15 April 2010

Menanti Matahari Terbit Dari Barat

Dalam militer ada hukum hierarkis yang berlaku: tidak ada prajurit yang salah; yang ada komandan yang keliru. Jika seorang prajurit melakukan kesalahan, dua jabatan di atasnyalah yang harus menanggung akibatnya. Maju, mundur, dan mengangkat atau menurunkan senjata oleh prajurit ditentukan sempritan peluit sang komandan.

Tapi itu aturan dalam literatur militer, tidak dalam pandangan masyarakat. Ketika terjadi satu kesalahan di lapangan, masyarakat akan langsung menunjuk hidung pucuk pimpinan tertinggi yang jaraknya paling jauh dari oknumnya. 

Media pun turut mendukung kekeliruan pandang ini. Sehingga setiap permasalahan yang ada, masyarakat kesulitan melokalisasi masalah ke lingkup tersempit agar memudahkan penguraian benang kusutnya. Semuanya secara bertubi-tubi akan terakumulasi di pundak yang paling tinggi.

Tanpa penyempitan lingkup penyelesaian masalah, beban yang ditanggung seorang pemimpin akan terasa sangat berat. Tingkat stres yang tinggi pada level selanjutnya akan mengganggu kejernihan otak sehingga pengambilan keputusan berikutnya seringkali menjadi kurang cermat. Bayangkan saja, mengatur sedikit orang dalam satu keluarga kecil saja seringkali membuat orang serasa pecah kepala. Apalagi untuk yang harus membawahi sampai ribuan orang.

Apalagi kultur pemikiran masyarakat termasuk media masa kita masih terkungkung dalam budaya gumunan tapi kelalenan. Suka heboh tapi cepat lupa. Kebiasaan crosscheck dan periksa ulang sebelum mengambil satu kesimpulan masih sangat sulit untuk ditanamkan. 

Hanya dengan melihat dari satu dua sumber tanpa mencari pembanding langsung menganggap itu sebagai benar. Akibatnya kita mudah terpancing dan cenderung anarkis ketika sudah berada di kerumunan.

Masyarakat dalam komunitas maya pun tak mau kalah. Sampai pusing dengan yang namanya pesbuk. Sebentar-sebentar muncul ajakan grup anu, dukung ini, tolak itu. Euforia kebebasan bersuara tanpa mau berpikir dulu menjadi semacam fenomena baru di negeri ini.

Para petinggi negara ini pun sepertinya sudah kehabisan energi untuk jernih mencari jalan tengah. Mereka  begitu mudah membuat keputusan tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi. Kondisi lapangan teramat jauh berbeda dengan kursi empuk mereka di ruang ber AC yang adem. Memutuskan pengerahan pasukan untuk berhadapan dengan masa seharusnya sudah diantisipasi segala akibatnya. Ketika dua kerumunan besar bertemu dengan hati panas di bawah terik matahari, kadar emosi lebih mudah tersulut.

Tidakkah mereka berpikir, bila nilai kerugian akibat kerusuhan kemarin yang diklaim ratusan milyar digunakan untuk mediasi dengan jalan damai, aku kira tak akan sebesar itu biayanya. Belum lagi kerugian imaterial seperti korban jiwa yang bisa meninggalkan luka dendam yang sangat sulit untuk dihapus. Masih ditambah hilangnya kepercayaan publik terhadap aparat yang merupakan salah satu aset penting untuk bangsa ini.

Kita juga tak boleh lupa budaya kita yang mudah lupa. Ketika satu kasus muncul, semua orang akan berteriak tentang itu. Ketika muncul kasus baru, semua berbondong-bondong kesana, melupakan kasus yang kemarin mereka ributkan belumlah tuntas. 

Pola semacam ini akan sangat mudah digunakan oleh orang besar yang berkasus. Untuk menghindari kejaran publik, mereka sengaja membuat kasus baru. Dan celakanya biaya pembuatan kasus itu dibebankan kepada keuangan negara yang berasal dari uang rakyat juga.

Kapankah carut marut benang kusut ini dapat terurai agar segala yang kita miliki tidak terbuang sia-sia..?

Atau kita memang tengah menanti matahari terbit dari barat..?

Ilustrasi Thinking the New World
Karya Katirin
Tujuh Bintang Art Space

3 comments:

  1. semoga tidak..

    saatnya unk tdk minta org lain berubah, tp saling berbenah diri

    BalasHapus
  2. ach, kapan ya media otak menggantikan otot itu..,,


    hahh...,, negeri tercinta`Q....,,

    BalasHapus
  3. hooh inge...
    sayangnya yang mau berubah suka dianggap penghianat...

    sabar wae do...
    nunggu 2012 kali

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena