Mengikuti instruksi
Mbak Arie untuk
post tentang
traveling bersama keluarga, aku terus terang bingung neh. Sering sih keluyuran keluar kota, tapi kan urusan dinas walau istri ikut. Mau diposting, takut dianggap boong.
Tapi yang pasti, aku dan keluarga kecilku punya lokasi favorit untuk menghabiskan malam minggu. Di alun-alun Jokja, baik alun-alun utara maupun selatan.
Sore hari biasanya aku nongkrong di alun-alun selatan atau yang lebih dikenal dengan istilah "Alkid" (terbaca alun-alun kidul). Aku cukup terhibur dengan ramainya pengunjung yang mencoba peruntungan melalui tradisi masangin. Dengan mata tertutup berusaha melewati sela-sela dua beringin kurung yang berjarak sekitar 15 meteran. Cukup lebar memang, tapi banyak yang tak mampu melakukannya. Tak kurang-kurang yang malah muter-muter ga karuan sampai berbalik arah.
Tradisi Masangin ini erat kaitannya dengan tradisi Topo Bisu. Ritual berjalan mengelilingi benteng kraton pada malam 1 Suro. Dulu para prajurit Keraton Jogjakarta akan berjalan mengelilingi benteng dengan pakaian adat Jawa dan tidak boleh berbicara. Makanya dinamakan ‘topo bisu’.
Selesai mengitari Keraton, ritual selanjutnya adalah berjalan masuk di antara dua pohon beringin di Alun-alun Kidul untuk ‘ngalap berkah’. Mitosnya, kalau bisa masuk diantara kedua pohon beringin itu dengan mata tertutup, bisa terkabul keinginannya.
Menurut kepercayaan di kalangan masyarakat, di antara kedua pohon beringin itu ada tolak bala untuk musuh kerajaan yang berusaha menyerbu Keraton Jogja. Apabila bala tentara musuh masuk di antara pohon beringin itu, kekuatannya akan hilang. Jadi fungsinya seperti benteng yang tidak kelihatan.
Orang yang bisa masuk diantara kedua pohon beringin berarti bisa menolak rajah itu. Mata harus ditutup sebagai simbol bahwa hanya orang hatinya bersih yang sanggup melewati Beringin Masangin. Penutup mata bebas pakai apa saja. Atau dengan membayar 3000 perak, kita bisa menyewa penutup mata dari pedagang disitu.
Di era modern sekarang, pemaknaan terhadap nilai-nilai tradisi mulai berubah. Begitu juga dengan kepercayaan Beringin Masangin yang lambat laun mulai bergeser. Ritual budaya yang awalnya sakral kemudian menjadi satu permainan untung-untungan namun cukup menambah suasana Alun-alun Kidul menjadi semakin ramai. Besarnya antusias pengunjung terhadap permainan yang satu ini, sempat menarik sebuah perusahaan rokok terkemuka mengadakan acara Sampoerna Hijau
Masangin Bareng Peppy.
Termasuk aku. Walau bolak balik kejeduk tembok atau nubruk pengunjung lain, tetap saja tidak kapok untuk mencoba dan mencoba lagi. Sapa tahu bisa nubruk yang cakep tanpa harus dimarahin pengawalku. Hahahaha...
Kalo udah lelah dan perut mulai sakit menertawakan peserta masangin, biasanya aku pindah ke alun-alun utara. Menikmati wedang ronde dan jagung bakar ditemani pengamen yang pentas layaknya band indie. Cukup sepuluh ribu bisa
request banyak lagu.
Aura kraton Jokja cukup membius membuatku merasa damai dan lupa akan segala kepenatan hidup. Apalagi lesehan disana tidak pernah ada
expired time nya. Jajan sepuluh ribu perak, kita bisa ngobrol dan tiduran sampai pagi. Murah meriah tur njeprah...
Asiiik...