanpa ribet lagi. Kalo habis tinggal beli isi ulangnya saja. Atau nuang sabun orang lain yang ada di kamar mandi tanpa harus ketauan nyolong.

Tapi di sisi lain, sabun cair boros juga. Apalagi buat aku yang lebih banyak berada di hutan dimana tingkat konsumsi sabun tergolong tinggi. Banyak teman yang kehabisan sabun dengan nyamannya bilang pinjem tanpa mikir kalo itu stok tersisa sampai tanggal gajian. Ini kasus yang jarang terjadi bila kita pakai sabun batangan. Apalagi yang merknya cap tangan.

Tidak cuma di hutan. Di rumah pun ada pengalaman yang menyebalkan dengan sabun cair ini. Bagaimanapun juga kalo di rumah aku kan rajin mandi dan keramas. Beberapa kali lagi asik mandi, listrik dimatiin sama PLN. Jadinya acara gerayangan nyari sabun ini pernah salah sasaran.

Beres nyabun, dibilas beberapa kali kok tetep aja licin. Begitu listrik nyala atau sengaja buka pintu biar cahaya masuk, jebul yang aku embat botol shampo. Kasus sebaliknya juga pernah terjadi, aku keramas pakai sabun.

Eh, sori...
Teroris kecil mulai larak-lirik laptop
Dilanjut nanti deh cerita tentang sabunersnya
Aku post dulu aja ya...

Ada pengalaman lain..?




Read More

Ke Jogja Dulu

Jemput ayah di bandara, neng...

#Dewasa

Hari kamis kemarin, persiapan proyek dan belanja ini itu sudah beres. Rencana sebelumnya sih malem takbiran berangkat ke hutannya. Tapi engga tau kenapa, juragan malah ngundur keberangkatan hari senin depan.

Nunggu sampai senin, padahal di kantor statusnya libur panjang karena sabtu dijadikan cuti bersama jelas bikin bete. Ngapain coba ga ada kegiatan selama 3 hari. Mau jalan keliling Jakarta, kondisinya tanggal mumet. Tidak tanggal tua pun aku suka sayang kalo buang duit jalan-jalan sendiri. Rasanya lebih manfaat kalo aku kasihin ibue buat nambahin beli susu si Ncit.

Payahnya, pemberitahuan pengunduran itu telat. Makanya pas aku cari tiket ke Jogja semua kasih keterangan sold out. Kereta api juga sama. Mau naik bus, aku kurang suka. Kelamaan di jalan, bikin pantat panas dan tambah tepos.

Cek tiket hari jumat, harga di kisaran 900 ribuan. Nemu yang malem tarifnya 600 ribu. Padahal penerbangan Jakarta - Jogja biasanya cuma 300 ribuan sama dengan kereta api.

Udah mikir pasrah bengong sampe senen, ibue nelpon dan ngotot nyuruh pulang dulu. "Mayan 2 hari di rumah sebelum masuk hutan lagi sampai pertengahan Desember..."

Bener juga sih...
Sepeda motor saja sebulan sekali musti ganti oli. Ini mau kerja keras hampir dua bulan, oli ga diganti tar malah error pistonnya.

Yoweslah aku pulang dulu...
Semoga kualitas service bengkelnya sepadan dengan biaya yang dikeluarkan...

Selamat datang di Jogjakarta...



Read More

26 Oktober 2012

Mengenang Mbah Maridjan


#Semua Umur

Orang lain sibuk mikirin kurban dan sate, aku kok malah inget Mbah Maridjan. Hari ini tepat dua tahun beliau meninggalkan alam ini dengan indah. Gugur dalam tugasnya sebagai prajurit yang tidak lari dari gelanggang sekaligus dalam kepasrahan terhadap Sang Pencipta.

credit to inilah.com

Aku sendiri tak mengerti, kenapa musti terharu yang teramat dalam ketika mengenang sosok lembut yang susah diajak foto bareng itu. Aku pun selalu mangkel kalo ingat pejabat yang "nyocot" bilang beliau bodoh tak mau meninggalkan daerah bahaya. Padahal yang bodoh kuadrat pangkat duapuluh tujuh ya dia sendiri. Berani "nyangkem" tanpa mau melihat dari berbagai sisi pemikiran.

Pemahaman beliau tentang Merapi, aku kutipkan dari jurnal lama, Mbah Marijan & Synchronization Beam Cycle.

Merapi mboten nopo-nopo, anteng mawon, nek mbangun lan reresik niku biasa. Nek pas Merapi mbangun, ojo nyebut nek Merapi njebluk. Nek aku ora ngono anggonku nyebut, ning aku nyebut kanthi, assalamu'alaikum, duh gusti kula nyuwun wilujeng...

Merapi tidak apa-apa, tenang saja, kalo mbangun atau bersih-bersih itu biasa. Kalo pas Merapi mbangun, jangan mengatakan meletus. Kalo aku tidak begitu menyebutnya, tapi aku nyebut, assalamu'alaikum, duh Gusti saya mohon keselamatan...

credit to Anazkia dkk

Aku tidak menganggap itu sebagai kebodohan atau kekeraskepalaan seorang Maridjan, melainkan sikap prajurit yang sempurna. Beliau memahami betul bahwa tugasnya adalah abdi dalem penjaga Merapi. Sebagai prajurit sejati tidak semestinya bila dia desersi. Gugur di medan tugas adalah kebanggaan terbesar seorang syuhada.

Bandingkan dengan para pelayan masyarakat kita saat ini. Kerjanya amburadul, korupsi digedein, ketika ketauan belangnya malah lari ke luar negeri. Sudah gitu kok masih tega ngatain orang yang tak mau meninggalkan tanggung jawabnya sebagai bodoh. Tak ada kata yang lebih tepat di bibirku untuk menggambarkan mereka selain mengeluarkan isi kebon binatang.

Ada yang menarik untuk disimak dari ucapan beliau dalam iklan minuman energi. 
Roso..! 

Mungkin kita suka mengartikannya sebagai rosa alias kuat yang digambarkan dengan keperkasaan beliau sebagai penjaga gunung Merapi. Namun bila aku lihat filosofi hidup beliau, sepertinya roso itu lebih tepat artikan sebagai rasa

Ya, rasa...
Sebuah kunci untuk menjalani hidup dengan baik. Sebagai makhluk sosial kita harus bisa mendalami kata rasa dan rumangsa. Tanpa itu kita akan terjebak kedalam kata rumangsa bisa (merasa bisa), bukannya bisa rumangsa (bisa merasa). 

Dengan rasa, kita bisa menelaah setiap perbuatan. Sebelum kita mencubit orang lain, paling tidak kita coba rasakan bagaimana rasanya kita dicubit orang. Melihat orang lain dalam bencana, tak ada salahnya kita berandai-andai bencana itu ada pada diri kita. 
Tentang ini pernah aku tulis dalam jurnal Roso..!!!

Selamat jalan, mbah...
Aku bangga pernah mengenalmu. 

Setidaknya kita punya sifat yang hampir sama 
Ya beda-beda dikit lah sama temen kan gapapa
Kalo simbah orangnya low profile
Aku slow profile 
#Lemot dikit...




Read More

25 Oktober 2012

Belanja


#Semua Umur

Akhirnya tamat juga pekerjaan yang menjemukan dan senin depan sudah bisa kembali ke habitat lama di hutan. 

Kebiasaan kalo butuh apa tinggal minta ke logistik, disuruh belanja sendiri rasanya bikin bete abis. Harus kesana kemari cari pembanding harga, nawar sana nawar sini, malesnyaaaa...

Jangankan ke Glodok yang tokonya bejibun, cuma nganter ibue Citra ke pasar Bringharjo juga aslinya enggan. Ngalor ngidul semua ditanya, semua dipegang, tapi dibeli kagak. Mendingan kalo di supermarket, belanjaan dan anak-anak bisa dimasukin troli. Di pasar tradisional mah kudu alih profesi jadi tukang panggul.

Hal lain yang bikin aku suntuk adalah keramaian. Entah kenapa aku suka pusing kalo lihat orang banyak umpel-umpelan kaya semut. Sudah di jalannya macet, orang-orangnya ga pada mikir toleransi bentar-bentar klakson. Makanya aneh kalo ada yang bilang orang kota itu lebih intelek dan beradab. Wong kenyataannya perilaku mereka di jalanan lebih biadab ketimbang orang-orang pedalaman Kalimantan.

Waktu di Jogja pun sama. Saat musim liburan, aku males banget keluar rumah. Jogja bukan kota yang nyaman lagi ketika hari libur tiba. Enakan diam di rumah main dengan anak-anak atau ngungsi keluar kota cari tempat adem.

Mau jalan ke mall juga kalo ibue ikut. Disuruh berangkat sendiri, jujur aku wegah. Paling sering kejadian kalo pergi tanpa ibue adalah bingung waktu mau pulang. Suka mumet nyari-nyari mobil tadi di parkir dimana. Kalo remote bisa bicara, mungkin sudah ngomel-ngomel mulu dipencetin terus-terusan. Padahal gimana mau bunyi kalo nyarinya di lantai yang salah.

Sampe-sampe ibue suka komentar, "ngakunya pensiunan SAR, tapi hobinya kesasar..."

Piye meneh, bu...
Wong kenyataannya gitu...



Read More

23 Oktober 2012

Pernyataan Bodoh


#Bimbingan Orang Tua

Lagi bengong pasca proyek berburu tikus, aku iseng buka Whatsapp di letop dan dapat satu pertanyaan bodoh. "Pernah nonton film jorok gak..?"

Aku bilang bodoh karena jawabannya pasti bukan pernah atau belum. Kayaknya lebih tepat kalo pertanyaannya adalah sering atau suka liat apa enggak.

Namun ternyata vonis bodohku itu salah sasaran dan berbalik menunjukan kebodohanku. Karena yang dimaksud dengan kata jorok oleh temanku itu tidak seperti yang aku pikirkan, melainkan film yang berkotor ria atau menjijikan ala fear factor.

Bukan isi pertanyaannya yang menarik untuk dibahas, melainkan kebodohan kecil yang sering terjadi dalam keseharian. Kita begitu sering melihat orang dengan kacamata sendiri. Sayangnya apa yang kita lihat sepintas itu langsung dijadikan dasar untuk memvonis secara general

Jarang kita mau menelusur lebih jauh agar bisa melihat dari sudut pandang berbeda. Apalagi kalo menyangkut sesuatu yang berlawanan dengan prinsip pribadi. Baru dengar sepotong sudah langsung tutup buku wassalam klepat. Melihat lumpur langsung pergi menjauh, sehingga tidak pernah tahu kalo di bawahnya ada mutiara yang indah.

Kesimpulanku secara pribadi
Saat kita menganggap orang lain bodoh, seringkali bermakna bahwa kita sedang menunjukan kebodohan diri sendiri.

Kisah selanjutnya juga belum sepenuhnya lepas dari idiom di atas. Ketika dalam hati aku mengakui skor 1:0 atas kebodohanku, temen itu bilang, "katanya lagi di Jakarta. Kopdar yuk..."

Seperti biasa tiap kali ada ajakan kopdar, jawabanku tak banyak berubah. "Ga ah..."
"Kenapa..?"
"Maap, aku ga pede..."
"Ketemu sama orang jelek saja ga pede. Payah lu..."

Dapat jawaban kayak gitu, maksudku cuma mau teriak dalam hati kalo skornya sudah 1:1. Eh, malah keceplosan dengan jujurnya. "Habisnya lu jelek sih. Coba kalo cakep. Ga usah diajakin dah nyamperin dulu..."

"Haaah..? Semprull..."

#Hiks, maap...



image credit to google










Read More

Berburu Tikus


#Semua Umur

Menetap sementara di Jakarta, aku pikir bisa dianggap refreshing dengan rutinitas kerjaan di tambang yang kadangkala nyleneh dari pakem. Salah satunya tentang perangkapan jabatan tanpa surat keputusan sebagai staf multifungsi tapi satu slip gaji. 
#Orang Dayak bilang, "haut uyuh bagawi, gaji UMK..."




Di kantor pusat semua jaringan pake kabel LAN. Pasti ga ribet atau banyak gangguan seperti di site yang semuanya pake wifi. Berarti kebiasaan bobo siang yang selama ini sering terganggu, di sini bisa berjalan lancar aman terkendali. Minimal aku bisa jadi IT beneran yang ga perlu belepotan oli seperti aku ceritakan di jurnal Foreman Genset.

Ternyata semuanya hanya angan. Kenyataanya laporan koneksi putus nyambung lebih banyak disini. Mengatasinya lebih ribet karena harus memeriksa jalur kabel yang menyelusup kemana-mana. Padahal kantornya delapan ruko yang dijadiin satu dan 5 lantai tingginya. 
#Orang sunda bilang mah, "alabatan di leuweung riweuhna..."

Selama ini, staf yang ada di sini tak pernah mau "totorolongan" menelusur jalur kabel yang gelap dan apek. Setiap ada yang putus diatasi dengan tarik kabel baru. Lebih mudah memang. Tapi tidak menyelesaikan masalah karena besoknya putus maning putus maning.

Saat meeting dengan juragan aku dimintai pendapat untuk menuntaskan masalah tersebut. Aku bilang saja agar desainnya dibikin seperti di site. Toh ini di kota dan dalam gedung yang ga begitu banyak berurusan dengan listrik genset ga stabil dan petir. Jaman canggih kok masih pake kabel. Wireless dong...
#Orang bule bilang, "no time no money no dong..."

Usulan disetujui tapi pelaksanaan proyeknya awal tahun depan. Sebelum itu terealisasi, aku diminta membuat program pertolongan pertama pada koneksi agar lancar dulu. Dari hasil penelusuran ala si bolang, aku temukan bahwa kabel-kabel tersebut putus digigit tikus. 

Laporan ke juragan dan langsung dapat instruksi.
"Kalo begitu hari ini kamu beli perangkap, lem dan racun tikus"
"Kok ane, gan..?"
"Iya. Kerjaanmu sekarang dipending dulu dan sementara fokus berburu tikus"
"Whaaaatttsss..?"
#Orang Jawa bilang, "ndiasmu ruag..."

Baru nyadar kalo kepanjangan IT di site dan di pusat memang beda
Kalo di site berarti Iii Tapedeeeh
Di sini Iii Tikuuuuus....

Maap kalo belum bisa BW
Mau berburu tikus kantor dulu
Sapa tau kepake di Senayan suatu saat nanti 
#Ibue bilang, "lempar panci..."


Read More

21 Oktober 2012

Duotone


#Segala Umur

Ada yang nanya tentang gambar duotone yang terpajang di jurnal Hitam dan Putih melalui japri.

Mau ngejelasin ini sebenarnya ragu. Yang jago sotosop pasti ngetawain karena memang sangat sederhana secara teknik. Aku sendiri membuat itu bukan karena sisi teknis editing-nya. Tapi menekan stress melalui kegiatan cropping meng-cropping-nya.

Proses cropping tak butuh kemampuan teknis atau sentuhan jiwa seni tinggi. Cuma butuh telaten dan teliti saja. Proses ini tidak memeras isi kepala makanya lumayan efektif untuk menurunkan kelelahan otak. Malah bisa dipakai untuk menilai tingkat kemumetan. Saat hasil cropping semakin rapi, itu tandanya ketegangan sudah menurun.

Ada dua tipe utak-atik duotone yang aku lakukan. Bila stressnya tidak terlalu berat, aku ambil foto warna dan pilih salah satu obyek yang menyolok untuk di-cropp. Duplicate dulu gambarnya jadi dua layer. Layer duplikat tadi yang dipotong menyesuaikan bentuk obyeknya. Kalo sudah selesai, layer background-nya dijadiin hitam putih dan layer yang di cropp tadi biarkan saja. Jadilah hasilnya seperti ini.

Agustusan di tambang


Ketika mumetnya rada berat, aku lakukan proses kebalikannya yaitu mewarnai foto hitam putih. Biar ada sedikit gambaran, aku kasih ilustrasi saja ya. Maap kalo jurnalnya jadi agak berat kebanyakan gambar.

Buka satu foto hitam putih di Photoshop. Sesuaikan saja tingkat kerumitan gambarnya dengan keinginan.


Karena pewarnaannya satu persatu, pilih satu obyek dulu dan copy ke layer baru. Seleksi pake Rectangular Marquee Tool saja dulu, lalu klik Layer - New - Layer via Copy



Setelah itu baru diseleksi sesuai kontur obyeknya. Klik Select - Inverse untuk membalikkan seleksi lalu tekan Del untuk menghapus bagian yang tidak dipakai.



Selanjutnya adalah proses pewarnaan. Klik Image - Adjusment - Hue/Saturation.



Klik dulu tombol Colorize di kanan bawah pop up. Geser-geser slider yang ada untuk mencari warna yang diinginkan.



Selesai itu, pilih obyek lain dan ulangi proses yang sama.



Hasil setengah jadinya kira-kira begini


Inspirasi mewarnai foto hitam putih didapat waktu nemu gambar ini di google
Credit to Christian Dwiky



Dah tamat
Ga pake ending
Biar gak dikomentarin...



Read More

20 Oktober 2012

Pelarian Mumet

#Bimbingan Orang Tua

Deadline semakin mepet. Kadar stres makin meningkat. Padahal otak harus tetap jalan jangan sampai hang. Masalahnya tak pernah bisa lepas dari soal perkubuan manajemen sebagaimana aku ceritakan dalam jurnal Hitam dan Putih.

Mending kalo posisiku lagi di Kalimantan. Jalan ke tambang, nongkrong di hutan atau kebut-kebutan di sungai Barito lumayan efektif untuk membuang bete. Saat di Jakarta seperti sekarang ini, sangat sulit bagiku mencari tempat refreshing.

Dalam hal ini, mungkin aku rada kurang normal di mata umum. Kalo orang lain pergi ke kota untuk cari hiburan, aku justru lebih suka menyepi. Melihat banyak orang malah membuatku makin pusing. Apalagi kalo jalan ke mall dengan SPG bejibun, wah mumetnya bisa merembet ke kepala yang lain.

Untuk mengatasi jenuh ringan, ngeblog dan hahahihi berbalas pantun di situ sudah cukup. Ketika mumetnya sudah sampai tingkat kabupaten, biasanya aku atasi dengan ngutak-atik foto anak-anak di Gimp atau Photoshop.

Masih dalam wacana abnormal tadi. Bila kebanyakan orang resfreshing dengan cara menghindari masalah, aku justru kebalikannya. Stres kelas berat malah membuatku tak bisa istirahat atau jalan-jalan. Aku harus cari kesibukan lain yang bisa membuat aku lupa sejenak dengan masalah sebenarnya. Jadi semakin tinggi tingkat mumetnya, semakin rumit foto yang sengaja aku utak atik.

Karena aku ga pinter edit foto, yang paling sering aku lakukan bikin gambar duotone. Kenjlimetan cropping obyek yang rame itu yang aku gunakan sebagai pengalih perhatian. Apalagi kalo sudah nge-cropp pohon yang daunnya kecil-kecil. Beneran mumet, tapi setelah itu otak kaya habis di Ctrl + Alt + Del.

Aku sendiri ga tau kenapa pelariannya ke permainan warna dalam hitam putih itu. Bisa jadi terinspirasi dari sumber masalahnya yang tak pernah lepas dari konflik perkubuan. Sehingga aku harus mensugestikan otak bahwa hidup dengan banyak warna lebih asik ketimbang alam monokrom.

Tak pernah aku mau nimbrung dalam kelompok-kelompok semacam itu. Pemilu saja golput terus, apalagi cuma lingkup sempit dalam perusahaan.



Tapi ada satu hal yang sedikit mengganggu pikiranku. Mungkin ini karma dari kebiasaan golputku, sehingga setiap cuti lebih sering nemu palang merah di rumah. Jadinya ya golput maning golput maning...







Read More

19 Oktober 2012

Filosofi Batubara


#Bimbingan Orang Tua

Pagi-pagi, masih jamnya tidur malah digangguin staf kantor yang ga pernah ke site. Dia nanya-nanya tentang kondisi di tambang dst dst. Intinya sih penasaran katanya kerja di perusahaan batubara, tapi batunya kaya apa dia belum pernah tahu.



Pertanyaan-pertanyaan seperti itu rutin aku dapatkan setiap kali datang ke Jakarta. Biar kadang bosen ngejawabnya, tapi ya gimana lagi..? Jangankan staf kantor, ibue Citra yang biasanya cuek dengan urusan kerjaanku saja sekali waktu ikut penasaran juga. Kebanyakan liat impotaimen kali, jadinya heran kenapa banyak artis yang ikut mainan batu bara.

Batubara memang menarik perhatian banyak orang walau tak mudah dan resikonya juga besar. Kalo bisa aku analogikan mungkin filosofinya begini.

Batubara itu kotor
Makanya yang nimbrung disitu juga harus siap dengan permainan kotor. Banyak banget mafianya dari sekedar preman kampung sampai level pejabat tinggi yang ikut berebut kuenya. 

Batubara warnanya hitam
Wajar banget kalo banyak yang bermata gelap saat turun ke arena. Sikut kanan kiri biar dapat banyak atau cuma sekedar ngisruh doang yang penting jadi duit. Kasus-kasus dengan akhir tragis banyak terjadi di lapangan. Hanya karena lokasinya jauh dari peradaban saja, makanya jarang sampai lolos ke media.

Bila kita ambil sebongkah batubara dan sebuah korek gas misalnya. Perlu persiapan gas banyak agar bisa bertahan sampai batubaranya bisa menyala. Koreknya pun harus berkualitas tinggi biar tidak meleleh saat dinyalakan dalam waktu lama. Batubara memang susah untuk dinyalakan, namun sekali nyala dia sulit sekali dipadamkan dan nyalanya awet tahan lama. Silakan persepsikan sendiri analogi yang ini.




Aku ceritain seperti itu, ibu cuma manggut-manggut lalu bilang, "kalo gitu ayah kaya batubara dong..?"

Seperti biasa, kalo dapat komen dari ibue perlu waktu agak lama untuk menelaah itu sebenarnya pujian atau hujatan. Sebuah resiko umum dari seorang laki-laki baik hati yang dijodohkan dengan perempuan koplak untuk memenuhi asas dunia diciptakan berbeda-beda untuk saling melengkapi.

"Mengenaskan yo, bu..? Ayah selalu jauh di hutan. Hasilnya tiap hari dikeruk ke Jawa untuk suplai PLTU sehingga Jawa bisa terang benderang sementara Kalimantan tetap byarpet dan kebagian sisa limbah doang..?"
#Kena lo...

"Gak nyambung. Perasaan tadi analoginya ga kesitu..?"
"Trus apa dong..?"
"Ayah tuh sudah item dan kotor tapi males mandi..."
#Hmmm... 

Puter otak bentar...
"Tapi ga identik semuanya kan..? Buktinya ayah ga susah untuk dinyalain kan..?"
"Iya sih... Cuma padamnya juga cepet.."
"Maksutloh..?"
"Kikikikkkk..."
#Hening...

-------update
Tulisane itu banyak woooy...
Jangan ngomentarin buntutnya doang...

*nyampe hutan mau nyabutin akar pasak bumi banyak-banyak pokoknya...
ben kapoook..!!!



Read More

18 Oktober 2012

Krisis Air


#Segala Umur

Lagi masanya nglembur sampe pagi terus, di kantor malah krisis air. Sudah 2 hari dispenser hanya ditemani galon-galon kosong sehingga setiap sore harus beli air kemasan untuk stok begadang. Laporan ke GA cuma dijawab, "kita disuplai air minum seminggu sekali, pak. Ga tau bisa sampe kehabisan. Biasanya ga pernah kekurangan kok..."

Orang GA payah juga. Ga mikirin kalo di lantai atas banyak tukang lagi ngerjain interior siang malam. Karena akses ke lantai atas cuma satu jalan lewat ruang kantor, padahal dispenser di tiap lantai posisinya dekat tangga, jadilah mereka mudah menjarah air minum dari lantai ke lantai.

Nah...
Sore tadi ngantuke gak umum dan pengen ngopi. Aku pasang saja air botolan di dispenser. Colokin listriknya lalu masuk lagi ke ruang kerja. Setelah diperkirakan airnya panas, aku ambil kopi dan pencet kran dispensernya. Lha kok ga ngucur airnya. Aku liat botolnya juga sudah ludes tanpa isi. Wah, pelanggaran tenan ki...

Untung masih ada air kemasan setengah botol kecil. Jadinya bisa aku tuangin lagi ke dispenser. Sayangnya aku lupa ga nungguin, sehingga terjadi pencurian tanpa pamit lagi. 

Rada mangkel dengan kejadian itu, botol yang gede aku isi air kran dan langsung aku pasang di dispenser lagi. Habis itu ga konsen kerja karena tiap menit aku sempatin ngintip keluar. Maksudnya biar puas kalo bisa melihat maling yang ketipu. Ada mungkin 20 kali ngintip. Ga juga ada yang ngembat air kran itu. 

Bosen ngintip tanpa hasil, akhirnya aku pasrah dan kembali ke kerjaan. Lagi asik kerja, tiba-tiba managerku nongol di ruangan bawa popmi kebul-kebul dengan aroma merangsang selera. Asik tho punya atasan perhatian sampe mau bikinin mie segala..?

Habis makan mie, beliau keluarin kopi sachetan dan nyuruh aku bikin. Ya aku jawab saja, airnya ga ada.

"Lha itu di dispenser kan ada yang ngaco ngisi pake botol..."
"Lho tadi bos bikin mie..?"
"Ya air itu..."
"Hmmm..."

#Mendadak mules...






Read More

Ncit's & Urban Sheep

#Segala Umur

Berjudul mumet...
Perusahaan kasih crash program rada gede dengan deadline teramat mepet. Semua prosedur dari hulu sampai hilir di-bypass harus ditangani sendiri tanpa melibatkan unit kerja lain dengan alasan percepatan progress.

Dibelain kerja 27 jam sehari sampai wujudnya berubah seperti anak kampret yang kawin sama bunglon diselingkuhin kuda. Malem ga bisa tidur mirip kampret. Fungsional kerja berubah-ubah kaya bunglon yang kadang menjadi planner, kadang purchasing, project manager, konsultan, ngitungin duit tapi angkanya doang plus merangkap tukang ketik. Pokoknya jadi gak punya udel persis kuda.

Pasukan di Jakarta cuma tiga orang, yang satu kerjaannya ga bisa diganggu gugat, yang satunya malah cuti. Dapat tambahan amunisi 3 orang staf baru yang dua masih athak-uthuk. Sudah gitu si Ncit bolak-balik nelpon mulu nanya kapan pulang kapan pulang.

Hasilnya RAB gak jadi-jadi, malah sibuk ngeliatin foto anak-anak di laptop. 
Timbang setres, represing dulu bareng si Ncit dan mbek kotanya aaah...



Mbek, kita jalan-jalan yuk...


Main kemana ya, mbek..?
Ga ada yang nganterin. Supirnya malah pergi naik pesawat tuh...


Nyanyi saja ya...
Embekku ada lima... rupa rupa warnanya...


Diajak nyanyi malah bobo sih..?


Yaudah kalo cape bobo aja ya, aku mau mainan sendiri...


Tapi main sendiri kok ga enak ya..?


Kita pulang saja, yuk...


Eh, awass jangan liat..!
Ada orang jelek lagi liat-liat foto kita...




Wkwkwkwkkk....


Foto : koleksi pribadi
Lokasi : kolong flyover Janti - Jogjakarta

Read More

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena