29 November 2007

Blakasuta


Pairun beli rinso di warungnya Paijem.
"Mbah, kok dengaren rika umbah-umbah dhewek ? (mbah, kok tumben mencuci sendiri)" tanya Paijem.
"Inyong arep ngumbah kucing (Saya mau mencuci kucing)" jawab Pairun.
"Ra salah, Mbah.(Ga salah, mbah)" Paijem bingung.
"Iya soale kucingku akeh tumane.(Soalnya kucing saya banyak kutunya)" Jawab Pairun.
"Wah ngko mati kucinge rika Mbah (Nanti kucingnya mati, mbah)" Paijem protes.
"Lho, kancaku wingi kaya kue, deneng ora papa(Tapi temenku kemarin begitu, gapapa tuh)" jawab Pairun.

Setelah membayar, Pairun pulang lalu mencuci kucingnya.
Besoknya, Pairun datang lagi ke tokonya Paijem untuk beli rokok.
"Priwe kucingnge rika, Mbah ? (Gimana kucingnya, mbah)" tanya Paijem
"Kucingku mati " jawab Pairun.
"Ngandel ora? Rika dikandani delep sih. Cara ngendi kucing dikumbah nganggo rinso, wong obat tuma be akeh (Percaya tidak? Dibilangin ga percaya sih, Masa kucing dicuci pake rinso, obat kutu juga banyak)" Paijem menggerutu..
"Kucingku mati ora merga rinso (Kucingku mati bukan karena rinso)" jawab Pairun.
"Lha… kepriben sih?? (Lha, gimana sih)" Paijem ga sabar.

"Tek peres . . . ."

Sebuah percakapan dalam keseharian masyarakat Banyumasan.
Satu sisi, menggambarkan keluguan komunitas Banyumasan yang memiliki sifat cablaka atau blakasuta, suatu karakter yang menggambarkan kejujuran yang apa adanya dan seringkali tanpa basa basi.



Namun di sisi lain mengandung begitu nilai-nilai luhur yang sangat dibutuhkan dalam membangun bangsa yang makin morat-marit ini.

Kultur masyarakat Banyumas dalam mengungkapkan sesuatu boleh dikatakan langsung dan terbuka malah cenderung kurang ajar bagi masyarakat lain, termasuk oleh suku Jawa sendiri yang berkarakter wetanan seperti Jogya atau Solo.

Mungkin bisa ditelaah sebuah sajak dari . Prof. Dr. Eko Budihardjo yang dalam bahasa Indonesia berbunyi :

Kalau Anda pengin sehat, minumlah susu
Kalau pengin seksi, rawatlah susu
Kalau pengin cantik, mandilah susu
Kalau pengin iseng, senggollah susu
Kalau pengin nikmat, isaplah susu
Kalau pengin berhasil, jangan kesusu.

Benar-benar blakasuta. Terkesan guyonan tapi mengandung nilai nasehat yang tinggi. Tak aneh bila masyarakat Banyumas menggunakan simbol Bawor atau dalam istilah lain disebut Bagong atau Astrajingga dalam budaya Sunda. Ada juga yang menyebut sebagai Budaya Panginyongan. Sepintas cuek, semau gue, tapi tetap peduli dengan sesama.

Atau coba disimak lagu-lagu banyumasan dari Kang Fajar Sopsan.  Dengarkan lagu yang berjudul Parikan. Terlihat jelas gaya bahasa yang super gaul namun bermakna.

Di era dimana budaya barat menjadi panutan, sepantasnyalah kita menggali kembali dan menjadikan Budaya Blakasuta ini sebagai wacana. Transparansi yang selalu diagung-agungkan oleh generasi saat ini yang katanya sebagai karakter masyarakat modern, kayaknya akan lebih tepat bila kita jalani dengan keterbukaan ala masyarakat Banyumas ini. 

Mengutip budayawan Ahmad Tohari, “watek cablaka kiye kudhune dikembangna dadi etos trasparansi karo kejujuran sing siki agi langka nang Indonesia.” (Watak cablaka ini harusnya dikembangkan menjadi etos keterbukaan dan kejujuran yang saat ini langka di Indonesia)

Kalo mbah Plato bilang das sein dan das solen harus berjalan seimbang, orang Jawa bilang “Urip iku sing sak madyo”. Makna dari kalimat ini adalah "hidup itu jangan berlebihan dan sesuaikanlah dengan kemampuan". Filsafat ini mengajarkan kepada kita agar dalam hidup ini tidak berlebih-lebihan dan berpedoman pada kemampuan yang kita miliki supaya ada keseimbangan antara kemampuan dan tuntutan. Hal ini juga didasarkan pada ajaran agama yang melarang kita untuk berlebih-lebihan.

Gambaran paling mudah dalam keseharian kita adalah Ponsel. Begitu muncul HP dengan fasilitas 3G, kita semua ribut membelinya walau harga masih selangit. Perlukah itu??? 

Padahal kalau kita jujur, teknologi 3G di Indonesia belum maksimal, baru berjalan di kota-kota besar saja. Penggunaan HP buat kita masih didominasi oleh SMS paling banter misscall biar dibel balik dan paling parah adalah CM. Lalu untuk apa kita beli teknologi yang belum bisa kita manfaatkan.

Mengapa kita tak mau jujur kepada diri kita sendiri? Kita diperbudak oleh gambaran semu. Perasaan serba kurang akan selalu mengejar-ngejar sehingga ketenangan hidup tidak bisa kita temukan. Untuk apa menumpuk harta sebanyak-banyaknya hanya untuk mengejar gengsi dan dikatakan wah, kalau ternyata kita makan tak pernah lebih dari satu atau dua piring saja.

Kenapa kita harus berkiblat pada kehidupan selebritis barat sana yang nyatanya rumah tangga saja kawin cerai. Adakah kebahagiaan disana? Mengapa kita tidak memegang prinsip kejawen yang disimbolkan Kang Bawor. “Ojo Dumeh” atau dalam Bahasa Indonesianya “Jangan Mentang-Mentang”

Jangan mentang-mentang kaya lalu sombong, ada masanya kita menjadi miskin atau kita merasa miskin dalam kekayaan kita.

Jangan mentang-mentang cantik dan seksi lalu kita jadi takabur, ada masanya kita menjadi tua dan peot atau merasa jelek dalam kecantikan kita.

Jangan mentang-mentang kuasa lalu kita halalkan segala cara, ada masanya kita menjadi lemah atau menjadi merasa tak punya daya menghadapi masalah sepele dalam kekuasaan kita.

Bukan untuk bermaksud rasis, tapi ada baiknya kita belajar dari sebuah budaya peninggalan leluhur kita. Banyak ungkapan-ungkapan lama yang bisa kita terapkan di masa kini yang Insya Allah tidak akan ketinggalan jaman

Marilah kita belajar hidup dengan BLAKASUTA…..

1 comments:

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena