28 Januari 2012

Ga Enak Banget

Hal yang paling tidak mengenakan saat bos datang ke site sebenarnya bukan masalah inspeksi itu sendiri. Namanya pekerjaan pasti ada prosedur operasional yang secara standar memiliki sistem audit untuk menunjukkan kinerja saat kita tak bisa ikut dengan kaum penjilat. Makanya saat yang lain mendadak sibuk, aku damai-damai saja tanpa merasa perlu menambah volume pekerjaan. Yang ada malah cenderung menghindar biar ga perlu bergabung dengan pasukan sibuk dadakan. Bos ke workshop, aku kerja di pit. Bos ke pit, aku ke pelabuhan.

Kalo bukan si bos, trus siapa dong..?
Jawabnya adalah para pengikutnya. Sikap mereka seringkali terlalu berlebihan lebih ngebos dibandingkan big bos yang adem ayem. Tak tahu situasi sebenarnya tapi terlalu banyak omong dan seneng ngatur ini itu. Padahal sebagian dari mereka cuma lagi numpang tour doang dan tidak ada di struktur perusahaan. Mungkin mereka memang orang pinter di sekolahan. Tapi mereka lupa bahwa mindset mereka berbeda dengan kondisi di pedalaman. Itulah sebabnya sebagian kecil karyawan memilih untuk menghindar saat wisatawan atau rombongan sirkus itu datang.

Kemarin jengkel juga ketika ada yang datang-datang nanyain toilet yang airnya bersih. Padahal itu air paling bersih karena dapat beli dari PDAM khusus untuk menyambut rombongan. Warga mess biasanya cuma bisa pasrah ketika air berubah menjadi kopi susu dan mengalah ngungsi ke mess tetangga atau mandi di sungai. Nyebelin lagi tuh anak sempat-sempatnya komentar, "masa bos suruh mandi air kayak gini..."

Ampun dah. Baru mau belajar kerja saja sudah sok ngebos begitu. Apa ya bakal bisa jadi pemimpin yang baik suatu saat nanti, bila penderitaan bawahan saja sudah tak mau tahu. Kalo dijawab yang mungkin menurut dia ga enak, keluarnya lebih nyebelin lagi. "Eh, aku sodaranya bos tahu..."

Ga ada syukurnya. Masih untung jadi sodaranya bos. Kalo bukan, apa ya bakalan bisa makan orang kayak gitu...?

Diakui apa tidak, rombongan wisatawan itu beneran menghambat pekerjaan. Saat aku coding yang butuh ketenangan, di luar kamar mereka ribut tertawa-tawa. Mau makan mau mandi juga jadi sungkan harus bolak-balik di depan mereka saat berkumpul di ruang santai guesthouse. Kendaraan operasional juga dipilih yang bagus-bagus untuk mereka kesana kemari. Belum lagi kalo mereka datang mendadak dan ga kebagian hotel, warga mess suka digusur untuk tidur mereka. Pengen kerja nyaman saja susah, padahal kalo kerjaan ga beres kena damprat.

Apa itu memang sebuah kutukan bagi sebuah negeri berjudul Indonesia Raya..?
Sebuah negara dimana pengusaha menjajah karyawan. Dimana penguasa menjajah warga elitnya (baca : ekonomi sulit). Ga bayar pajak, dikejar-kejar. Mau bayar pajak, harus pake nyogok kalo mau cepet beres urusan. Sudah gitu, timbal baliknya kaya tidak berimbang. Fasilitas umum yang ada relatif jarang yang bisa dinikmati dengan aman dan nyaman.

Naik pesawat murah, kalo gak delay bagasi ilang
Naik kereta ekonomi banyak pengamen dan copet
Naik busway tetap saja kejebak macet
Naik angkot diperkosa sopir
Jalan kaki diembat xenia

Nyobain ngesot
Eh, ditendang satpam...

Kemana harus mengadu..?
Ke Ayu Tingting..?

#Gak enak banget...

gambar nemu di google



Read More

27 Januari 2012

Mabok Manggis

Lama-lama lemes juga kebanyakan lembur siang malam tapi amunisi tak pernah berganti. Biar ada sedikit perbaikan gizi, aku minta pasukan masuk hutan kali aja masih ada buah-buahan yang bisa dijarah. Katanya sih masih banyak buah yang bisa dipetik. Cuman sayangnya harus buru-buru ngacir diuber-uber orang hutan, jadinya cuma dapat manggis 2 kantong plastik. Lumayan manis dan seger. Tapi aku lupa pantangan jangan minum yang manis kalo habis makan manggis hutan. Hasilnya langsung mabok kepala pusing ga karuan.

Perasaan sudah dua kali mabok manggis, tapi masih saja nekat minum kopi. Mungkin karena ga pernah minum tolak angin kali ya, makanya kalah sama keledai dan selalu terperosok ke lubang yang sama. Eh, tapi biarin lah dianggap keledai juga. Daripada gonta ganti tempat terperosok tar malah kena PMS.

Pernah ada karyawan yang dinyatakan hilang karena ga balik-balik ke mess. Berbagai macam isu berkembang dari sekedar kabur ngejablay ke kota sampai diembat kuntilanak penunggu pohon cempedak. Besoknya baru ketahuan kalo dia mabok berat gabisa bangun di belakang gudang gara-gara habis pesta manggis hutan sambil minum teh manis sendirian.

Soal itu sih salah dia sendiri jadi orang serakah ga mau berbagi. Makanya aku bikin SOP sendiri diantara pasukan, tidak boleh ada yang masuk hutan sendirian. Kalo hilang apalagi sampai game oper, apa aku engga bakal dikasih kosan gratis 5 tahun berdasar KUHP 359. Soalnya ini di hutan dan daerah yang adatnya masih teramat kuat. Kalo hilang nyarinya susah karena sinyal hape juga sering blank. Apalagi kalo sudah masuk ke ranah adat, bakal banyak acara sampai harus tanam kepala kerbau segala.

Kalo hilang di mol apalagi udah gede sih beda kasusnya. Paling-paling sengaja menghilang lagi nginthilin SPG atau ketangkep satpam karena ngutil kolor. Ga kelihatan batang hidungnya tinggal ditelpon. Kalo hapenya ga aktif, tinggal memanfaatkan fasilitas pengeras suara untuk manggil-manggil.

Eh, tapi jangan salah loh...
Dipanggil-panggil pake pengeras suara gitu juga kadang ada ga enaknya. Kayak kejadian menimpa temen beberapa tahun lalu di kebon binatang Ragunan. Keluarganya sudah ngumpul mau pulang, temen entah ngelayap kemana. Daripada saling mencari, istrinya minta tolong petugas sekuriti di dekat loket kandang monyet untuk manggilin dia lewat pengeras suara.

Panggilan kepada bapak Bambang
Harap segera kembali ke kandang monyet
Karena ditunggu oleh sanak saudaranya
Terima kasih


Gak enak amat...
Read More

Ga Jelas

Biasanya nulis ngelantur suka dibilang ngaco. Kemarin, belajar nulis rada serius ganti dibilang berat. Tapi buat aku ga masalah, wong serius apa engga jurnalku ga ada yang bermutu. Semuanya sekedar buang unek-unek sesaat yang keluar secara spontan, makanya isinya jelas-jelas ga bisa dipertanggungjawabkan di depan penghulu.

Enak ga enak nulis apa adanya memang paling nyaman buatku. Isi otak yang sumpek jadi mengalir keluar dengan lancar. Soal hasilnya jadi ngaco dan ga nyambung itu sih sebuah resiko. Bagaimanapun juga manusia tak pernah bisa lepas dari nasib buruk. Beban kesialan ini yang perlu segera kita lampiaskan dengan baik biar ga jadi masalah yang rumit.

Sebagian orang lebih suka buang sial dengan meratap-ratap di temboknya si Mak Zukacebok. Mungkin bener dengan cara itu bebannya jadi ringan. Tapi bila pengungkapannya terlalu lebay bak ababil alay, kayaknya lebih banyak orang yang mencemooh walau hanya dalam hati. Unek-unek itu sama seperti kentut yang harus segera dikeluarkan. Namun kentut di depan umum, kita lega tetangga menderita.

Aku lebih suka mengeluarkan unek-unek atas segala kesialan dengan santai. Manusia itu dilahirkan dengan membawa standar ganda. Kita suka merasa sakit kalo sial, tapi merasa senang kalo melihat orang lain ketiban sial. Dengan memanfaatkan standar ganda ini kita juga akan memperoleh manfaat ganda. Beban otak jadi enteng bisa keluar, sekaligus membahagiakan orang lain yang senang melihat kesialan kita. Ini sama kasusnya dengan kita kentut bersuara keras di depan rombongan banci. Kita lega, mereka tertawa ceria sambil teriak, "haaaa masih virgin...!"

Keplinplanan kita bukanlah sebuah aib asal bisa diambil manfaatnya. Manusia memang selalu berevolusi dan tidak mungkin ada yang bisa konsisten selamanya. Gausah terlalu jauh ngegosipin orang lain. Aku sendiri merasakan misalnya dalam hal nelpon. Sekarang kalo istri nelpon baru sebentar saja sudah mulai banyak alasan sibuk, mau mandi, ada tamu dan lain-lain biar bisa segera menutup telepon tanpa merasa dosa. Ini berlawanan banget dengan jaman pacaran dulu. Sudah ngobrol berjam-jam, mau nutup saja dibela-belain berantem.

"Dah atuh, tutup telponnya dong beb..."
"Ga ah, ayang yang nutup..."
"Ga mau, kamu dulu..."
"Kamuu.."
"Kamuuu..."
"Kamuuuu..."
"Yaudah, kita putus..!!!"


Terserah deh
Nyambung ga nyambung
Sabodo teuing...


Read More

26 Januari 2012

Tanah Air Beta

Ga enak dengan teman yang suka kasih PR bikin tulisan bertema jarang bisa aku kerjakan, sekarang aku coba deh nulis secara serius. Ini tugas dari pak guru PMP (eh masih ada gak sih pelajaran PMP..), bapak Keven. Beliau memintaku menuliskan cerita tentang Indonesia Raya dan penjabaran Pancasilanya. Tapi maaf kalo analoginya aku tidak bisa menggunakan gaya bahasa jurnalis apalagi puitis.
Semoga memenuhi syarat dan aku ga ngelantur lagi seperti biasanya.
Eng ing eng...


----

Indonesia tanah air beta...

Sebuah negeri yang masih terus mencari bug-bug program agar bisa menjadi tanah air yang full version. Begitu banyak biaya riset yang harus dikeluarkan karena harga sebuah program canggih berlisensi memang mahal. Sudah jadi resiko ketika sebuah negeri masih berversi trial. Banyak orang berusaha mencoba dan membuat ulasan sesuai latar belakang masing-masing.

Puas dan tak puas bukanlah aib untuk produk berlabel beta. Tindak lanjut oleh mereka yang merasa puas biasanya terbagi dalam dua hal. Sebagian begitu antusias dan berharap negeri ini segera terbebas dari segala pembatasan. Yang sebagian lagi merasa sayang membayar mahal secara relatif dan lebih suka mencari aplikasi crack untuk mencuranginya. Seolah mereka lupa bahwa crack itu seringkali disisipi virus yang bisa merusak program tanpa disadari. Efek domino akan terjadi. Kecurangan yang satu akan selalu diikuti kecurangan lain. Virus, worm, spyware, malware, korupsi, kolusi dan sebagainya akan semakin banyak mengganggu pengembangan program negeri beta ini.

Yang tak puas banyak belajar menjadi peretas. Keinginan merebut kendali program berkembang dalam dua versi tindakan. Yang pertama bergerak secara samar membuat berbagai macam virus untuk melemahkan negeri ini secara perlahan. Mereka menunggu popularitas operating system terpasang menurun di kalangan user, agar mereka bisa mempromosikan sistemnya sendiri dan mendapatkan pasar. Mungkin ini memang bisa berhasil. Kampanye kotor semacam ini secara jangka pendek bisa efektif untuk merebut kekuasaan. Namun secara mendasar, teramat besar kekuatan yang harus dimiliki untuk membangun kembali kultur yang terlanjur dirusak secara sistematis dengan metode pelemahan moral sebelumnya.

Merobohkan dasar pondasi seharusnya dilakukan setelah menyiapkan sistem lain yang sudah full version dan bebas bug. Kenyataan yang ada, sistem operasi dibongkar dan diganti dengan versi beta juga. Jadinya rakyat sebagai user selalu dipaksa untuk menikmati proyek trial error para penguasa yang baru. Tak jarang para pembuat program baru ini malah hanyut kedalam paradigma program lama dan melupakan tujuan semula mereka membuat virus agar bisa menjadi robinhood.

Golongan kedua memilih bergabung dengan komunitas open source yang tak memikirkan keuntungan pribadi. Mereka bisa membuat berbagai macam program yang handal dengan biaya gotong royong. Namun ketika sila pertama sudah diamandemen menjadi Keuangan Yang Maha Kuasa, segala ketulusan mereka selalu dipinggirkan dengan berbagai cara. Open source itu mahal namun tidak bisa dijadikan lahan basah bagi penguasa dan pengusaha, bagi pejabat dan penjahat.

Pandangan miring terhadap open source tak cuma menjadi milik pembesar. End user level terbawah pun lebih suka diracuni oleh para penguasa dan menganggap lebih asik nge-crack program trial daripada menggunakan program gratisan yang disiapkan oleh komunitas peduli negeri. Amandemen sila kedua Keadilan Sosial Bagi Seluruh Penguasa dan Kroninya juga berhak mereka nikmati. Sayang cara mereka meminta keadilan kadang berada di jalan yang keliru.

Kita dicekoki penguasa dengan amandemen sila ketiga yang berbunyi Mangan Ora Mangan Asal Kumpul. Akibatnya rakyat jadi gemar berkumpul tanpa perlu mikirin makan apa engga dan harus puas dihibur dagelan para wakilnya. Kenapa kita tidak milih ngumpul dengan komunitas open source untuk bergotong royong membuat program-program nyata untuk memperbaiki negeri ini. Sama-sama tidak makan tapi akan berbeda hasil akhirnya.

Banyak kearifan lokal yang bisa digali di negeri ini. Sayang kita lebih suka hidup dikotak-kotakan oleh konspirasi tingkat tinggi yang bersembunyi di balik tren. Sesuatu yang luhur dikatakan jadul. Yang masih mau menggali dibelokan ke arah yang keliru. Tuntutan akan negeri adil makmur selalu ditepis dengan buaian akan hadirnya sosok Ratu Adil tanpa kita dikasih kesempatan berpikir secara nalar. Kita hanya diam menunggu Satrio Piningit yang katanya masih bersemedi di ujung dunia. Lupakah kita bahwa dunia ini bulat dan tidak ada ujungnya..?

Bisa juga semua ini merupakan kesalahan dari numerologi sejarah suksesi rejim negeri ini. Rejim orde lama digantikan oleh orde baru di tahun 66. Orde baru tumbang dan orde reformasi berkuasa tahun 99. Bisa jadi angka yang sama membuat perjalanan sejarah juga berjalan di alur yang sama. Mungkin ini perlu juga dipikirkan oleh para pembuat program untuk memilih angka yang tepat saat mengganti sistem, agar sejarah bisa berbalik dan atas bawah sama sama nikmat. Misalnya pakai angka 69...

Duh kacaw...
Sampai sila 3 dulu aja deh
Ternyata masih susah nulis tanpa ngelantur...


Read More

25 Januari 2012

Mandi Susu

Setelah menjalani perbaikan gizi saat cuti di kampung, begitu kembali ke site aku harus menjalani perawatan kulit. Setiap hari musti mandi susu karena air di bak mandi sudah berubah menjadi capuchino lagi. Air bersih ada sih di mess sebelah yang jaraknya sekitar 2 kilo dari mess aku. Tapi ya gitu deh. Mau mandi doang harus jalan agak jauh, kok malasnya minta ampun. Padahal si malas ga punya salah apa-apa. Ngapain minta ampun ya..?

Bisa juga mandi di sungai. Kalo nasib lagi baik, lumayan tuh bisa menyelam sambil liat bidadari turun dari jembatan. Sungai disini memang serbaguna. Dari sekedar mandi, nyuci sampai buang air semua tumplek jadi satu. Mungkin tidak higienis, tapi kan airnya jernih dan kata pak kyai asal lebih dari 2 kulah hukumnya suci. Lagian dengan kondisi badan kotor beberapa hari ga mandi, untuk apa kita mikirin air yang sudah jelas-jelas bening. Toh pikiran kotor juga sering berawal dari sesuatu yang bening.

Kalo mau yang lebih dekat, biasanya aku ke mata air di tengah hutan yang berjarak sekitar 500 meter dari mess. Airnya bersih walau bentuknya cuma kubangan atau kolam yang ga terlalu besar. Yang penting jangan kesorean agar ga diserbu gerombolan nyamuk hutan yang segede-gede laler. Bisa-bisa habis mandi bukan cuma badan bersih, tapi juga dapat bonus bentol bentol di seluruh badan.

Susahnya kalo di mata air tuh cuma di masalah boker. Soalnya disitu airnya ga mengalir seperti di sungai. Ngebom di bawah pohon takut penunggunya ga terima. Kalo sampai disumpahin mules seumur hidup kan bisa berabe.

Buat aku sih semua itu ga terlalu jadi masalah. Tapi ada temen yang ribet untuk urusan mandi dan buang air. Sudah tahu kerja di tengah hutan, maunya dapat fasilitas kaya di hotel bintang lima. Sudah gitu suka komplen kalo lihat dudukan closet rada kotor bekas orang jongkok yang mungkin ga sempat lepas sepatu. Kayaknya dia ga tahu hasil penelitian sebuah lembaga entah apa yang menyatakan, 90% toilet umum menggunakan closet duduk. Tapi 90% usernya tidak menggunakannya sambil duduk.

Makanya temen itu suka uring-uringan kalo diajak beol di sungai atau tempat terbuka. Orang di toilet yang ga ada gantungannya saja dia sudah pusing. Katanya ga bisa kalo buang air cuma diperosotin doang. Harus buka celana secara total biar nyaman terkendali dan celana aman dari cipratan asap cair dari knalpotnya sendiri.

Tapi dia punya trik tersendiri saat nemu toilet tanpa gantungan. Celana panjangnya dikalungin ke leher dan ujung-ujungnya ditaliin jadi satu biar ga jatuh. Jadinya ga perlu repot meluk celana segala dan acara ngeden bisa dilakukan sambil pesbukan atau meluk dengkul. Nah, yang rada keren tuh cara dia mengamankan CD. Cukup dipake di kepala jadiin kupluk.

Untung cowok. Kalo cewek kayaknya dia bakalan mengenakan kerudung dadakan pake rok. Urusan CD pun sama. Kayaknya keren tuh ditutupin pake CD daripada poninya miring-miring ga jelas. Atau dibikin cadar juga bisa. Siapa tahu cadar berenda merk sony terus ngetren di dunia fashion.

Halah, mau cerita males mandi malah jadi bikin disturbing story...
Maap...


Read More

Internet Untuk Orang Hutan

Mess baru sudah mulai berpenghuni. Warga makin banyak memang bikin suasana bertambah hangat. Namun masalah juga jadi bertambah. Contoh kasus yang sering menyenggolku adalah efek demam pesbuk yang juga melanda warga hutan. Sebelumnya mereka biasa online melalui hape. Setelah dipindahin, satu persatu mulai beli laptop karena di komplek mess baru memang aku pasang fasilitas hotspot. Kalo siang memang dikhususkan untuk lalu lintas data di kantor. Malemnya baru aku buka untuk warga mess agar ada sedikit hiburan dan ga suntuk-suntuk amat hidup terisolir di tengah hutan. Jadinya mereka yang semula demam BB, sekarang mulai beralih ke letop atau tablet.

Nah...
Ngurus orang-orang gaptek ini yang kadang bikin perasaan ga menentu, antara haru, jengkel dan pengen ketawa. Memang semua itu di luar tugasku karena laptop mereka memang bukan urusan pekerjaan. Tapi demi kemanusiaan apa salahnya aku beramal. Siapa tahu kalo banyak beramal jariyah nanti akan dapat balasan amal gairah.

Namanya juga lagi maruk nemu mainan baru berjudul internet. Kesabaran mengurus mereka harus benar-benar disiapkan. Sudah dibilangin kalo siang ga bisa buka yutub, selalu saja ada yang masukin laporan katanya internet putus. Belum lagi urus yang tiga hari sekali error kena virus karena asal klik di website bokep.

Tapi tak apalah. Minimal dengan itu aku jadi banyak teman. Setiap orang baru yang keranjingan online pasti akan datang kepadaku untuk minta disambungin internetnya. Nilai pertemanan ini jauh lebih berarti dibanding pekerjaan kecil ngurus koneksi. Ga enak sedikit itu mah resiko. Gimana pun juga persahabatan itu kan mirip kencing di celana. Semua orang bisa melihatnya dengan berbagai persepsi, tapi hanya kita sendiri yang bisa merasakan kehangatannya.

Membangun tali silaturahmi dengan banyak orang sudah pasti rasanya beraneka ragam. Ada yang benar-benar polos dan harus bolak-balik diajarin. Ada yang pinter tapi keminter sok iseng ngeborong bandwith dan mutus-mutusin koneksi orang lain. Yang polos tapi keminter juga tak kurang-kurang.

"Eh, si A letopnya baru. Keren banget tuh"
"Masa sih. Emang merek apa?"
"Ituloh, yang ada gambar apel udah digigit"
"Oh itu, gitu aja ga tau"
"Emang apa..?"
"iPhone..."


Emang ada ya letop merk ipon..?

Read More

Di Radio

Setiap habis cuti pasti kerjaan acak-acakan dan perlu dilembur siang malam selama beberapa hari untuk ngeberesinnya. Biasanya sih ga terlalu membebani karena sudah rutin. Cuma lembur kali ini yang rada beda. Karena bersamaan dengan restrukturisasi divisi dan perubahan konfigurasi networking yang harus kelar sebelum big bos datang ke site tanggal 27 besok. Pasukan yang terbatas personilnya aku bagi-bagi agar bekerja secara mandiri di masing-masing site. Niatnya sih biar cepet beres. Eh, yang ada malah jadi suntuk setelah 3 malam harus melek sampai pagi sendirian.

Mau lihat tipi atau film donlotan mana bisa disambi kerja. Alternatif hiburannya cuma dengerin radio online di jogja streamer. Kalo cuma dengerin musik memang bisa dari koleksi mp3 di letop. Tapi saat lembur sendirian di tengah hutan begini, dengerin radio ada nilai lebihnya. Suara penyiarnya membuat aku merasa ada temen dan tak terkesan monoton seperti kalo muter winamp.

Tapi dengar orang nelpon kirim-kirim lagu, aku malah jadi inget jaman sekolah dulu. Apalagi ketika mulai merasakan apa yang namanya kasmaran. Setiap pulang sekolah suka mampir ke studio radio untuk beli kartu pilihan pendengar sampe dibela-belain puasa jajan. Sore harinya langsung mantengin terus radio transistor 2 band kesayangan hanya untuk mendengar pesannya dibacain. Apalagi kalo si yayang juga kirim pesan, wah dunia terasa begitu indahnya.

Setelah Perumtel mulai mengenalkan telpon umum dan radio menyediakan layanan onair via telpon, tiap hari selalu nyiapin koin 50 perakan untuk kirim-kirim salam. Ketika acara mulai mengudara, abg abg jadul berebutan ngantri di telpon umum sambil bawa radio. Begitu lagu hampir habis, koin disiapkan, tekan nomor lalu ditutup. Pas lagunya habis buruan masukin koin dan pencet redial takut keduluan orang lain masuk.

Paling sebel kalo dapat nomor antrian paling buntut. Pas kebagian siap siaga dengan koin di tangan, eh acaranya habis. Atau kalo yang kebagian kloter pertama ternyata anak iseng yang nelponnya pake koin dilubangi dan dikasih benang. Begitu selesai nelpon dia narik benang, koinnya nyangkut dan bikin telponnya macet. Ga cuma pelakunya yang dijitakin, gardu dan tiang telpon yang tak berdosa juga ikut ketiban apes ditendangin berame-rame.

Saat putus cinta pun acara kirim-kiriman pesan lewat radio menjadi ajang pelampiasan unek-unek. "Salamnya buat mikimos dan desi bebek, tadi di kelas paman gober marah-marah melulu. Besok bolos yuk, males ketemu si nenek sihir. Buat penyiarnya yang rukun-rukun aja ya, dari boing di negara beling. Ohiya, minta lagu madu dan racunnya Ari Wibowo... Spesial buat samwan yang tega meninggalkanku..."

Rasanya puas bener, padahal yang dikirimin pesan lagi pada molor semua. Lagian kirim cuman salam doang. Coba sekalian kirim juga laos, temulawak, kunir asem, beras kencur dan lain lain. Pasti besoknya studio radionya langsung tutup karena berubah jadi pasar tradisional.

Masa lalu yang indah...
Ini kisahku mana kisahmu..?
Read More

24 Januari 2012

Bahasa Belepotan

Bahasa yang sebenarnya sarana komunikasi antar manusia, kadang berubah fungsi juga ketika sebuah budaya yang disebut gengsi datang menerpa. Mungkin ini hasil trauma warisan nenek moyang yang sekian lama hidup di bawah jajahan bangsa barat, sehingga pandangan sebagian dari kita kepada orang barat cenderung menganggap mereka lebih superior. Lebih pintar, lebih cakep, lebih kaya dan yang sejenisnya.

Hal ini bisa dilihat saat ada teman kita yang punya kenalan orang barat. Kayaknya ada kebanggaan tersendiri merasa punya sesuatu yang lebih dibanding teman-teman sebangsa. Dalam hal penggunaan bahasa pun bisa tampak, begitu banyak teman kita yang begitu senang ngomong belepotan campur aduk dengan bahasa Inggris. Kalo memang lahir atau lama tinggal di luar negeri seperti si Cincha Lawra sih masih aku anggap wajar. Ini mah dari kecil sampe gede makannya saja gaplek, tapi cuma mau beli batagor saja ngomongnya pake bahasa was wes wos.

Pas gilirannya ngomong sama orang asli sono malah kaya tukang becak Malioboro yang nubruk bule.
"I...I'm sorry, Sir."
"I'm sorry too."
"I'm sorry three."
"What are you sorry for?"
"I'm sorry five."
"Are you sick?"
"I'm seven."
"Wooo gundulmu..!!"


Terus terang aku suka merasa ga nyaman ketika harus ngomong dengan orang yang aku tahu bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, tapi maksa pakai EYD (english yang dibelepotin.) Bukan soal belagunya. Tapi aku jadi kelamaan loading and must be liver-liver dalam mentranslitnya. Apalagi kalo yang diomongin sesuatu yang penting. Kalo cuma bilang ailapyu wot yulopmi sih aku ga begitu mikirin, tinggal jawab saja ai en yu laplapan.

Sekali lagi, yang bikin aku ga nyaman itu yang ngomongnya hanya untuk belagu. Kalo yang niatnya belajar sih aku malah salut. Soalnya aku juga pernah punya kenalan orang barat yang begitu gigih pengen belajar bahasa Indonesia dan Jawa. Bagaimanapun juga dia akan tinggal cukup lama di Jogja. Kan ada pepatah yang mengatakan dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Kemana kita melangkah, belajar bahasa setempat merupakan prioritas.

Tapi aku juga sempat bingung ketika awal dia datang dan menanyakan musholla dengan bahasa Indonesia belepotan. Aku ajak ke masjid dia menolak, "mashala, tidak mosque..."

Aku coba jelasin dengan bahasa yang sama belepotannya bahwa musholla dan masjid fungsinya sama, dia keukeuh menolak dan mengatakan kalo masjid itu untuk beribadah. Dia nanya musholla karena mau kencing. Payahnya aku ga langsung bilang kalo di masjid ada toiletnya karena bingung merasa harus bertanggungjawab jangan sampai teman baruku itu kencing di musholla.

Setelah berusaha saling maksa ngomong pakai bahasa planet, akhirnya dia mengambil kertas dan pulpen dan menulis kata musholla lalu digarisbawahi dan di bawah garis dia nulis toilet. Langsung aku ngakak bego, baru inget kalo di tempat umum suka ada tulisan dengan format semacam itu. Contohnya tulisan exit dibawahnya tertulis keluar. Kayaknya dia mengira kalo toilet itu bahasa Indonesianya adalah musholla.





Read More

Belajar Berbagi

Pagi-pagi baru mau mapan ke tempat tidur, tiba-tiba inget sms ibue yang bilang Citra suka buang-buang makanan. Kebiasaan yang kurang baik walau mungkin yang ada dalam pikiran si Ncit tidaklah begitu. Bisa saja karena dia gemar memang gemar berbagi seperti kalo dia lagi makan gorengan, si Ncip suka dijejelin tanpa mikir adiknya masih terlalu bayi. Citra memang penyayang binatang dan tiap hari temannya kambing, kucing, ayam atau ikan-ikan di kolam mbahnya. Tak aneh waktu dia makan inget temen dan melempar sebagian makanannya untuk mereka.

Aku memang tak ingin jadi diktator termasuk kepada anak. Makanya apapun yang diperbuat anak, aku hanya mengarahkan sedikit-sedikit tanpa melarangnya secara saklek. Aku ingin anak bisa mengerti dan berubah dengan sebenar-benarnya atas pemahaman yang muncul dari dirinya sendiri. Pasti perlu waktu yang teramat panjang. Namun bila ditanamkan sejak dini, aku yakin hasilnya akan lebih baik daripada aku buat secara instan.

Makanya aku sering mengajaknya nongkrong dengan kalangan bawah, biar dia mulai belajar mengerti bahwa hidup itu tak selamanya indah. Aku ingin Citra bisa bisa memahami bila rejeki itu harus dicari dan kadangkala tak mudah, agar dia tak lagi membuang-buang makanan secara mubazir.

Soal berbagi itu, aku sendiri punya kebiasaan yang agak aneh. Terus terang aku ga suka pengemis apapun itu alasannya. Segala kekurangan termasuk cacat tubuh bukanlah hal yang pantas dijadikan alasan untuk meminta-minta. Enek rasanya melihat anak-anak muda yang masih sehat bertepuk tangan dekat kaca mobil untuk kemudian menengadahkan tangan. Aku rasa ini bukan soal ketidakmampuan, melainkan ketidakmauan. Apalagi aku pernah jadi gelandangan di kolong fly over Pasar Senen beberapa tahun lalu. Jadinya aku tahu bahwa hasil meminta-minta mereka bukan sekedar untuk makan, melainkan untuk setor ke preman penguasa kawasan, beli rokok, minuman keras, cimeng dan hal-hal semacam itu.

Rasanya berbeda dengan ketika aku melihat sosok renta yang berjalan terseok-seok memanggul keranjang kacang di Teluk Penyu. Atau nenek tua penjaja koran di lampu merah Gejayan. Tak sayang aku ulurkan selembar lima atau sepuluh ribuan hanya untuk selembar koran sambil bilang, "kembaliannya ambil saja, mbah..."

Bukan kemiskinannya yang mampu membuatku iba. Tapi semangat hidupnya yang membuatku simpati. Terserah orang mau bilang apa. Yang pasti aku tak mau berurusan dengan pengemis. Apalagi pengemis anak-anak. Masa kanak-kanak itu teramat indah dan tak sewajarnya dinikmati di jalanan. Pemberian kita bagaikan pisau bermata dua yang mungkin bisa membantu mereka makan. Namun di lain sisi juga bisa menjerumuskan mereka jadi malas sekolah setelah tahu uang itu menyenangkan. Kalo memang aku berniat berbagi dengan mereka, biarlah aku serahkan saja kepada LSM atau lembaga sosial keagamaan untuk membaginya.


Eh tapi tak selamanya begitu ding...
Ada satu pengecualian soal kasih duit ke pengamen dan sejenisnya, yaitu banci. Kalo yang ini bukan soal simpati, antipati atau diskriminasi. Tapi suer, entah kenapa aku suka ngeri dengan golongan yang satu ini. Asal udah mulai lenggak-lenggok bawa kecrekan, mending langsung kasih duit sebelum mulai towal-towel kemana-mana.

Pernah kepepet sudah pesen makan di warteg ada banci masuk. Pas lagi pesen teh manis, tukang wartegnya nanya, "pake es ga mas..?"

Eh, malah si banci yang jawab, "Kalo ga pake es, berarti teh mani dong..."

Numpang ngamen, om...
Aku tak mau jikalau aku dimadu...
Tambah sewu tak kasih goyang
Molasewu bonus sedot
Kena gigi uang kembali lho cyint.....


#Kabooor....

Read More

23 Januari 2012

Asal Kumpul

Awal tahun naga yang sedikit mengharukan. Bila kemarin balik ke hutan dengan tekat asal nyampe walau kondisi dompet lepet. Pede aja pas sampe mess duit cuman nyisa 50 ribu. Kalo ada kebutuhan mendadak bisa ngebon dulu ke temen-temen kaya biasanya. Yang aku siapin di jalan cuma mengarang cerita sedih buat alibi bila warga mess nanyain oleh-oleh.

Benar juga. Sambutan dari teman-teman begitu meriah dengan wajah-wajah yang sumringah sampai aku rada mikir cara memulai tayangan drama tragedi isi dompet. Tapi ternyata tanpa perlu cerita, aku sudah sedih duluan saat salah seorang teman bilang, "kebetulan elu datang. Krisis ekonomi di mess sudah hampir mencapai puncaknya..."

Parah...
Baru mau bikin stand up tragedy, eh udah diduluin sama yang bilang mau ngutang. Kasbon di kantor katanya lagi ga ada duit dan karena orang keuangannya lagi mudik lebaran cina. Akhirnya aku cuma nyengir doang sambil sok tua kasih nasehat biar pada sabar menghadapi pasang surutnya dunia perduitan. "Makanya pada berenti ngerokok lo..."

Aku cuma bisa menghibur mereka ngasih tahu kalo juragan HRD bentar lagi balik ke site setelah meeting bareng aku di Jakarta kemarin. Baru aja mereka terlihat kembali kelihatan sedikit semangat, si temen HRD nelpon dan bilang gini. "Saya sudah di bandara lagi cari carteran mobil buat balik. Tapi duit saya tinggal 60 ribu. Nanti sampai di site, tolong bayarin dulu carteran mobilnya ya..."

Langsung aku bolak-balik menelan ludah antara bingung, sedih dan pengen ketawa. Apalagi bila melihat wajah-wajah yang penuh harap di hadapanku. Kayaknya ga tega banget kalo mereka harus mendengar berita ini. Makanya pas salah seorang temen nanya ada berita apa, aku sempat diem dulu sejenak mencari kata-kata yang indah buat mereka.

"Ada berita sedih dan gembira. Mau yang mana dulu neh..?"
"Berita gembira apa..?"
"Teman sudah di bandara. Tapi belum jelas kapan nyampenya karena masih cari carteran mobil."
"Berita sedihnya..?"
"Belum jelas juga. Tapi kayaknya fakir miskin di mess ini bakal bertambah satu orang lagi..."
"Maksud loe..???"
"Kong si pat kay dah. Mangan ora mangan asal kumpul..."


Hmmm...
Siapa bilang pekerja tambang banyak duitnya..?
Read More

22 Januari 2012

Wani Piro..?

Ibue nelpon, ngasih tau kalo akta kelahiran Cipta sudah beres setelah sekian lama terkatung-katung. Sebenarnya aku sudah males ngurusnya setelah dihambat berbagai ketentuan birokrasi yang ga jelas di catatan sipil Cilacap. Akta kelahiran si Ncip memang aku bikin di Cilacap walau KTPku Jogja. Kalo mau cepat dan mudah sebenarnya bisa saja aku bikin akta kelahirannya di Jogja hanya bermodal surat bidan aspal. Tapi karena niatnya memang pengen ikut aturan dimana akta harus dikeluarkan di tempat lahir, jadinya setelah aku urus catatan kependudukannya di catatan sipil Jogja. Setelah masuk kartu keluarga, aku minta pengantar untuk urus akta kelahirannya di catatan sipil Cilacap.

Proses di Jogja begitu cepat dan tidak ada masalah. Begitu nyampe di Cilacap, mulai deh kerasa ribetnya sampai 3 bulan belum beres. Apa petugasnya ga mikir kalo aku sudah berniat baik mengikuti aturan dan mau jauh-jauh ke Cilacap hanya untuk mengurus dokumen. Masalah awalnya sebenarnya sepele dan itu sudah menjadi kasus umum di kalangan orang Jawa dimana penulisan nama seringkali tertukar antara huruf A dan O. Nugraha tertulis Nugroho dan perbaikannya hanya dengan cara mencoret. Namun kesalahan itu cuma ada di dokumen awal seperti surat kelahiran yang memang ditulis tangan. Sedangkan di dokumen-dokumen resminya seperti di kartu keluarga semua sudah tertulis dengan benar.

Pertama kali berkas ditolak aku masih bisa mengerti bahwa namanya dokumen itu harus valid. Ditanya apalagi yang harus diperbaiki, katanya cuma itu doang. Tapi di proses selanjutnya selalu muncul lagi muncul lagi masalah baru seperti misalnya foto kopi surat nikah hanya lembar data dan pengesahan doang dan katanya harus satu buku lengkap. Kurang tanda tangan, kurang ini, kurang itu.

Setiap datang menyelesaikan satu masalah selalu dikasih satu masalah baru sampai harus beberapa kali bolak-balik. Mau ga mau aku cape hati sampai aku bilang ke ibue agar ga usah melanjutkan prosesnya. Pokoknya aku sudah berburuk sangka ke petugas catatan sipil Cilacap. Kalo memang benar ini tentang validitas data, harusnya sejak awal diterangkan semua hal yang perlu diperbaiki atau dilengkapi. Ini mah tiap datang dikasih masalah baru. Yang lebih bikin cape adalah pernyataan bahwa akta kelahiran itu sebenarnya sudah beres. Segala keribetan itu hanya sebagai syarat untuk pengambilan akta saja. Tapedeh...

Kalo memang butuh sogokan, bilang dong terus terang. Asal masih wajar, aku juga ga merasa keberatan kasih sedikit uang lelah. Enakan di Jogja, dimana kekurangan dokumen dijelaskan secara gamblang dari awal. Ketika ada kesalahan, petugasnya dengan transparan menawarkan akan aku perbaiki sendiri atau dibantu. Saat jawab akan urus sendiri pun tidak dipersulit dan dikasih panduan secara jelas. Jadinya proses cepat dan ga perlu buang waktu bolak-balik untuk urusan ga jelas. Terserah orang mau bilang ini kolusi atau apa yang pasti aku sebagai warganegara merasa bisa dilayani dengan cepat. Dan aku juga tak merasa kerampokan saat menyerahkan sedikit rasa terima kasih.

Salah engga sih aku agak permisif ke soal kolusi semacam itu..?
Wani piro..?






Read More

21 Januari 2012

Salam Dari Tamianglayang

Seharusnya jurnal ini aku tulis kemarin. Tepat setahun sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di Tamianglayang yang merupakan ibu kota kabupaten Barito Timur. Sebuah kabupaten pemekaran baru di wilayah Kalimantan Tengah.

Saat itu aku baru dua hari bergabung di tempat kerja baru yang langsung menugaskan aku ke pedalaman Kalimantan. Hanya berbekal tiket Jakarta Banjarmasin aku berangkat tanpa kawan atau pencerahan tambahan dari kantor selain kata Tamianglayang yang jadi tujuan. Begitu mendarat di bandara Syamsudin Noor, sempat aku terdiam sejenak mengingatkan diri bahwa aku berada di daerah asing dan waktu sudah larut malam. Tanpa panduan aku harus ambil keputusan dari sekian banyak penawaran yang aku temukan. Bagaimanapun juga aku belum tahu situasi bandara, terminal dan kotanya sekondusif Jogja atau sedikit menyeramkan seperti Jakarta dengan kekejaman calo Pulogadungnya.

Baru saat itu aku tahu bila bandara terletak di Banjarbaru yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Banjarmasin. Baru saat itu juga aku tahu bahwa mencari kendaraan umum disana tidak semudah di Jawa. Sulit untuk mendapatkan bus antar kota bila kita mencegat di jalan. Beruntung saat itu aku masih kebagian bus terakhir walau sempat pontang panting kebingungan.

Untuk yang kebetulan akan menuju ke Tamianglayang untuk pertama kalinya, mungkin bisa sedikit aku kasih gambaran. Ada beberapa pilihan transportasi dari bandara. Yang pengen langsung dan eksklusif, bisa mencarter kendaraan semacam avanza yang ngetem di parkiran taksi. Tarif umumnya adalah 700 ribuan tergantung sopir atau calonya mau ngemplang apa engga. Tapi kalo mau jalan keluar parkiran bandara sedikit dan pinter nawar, biasanya 500 ribu juga mau. Paling praktis adalah menggunakan travel. Untuk yang ini kita harus pesen per telpon dulu agar tahu jam keberangkatannya. Kendaraan yang digunakan kebanyakan jenis elf atau L300 dengan tarif 100 ribu per orang.

Menggunakan bus tarifnya lebih murah. Non AC 50 ribu dan AC 70 ribu. Untuk mendapatkan bus kita harus ke terminal Banjarmasin dulu yang terletak di km 6 atau orang Banjar bilang pal 6. Bila masih siang, dari bandara kita bisa gunakan taksi colt atau lebih suka aku sebut angkot dengan tarif 10 ribu. Menggunakan taksi argo tarif resminya 100 ribu. Tapi kenyataan di lapangan suka berbeda. Walau disebut taksi argo, kayaknya belum pernah aku lihat mereka menggunakan argo dan lebih suka borongan. Bisa ditawar jadi 60 atau 70 ribu per orang tapi harus bawa penumpang lain. Kalo tidak bawa banyak barang, aku lebih suka ngojek dengan tarif 30 ribu.

Kalo malas menempuh perjalanan darat selama 6 jam, kita bisa menggunakan pesawat kecil yang terbang sehari sekali dari Syamsudin Noor ke bandara perintis Warukin di Tanjung. Tarifnya sekitar 600 ribuan dengan waktu tempuh sekitar setengah jam. Dari Tanjung ke Tamianglayang harus menggunakan jalan darat dengan waktu tempuh sekitar satu setengah jam.

Kira-kira begitu gambaran sekilas tentang sarana transportasi dari Banjarmasin menuju Tamianglayang. Siapa tahu ada teman yang berminat mengais rejeki di wilayah yang baru dimekarkan dan sangat banyak peluang usaha disana. Perusahaan tambang batubara bejibun, kebun sawit atau karet juga teramat banyak. Kotanya kecil dan masih dikelilingi hutan dengan sarana hiburan sangat minim.

Cukup banyak pendatang dari berbagai daerah luar Kalimantan disana. Dari yang sekedar ingin bekerja sampai buka usaha. Tak perlulah mikir terlalu jauh bikin perusahaan besar. Saat pulang lebaran kemarin, aku duduk bersebelahan dengan perantau dari Wonogiri. Sudah 5 tahun beliau berjualan martabak di Tamianglayang dan katanya hasilnya lumayan bisa buat bangun rumah kecil-kecilan di kampung. Entah benar entah tidak, beliau juga cerita kalo lebaran kali ini bisa bawa pulang uang hampir 60 jutaan hasil dari 3 lapak martabaknya selama setahun. Sebuah penghasilan yang lumayan untuk usaha yang tak membutuhkan modal terlalu banyak atau sekolah sampai bangku kuliahan.

Kalo memang Tamianglayang bisa dijadikan tempat pengharapan, kenapa pula harus memaksakan diri bertahan di Jawa yang sudah penuh sesak manusia...?
Salam dari Tamianglayang...

---Update
Berhubung banyak yang nanya masalah transport via email, aku tulis saja disini bahwa aku biasanya pake Joko Travel nomor kontaknya 081 348 756 612. Armadanya Avanza dan Inova melayani travel reguler dan carter.

Misalkan mendarat terlalu malam dan ketinggalan travel reguler, tinggal telpon saja nanti dijemput dari bandara dan bisa numpang istirahat dan mandi di mess. Cuma lesehan tapi lumayan nyaman buat kaum backpacker daripada nginep di hotel.




Read More

100 Ribu Perak

Waktu dari kantor menyuruhku ke Jakarta dulu sebelum balik ke Kalimantan, aku pikir cuma meeting sebentar saja dan langsung berangkat. Makanya aku pede abis cuma minta duit ngepas buat bayar travel, airport tax dan makan minum di jalan ke ibue. Toh setelah sampai tambang, pengeluaranku bisa dikatakan sangat kecil. Biasanya duit 500 ribu saja ga pernah habis dalam sebulan.

Ternyata meeting di kantor berlarut-larut dan menahanku beberapa hari di Jakarta. Padahal yang namanya pulang ke Jawa aku selalu dihinggapi sindrom pulang kampung dimana aku jadi doyan banget makan. Menu yang dulu aku anggap tidak menarik pun di saat sindrom itu menginfeksi rasanya jadi super enak. Akibatnya anggaran makan membengkak biarpun aku cuma berwisata kuliner dari warteg ke warteg.

Saat bayar airport tax di Cengkareng, baru ketauan kalo isi dompetku tinggal 200 ribu. Tapi aku masih damai dengan perhitungan bayar tax 40 ribu, travel dari Banjarmasin ke site 100 ribu dan masih nyisa 60 ribu buat jajan. Mulai kerasa mumet setelah pesawat delay dan aku ditinggalin travel yang aku pesan. Ngojek ke terminal Banjarmasin di pal 6 cari bus, ternyata kursi kosong cuma ada buat besok harinya jam 11 siang.

Puter otak sedikit mikirin cara nyukup-nyukupin duit tersisa buat nginep dan makan sampai besok sore. Mau minta ibue kirim ga tega karena posisinya masih di kampung yang jauh dari ATM. Cek saldo di ATM semuanya sudah ngepres dan mepet ke tanggal jatuh tempo tagihan autodebet. Rada tenang ketika lihat di ATM mandiri masih nyisa saldo 298 ribu perak dengan label duit adem. Aku pikir bisa narik 200 ribu dan itu cukup untuk bertahan hidup. Jebul selalu muncul pesan saldo tidak mencukupi dan hanya bisa diambil cepek doang. Baru ketahuan ketika aku tanya temen, ternyata saldo minimal Mandiri sekarang naik jadi 100 ribu perak.

Kesombonganku terhadap duit recehan harus tumbang hari ini. Bila biasanya duit 100 ribu itu terasa sepele, baru sekarang aku rasakan bila nilainya teramat berharga. Tanpa sadar aku jadi pengen misuh-misuh ke Bank Mandiri yang begitu kejam membuat limit saldo minimal begitu tinggi. Sampai aku sempat-sempatin buka google dari hape, cari tahu berapa jumlah nasabah Mandiri saat ini.

Kebayang engga sih, begitu besar dana masyarakat yang tanpa sadar dirampok Mandiri. 100 ribu rupiah dana yang tak mungkin bisa diambil lagi oleh pemiliknya kali 12 juta nasabah itu sama dengan 1,2 trilyun. Dan yang lebih pekoknya lagi, Mandiri itu bank pemerintah yang katanya harus lebih melayani rakyatnya dibanding bank swasta murni yang memang lebih dominan ke mencari untung.

Aneh saja dikasih duit gratisan segitu besar tapi pelayanan di bank masih saja nyusahin konsumen. BRI saja yang dianggap bank kampung sudah bisa memberikan no urut dan tak perlu berdiri saat antri di teler. Apa karena namanya Mandiri, jadinya nasabahnya harus antri berdiri. Kalo begitu diganti aja namanya jadi Manduduk deh...

Dah ah dah mulai ngelantur kemana-mana
Aku nikmatin saja deh acara nungguin bus di terminal ini
Semoga tidak delay lagi seperti kemarin

Mobile Post via XPeria error...

 

 
Read More

Delay Lagi

Bolak-balik agenda kerja kacau akibat keterlambatan jadwal penerbangan, aku agak seneng ketika mendengar ada peraturan menteri yang mewajibkan maskapai memberikan kompensasi 300 ribu per penumpang. Yang bikin seneng tuh bukan nilai uangnya, tetapi ada sedikit harapan agar maskapai bisa terdorong untuk meningkatkan pelayanan daripada harus keluar uang 300 ribu kali sekian ratus orang setiap kali ada penundaan penerbangan. Apasih artinya uang 300 ribu dibanding kerugian yang didapat penumpang saat pesawat delay..?

Jangankan yang punya urusan bisnis. Aku yang lebih sering ngeluyur ga jelas saja seringkali jadi tekor gara-gara pesawat delay. Misalnya saat balik ke Kalimantan yang transportasi ke site relatif terbatas. Sebelum berangkat aku harus pesan travel agar jemput di bandara. Bila pesawatku delay terlalu lama, begitu menyalakan hape sms pertama yang nyelonong biasanya berbunyi, "maaf, dengan berat hati bapak harus kami tinggal karena kasihan penumpang travel lain bila harus menunggu.."

Bila kejadiannya seperti itu, aku harus telpon sana sini cari travel yang masih kosong. Sering juga untung-untungan cari bus ke arah site yang masih ada kursi kosong. Disini berbeda kondisinya dengan di Jawa dimana orang cukup berdiri di pinggir jalan dan dengan mudah mendapatkan bus. Bus antar kota lumayan jarang dan untuk bisa naik harus pesan tempat duduk dulu di agen. Saat tidak dapat travel atau bus pengganti, mau ga mau aku harus nginep semalem dan melanjutkan perjalanan besok pagi setelah nongkrongin bus di terminal atau agen. Apalagi bila aku berangkat dari Jogja yang memang hanya ada satu penerbangan ke Banjarmasin dan waktunya sudah malam.

Tapi setelah baca-baca di beberapa media, jangankan sampai ke peningkatan pelayanan penerbangan. Implementasi aturan itu saja masih simpang siur penafsirannya. Ada yang mengatakan dalam bentuk uang, ada juga yang dalam bentuk voucher yang berlaku hanya 30 hari. Faktor-faktor penyebab keterlambatan yang harus dikompensasi juga belum jelas apa saja. Pihak maskapai masih banyak yang berkilah bahwa penyebab keterlambatan lebih banyak karena faktor bandara dan cuaca. Saling tuding mulai ramai terdengar antara pihak-pihak terkait.

Aku yang awalnya sudah berharap banyak dari aturan itu, akhirnya kembali pesimis sebagaimana layaknya warganegara Indonesia Raya. Boro-boro satu aturan bisa menyelesaikan masalah. Yang ada malah jadi nambahin masalah. Sebagai konsumen aku malah bingung dengan keterlambatan yang dialami itu masuk kategori dapat kompensasi apa engga. Prosedur pengurusannya kaya apa juga ga pernah aku dapatkan sosialisasinya. Tambah bingung lagi ketika membaca - kalo tidak salah di koran Sindo - yang mengatakan pembayaran kompensasi baru bisa dilakukan di Jakarta. Apa ga tambah ribet. Sudah rugi banyak akibat pesawat delay, masih harus ke Jakarta untuk nambah kerugian bila ingin menerima kompensasi yang tak seberapa.

Daripada suntuk nungguin jam boarding yang molor, iseng aku ngajak ngobrol sama kru darat yang jaga di konter keberangkatan. Siapa yang ga tambah bengong ketika pasukan terdepan maskapai saja malah jawab, "sudah dengar sih tentang aturan itu. Tapi jelasnya kaya apa, saya sendiri belum tahu..."

Kepada karyawannya saja pihak maskapai tidak ada sosialisasi, bagaimana ke konsumen..? Mungkin karena aku cuma ngajak ngobrol santai dan ga kelihatan menyerang, dia malah becanda, "wajarlah pak, telat-telat dikit. Yang penting maskapai kita pramugarinya cakep-cakep kan..?"

Ya ampun...
Bahas penerbangan telat malah dibelokin ke pramugari.
Aku tuh mau naik pesawatnya, bukan pramugarinya
Tar malah jadi perang dunia sama ibue dong
Pramugarinya delay 3 bulan...
Halah pekok..!!



Read More

15 Januari 2012

Afika Ngaco

Menjelang cuti kemarin, dari kantor aku dapat jatah letop baru. Saat itu aku langsung kepikiran kasih letop yang lama ke ibue. Semenjak lebih sering tinggal di kampung, ibue cuma bisa online dari hape karena yang ada di Jogja cuma PC yang ribet diboyong kesana kemari. Modem berkartu telkomsemprul pun sudah ada. Biar lelet tapi lumayanlah bisa buat ceting kalo pas kangen pengen lihat anak-anak lewat webcam, daripada maksain pake kaleng susu dikasih benang.

Tapi namanya kesempatan memang kadang berbeda dengan niat. Letop yang sedianya buat ibue dengan segera dikuasai Citra yang tiap waktu buka youtube untuk nonton iklan. Ibue baru bisa pake kalo Citra tidur. Cuma payahnya, saat Ncit tidur biasanya Ncip bangun minta nenen. Untung ibue yang baik hati, gemar menabung dan suka belanja itu ga maniak banget ke letop. Jadinya damai saja ketika harus mengalah ke anak. Sesuai dengan prinsip hidup yang katanya, mengalah tidak berarti menang...

Ngasih letop sebenarnya juga buat ngerayu ibue biar usulan panitia anggaran buat ganti hape segera disetujui. XPeriaku sudah makin parah kondisinya. Jangankan buat ngeblog dihape, buat sms saja sudah ribet karena susah ngetik pakai tangan telanjang. Touchscreen X2 pake yang resistip sehingga sulit buat ngetik tanpa stylus pen. Asal buat nelpon dan sms sih ada hape cadangan. Sayangnya si nokiyem ga mengakomodir urusan ngeblog dan foto-fotoan di jalan. Jadinya aku harus menyampaikan aspirasi ke ibue. "Biasa ngetik pake kiped full qwerty, harus ngetik kiped numerik kok kagok abis ya, bu..?"

Sambutan yang didapat meleset dari bayangan. "Mendingan nokiyem ayah masih banyak tombolnya. Hape asang-usung ibu ga punya kiped, tombol juga cuma satu, tapi ga ngeluh minta ganti..."

Hmmmmanyun dikit...

Masih tentang petuah bang napi tentang niat dan kesempatan yang suka berselisih jalan. Niat kasih letop yang sebenarnya buat nyenengin hati, kemaren malah bikin ribut. Gara-garanya iklan Afika yang diputer bulak-balik sama si Ncit. Tau kenapa aku kesengsem sama si Afika sampe bilang, "besok kalo punya anak cewek aku kasih nama Afika aaah..."

Langsung disamber ibue secepat kilat, "wegaaaah... Cape ga mau nambah anak lagi..."

Untung cuma keributan kecil. Sesuatu yang umum banget terjadi dalam rumah tangga bahagia. Dimana adu mulut biasanya akan berlanjut dengan adu yang lain-lain. Sesuai dengan iklannya Afika yang terpeleset jadi diputer, dijilat trus diceburin. Hahaha basah dah...

Dah ah...
Dah mulai ngelantur kemana-mana
Numpang ngepos doang belum bisa jalan-jalan

Buat yang penasaran sama Afika, tungguin aja di tipi kenongolannya. Kalo pas masuk iklan jangan pindah chanel. Kalo belum nemu, begitu jatah iklan habis, pindahin ke saluran lain yang lagi nayangin iklan. Pengen tau aja kesan orang lain soal si imut Afika. Semoga ga cuma aku yang kena gejala pedopil. Heheh..

Eh, ini sebenarnya mau nyeritain letop, hape, ibue apa Afika sih..? Haha ngaco neh. Pokoknya tungguin aja iklan yang ada percakapan gini

"Afikaaa..."
"Apa..?"
"Ada yang baru neh..."
"Haaah.. jeruk makan jeruk..?"



Read More

10 Januari 2012

Modem Semprul

Gregetan cuman bisa onlen di hape, aku langsung bikin rayuan si raja gombal ke ibue agar mau mengesahkan anggaran buat buat beli modem. Begitu ibue bilang ok, langsung deh meluncur ke kerpur sekalian beli susu si Ncit.

Ada beberapa tipe modem. Sengaja pilih yang GSM, karena yang ketinggalan di kampung CDMA. Maksudnya biar bisa gantian kalo salah satunya sinyalnya ngadat. Sempat pegang-pegang yang murah cuman 300 ribuan. Tapi di sebelahnya ada modem bundling yang kayaknya menggoda. Modem seharga 500ribuan dengan bonus internet gratis selama 6 bulan dengan. Beda 200 ribu kayanya sebanding deh dengan gratisannya.

Nyampe rumah baru nyaho kalo promo tuh tetap saja penuh tipu tipu berembel-embel syarat ketentuan berlaku. Ternyata bundling ini beda dengan promo smart dulu dimana asal beli modem dapat gratisan full speed 100 hari. Ini mah pinter-pinter tukang jual modemnya bikin acara, nebeng promonya Telekomsel yang kasih bonus 300MB per bulan setelah pemakaian minimal. Semprulnya promo itu udah lama lewat. Dan lebih semprul lagi, nomor perdana yang dibundlingin juga sudah kadaluarsa alias hangus.

Buat tes kecepatan, aku pasang nomer simpati yang ada di hape. Wah lumayan ngebut, coy. Tapi baru 10 menit dah macet total ga mau jalan lagi yang jebul pulsa 50 ribu di kartuku sudah raib dimakan setan. Nanya ke konter tentang tarif internet Telkomsel, didapat info ada yang unlimited dengan biaya bulanan 100 ribu. Percaya dengan hasil ujicoba yang ngembat pulsa 50 ribu dalam sekejap mata tadi, mantap aku pilih pake simpati saja.

Registrasi dan segala tata urutan upacara sampai kartu siap pakai. Aku pikir tuntas deh segala masalah untuk urusan online selama cuti. Ternyata koneksi pakai kartu baru itu jauh dari harapan. Lemotnya minta ampun. Mau post jurnal pendek saja perlu waktu sampe setengah jam. Apalagi kalo sore atau malem, bisa langsung berpikir pengen jadi teroris trus pasang bom di towernya Telkomsel.

Nanya lagi ke konter dan dapat jawaban kalo yang unlimited emang kaya gitu. Lebih lambat dibanding yang ga pake reg-regan tapi ngerampok pulsa. Trus kalo traffic lagi padat, user unlimited akan dikasih prioritas paling buntut. Kalo mau kenceng, aku disuruh onlen pagi-pagi. Dan aku cobain emang bener, pagi lebih ngebut. Semprul ah...

Ada gak sih penyedia layanan internet yang beneran murah tapi ga lemot lemot amat di Indonesia raya ini..? Katanya hidup di tengah kota, tapi dapat sinyal 3G aja jarang banget. Masa sih dengan tarif sedemikian mahal, si juragan Telek masih saja miara jaringan EDGE. Maksa pengen internetan selama cuti jadi kerasa mubazir. Apalagi setelah inget kamis besok udah harus balik ke hutan

Dua minggu kok berasa cepet amat ya..?


Read More

08 Januari 2012

Ganti Posisi

Beberapa hari bersama keluarga, aku seperti sedang menuai segala milikku yang sekian lama hilang. Tiga bulan terpisahkan, kayaknya dua minggu pertemuan terasa pendek banget. Kalo bisa sih pengen dibalik, kerjanya yang dua minggu dan cutinya tiga bulan. Haha, ngiiiimpi...

Bahagia banget sih menikmati kebersamaan ini. Tapi rasa haru kadang menyelinap sesekali. Terutama saat mereka mulai rewel ke ibue. Saat Cipta rewel, biasanya Citra bisa ngerti dan mengalah bermain sendiri. Agak payah tuh kalo Citra lagi mulai rewel karena ngantuk atau lapar, Cipta suka ketularan ikutan rewel. Padahal kalo sudah begitu, tidak ada orang lain yang bisa nolongin selain ibue. Makanya ada rasa yang susah diungkap saat melihat ibue kerepotan di depan mata tanpa aku bisa berbuat apa-apa.

Jangankan lagi melek, waktu  tidur pun selalu saja ada kesempatan untuk ngerepotin ibue. Urusan pipis ga pernah jadi masalah karena sudah ada diapers yang praktis walau boros. Acara yang paling sering ngebangunin ibue adalah soal susu. Kalo Ncit, semalem paling bangun minta susu sekali saja. Si Ncip neh yang kayaknya maruk. Semalem bisa nenen beberapa kali sampe bapaknya cuman bisa menarik nafas panjang doang. 

Masalah lain yang agak bikin repot adalah posisi di tempat tidur. Waktu baru mau tidur semua berjajar rapi. Tapi jangan tanya satu atau dua jam berikutnya masih berantakan atau sudah rapi. Awalnya posisi diatur paling ujung ibue. Trus Ncip disebelahnya, lalu Ncit dan terakhir bapaknya. Maksudnya sih biar aman dan berbagi tugas. Anak-anak sengaja ditaruh di tengah biar ga jatuh ke kolong. Ncip deket ibue biar gampang kalo mau nenen. Ncit sebelahan sama bapaknya, soalnya kalo hanya bikin susu botol kan ga harus ibue.

Tapi masalahnya, cara tidur Citra tuh ngabis-abisin tempat. Dasar anak ga pernah bisa diam, lagi tidur pun banyak bergerak. Anak segede upil saja, tempat tidur selebar lapangan pingpong serasa sempit. Gimana kalo upilnya segede anak..?

Bolak-balik Ncip ketindihan kakaknya, akhirnya formasi dirubah. Ncip tidur di ujung mepet tembok dan dilapisi bantal biar ga kejeduk. Habis itu ibue, lalu Ncit dan tetap bapaknya jadi penutup. Kali ini ibunya yang ribut makin sering terbangun karena tahu-tahu perutnya jadi bantal Citra. Atau tiba-tiba ada jempol kaki mungil nyelap di lubang hidung. Lebih parah lagi, Ncit sering melompati ibue dan kembali tumpuk-tumpukan dengan adiknya.

Si Ncip baru aman dari tendangan tanpa bayangan kakaknya setelah formasi di rubah lagi. Pinggiran tempat tidur diamankan pakai bantal dan urutan tidurnya jadi Ncip, ibue, aku dan terakhir si Ncit. Mungkin karena wangi bapaknya beraroma terasi, makanya Citra ga mau melompatiku ke arah ibue atau adiknya. Anak-anak bisa tidur aman sampai pagi tanpa ada yang saling menindih.

Tapi dengan pola ini yang aman cuman anak-anaknya doang
Orang tuanya malah gantian tumpuk-tumpukan...

Kebersamaan memang indah...

Mobile Post via XPeria
Read More

06 Januari 2012

Citra Jagoan

Begitu mendarat di Adi Sutjipto kemarin, ibue dan anak-anak sudah menunggu di depan pintu terminal kedatangan. Senengnya bisa lihat wajah ibue yang begitu ceria dan si Ncip gundul yang tambah bulet. Pas ngegendong si Ncit yang masih saja kriwil, aku mendadak ngakak melihat mukanya yang babak belur.

Lebih ngakak lagi setelah ibue cerita katanya gara-gara tawuran sama jago bangkok punya mbahnya. Ga jelas awal mula kejadiannya bagaimana. Tahu-tahu lagi berantem aja dengan ayam jago yang tingginya hampir sama dengan Citra. Entah rebutan makanan apa si jago cemburu lihat ayam-ayam cewek se kandang begitu ngefans sama si kriwil yang memang gemar banget makan sama ayam.

Tiga bulan aku tinggalkan, lumayan banyak perkembangan yang terjadi. Kalo dulu sejak lepas ASI dia sudah minum pake gelas, sekarang malah jadi kenal dot. Mungkin kebawa sepupu-sepupunya yang memang ngedot semua. Atau ibue ribet harus bantuin megangin gelas setiap Citra minum, sementara adiknya rewel minta nenen. Jadinya dikasih dot yang praktis dan bebas tumpah diminum sambil tiduran. Ga masalah sih, cuman bibir si ncit kan udah monyong. Ngedot terus apa ga tambah manyun tar..?

Citra sudah lancar menyebut kata ibu dan dede. Memanggilku pun sudah benar ayah bukan lagi ayam seperti sebelumnya. Sudah mulai bisa ngobrol dengan kata yang dipotong-potong. Mobil ya bil, kuda da, pesawat sawat, mendoan ya cuma bunyi ndoan doang. Tapi nyebelinnya dia lancar banget ga pake potongan kalo bilang capedeh...

Masih saja suka bermain dengan binatang walau sudah babak belur sama jago mbahnya. Saat di kampung, sejak bangun tidur sudah lari ke kandang ayam atau kelinci. Pas jalan ke pantai kemarin, begitu turun dari mobil bukannya mainan pasir atau cari jajanan, tapi nyamperin kambing laut yang diumbar di pantai. Beneran penyayang binatang yang kaga ada matinya.

Kesukaannya liat iklan tipi juga belum berubah. Apalagi iklan sonais, sejak jaman Sinjo sampai sekarang Soimah masih saja ribut nyamperin ke depan tipi kalo dengar jingle nya. Yang sedikit berkembang cuma di kegemarannya akan lagu anak-anak. Kalo dulu cuma tahu lagu balonku, sekarang sudah tahu lagu capedeh segala. kalo ditanya lagu capedeh kaya apa, dia akan nyanyi gini.

Capedeh ada mmima
lupalupa nananya...


Numpang ngepost doang
Belum sempet BW

Mobile Post via XPeria
Read More

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena