Sudah sebulan anak-anak di kampung berbaur akrab dengan budaya dan tradisi Banyumasan ndeso, namun tidak ada perubahan yang berarti dalam hal bahasa atau dialek yang mereka ucapkan.
Jadi kepikiran kebiasaan yang berlaku ketika ada perpindahan antar budaya semacam itu. Orang berlidah Jogja yang sudah bertahun-tahun bermukim di daerah Banyumas sangat jarang yang "kegowo kelu". Bahasanya tetap "bandhek" walau pun setiap waktu ngobrol dengan lawan ngapak. Sebaliknya, orang Banyumas yang pindah wilayah umumnya cepat beradaptasi ikut bahasa setempat walau terkadang "medhok" nya tidak mau hilang.
Dulu kupikir berkaitan dengan gengsi, mengingat ada yang mengidentikan "ngapak" sebagai bahasa ndeso dan "bandhek" adalah bahasa kaum ningrat. Orang Jogja biar puluhan tahun tinggal di Cilacap, gengsi kehilangan identitas keningratannya makanya tidak mau ngomong ngapak. Sebaliknya orang Cilacap baru beberapa hari di Jogja, gengsi dianggap ndeso, lalu ngomongnya maksa di o o in. Beli french fries di warung, ke SPG bilangnya, "tuku kentong goreng, mbok..."
Namun melihat apa yang terjadi pada anak-anak, sepertinya fenomena itu bukan soal borjuis vs proletar. Sebulan lebih mereka di Cilacap, belum mampu merubah "tai ayam" menjadi "tembelek". Kebalikannya si Ncip yang dulu dibesarkan di Cilacap, seminggu di Jogja sudah cukup untuk menyulap "tembelek"-nya menjadi "telek".
Anak-anak yang belum mengenal gaul tidaknya suatu budaya mengalami kesulitan beradaptasi secara cepat, bisa jadi karena menjadi "Banyumas" itu memang susah. Apalagi bila tidak dibatasi di lingkup bahasa saja, tetapi bagaimana menjadi "egaliter" di kala orang mulai membuat kasta secara sosial, bagaimana menjadi "blakasuta" di jaman kepalsuan dianggap kekinian, dst dst...
Jadi kepiye, lik..?
Lah mbuh nyong be mumet koh...
Anggap bae ora ngapak ora kepenak...