Hal yang paling tidak mengenakan saat bos datang ke site sebenarnya bukan masalah inspeksi itu sendiri. Namanya pekerjaan pasti ada prosedur operasional yang secara standar memiliki sistem audit untuk menunjukkan kinerja saat kita tak bisa ikut dengan kaum penjilat. Makanya saat yang lain mendadak sibuk, aku damai-damai saja tanpa merasa perlu menambah volume pekerjaan. Yang ada malah cenderung menghindar biar ga perlu bergabung dengan pasukan sibuk dadakan. Bos ke workshop, aku kerja di pit. Bos ke pit, aku ke pelabuhan.
Kalo bukan si bos, trus siapa dong..?
Jawabnya adalah para pengikutnya. Sikap mereka seringkali terlalu berlebihan lebih ngebos dibandingkan big bos yang adem ayem. Tak tahu situasi sebenarnya tapi terlalu banyak omong dan seneng ngatur ini itu. Padahal sebagian dari mereka cuma lagi numpang tour doang dan tidak ada di struktur perusahaan. Mungkin mereka memang orang pinter di sekolahan. Tapi mereka lupa bahwa mindset mereka berbeda dengan kondisi di pedalaman. Itulah sebabnya sebagian kecil karyawan memilih untuk menghindar saat wisatawan atau rombongan sirkus itu datang.
Kemarin jengkel juga ketika ada yang datang-datang nanyain toilet yang airnya bersih. Padahal itu air paling bersih karena dapat beli dari PDAM khusus untuk menyambut rombongan. Warga mess biasanya cuma bisa pasrah ketika air berubah menjadi kopi susu dan mengalah ngungsi ke mess tetangga atau mandi di sungai. Nyebelin lagi tuh anak sempat-sempatnya komentar, "masa bos suruh mandi air kayak gini..."
Ampun dah. Baru mau belajar kerja saja sudah sok ngebos begitu. Apa ya bakal bisa jadi pemimpin yang baik suatu saat nanti, bila penderitaan bawahan saja sudah tak mau tahu. Kalo dijawab yang mungkin menurut dia ga enak, keluarnya lebih nyebelin lagi. "Eh, aku sodaranya bos tahu..."
Ga ada syukurnya. Masih untung jadi sodaranya bos. Kalo bukan, apa ya bakalan bisa makan orang kayak gitu...?
Diakui apa tidak, rombongan wisatawan itu beneran menghambat pekerjaan. Saat aku coding yang butuh ketenangan, di luar kamar mereka ribut tertawa-tawa. Mau makan mau mandi juga jadi sungkan harus bolak-balik di depan mereka saat berkumpul di ruang santai guesthouse. Kendaraan operasional juga dipilih yang bagus-bagus untuk mereka kesana kemari. Belum lagi kalo mereka datang mendadak dan ga kebagian hotel, warga mess suka digusur untuk tidur mereka. Pengen kerja nyaman saja susah, padahal kalo kerjaan ga beres kena damprat.
Apa itu memang sebuah kutukan bagi sebuah negeri berjudul Indonesia Raya..?
Sebuah negara dimana pengusaha menjajah karyawan. Dimana penguasa menjajah warga elitnya (baca : ekonomi sulit). Ga bayar pajak, dikejar-kejar. Mau bayar pajak, harus pake nyogok kalo mau cepet beres urusan. Sudah gitu, timbal baliknya kaya tidak berimbang. Fasilitas umum yang ada relatif jarang yang bisa dinikmati dengan aman dan nyaman.
Naik pesawat murah, kalo gak delay bagasi ilang
Naik kereta ekonomi banyak pengamen dan copet
Naik busway tetap saja kejebak macet
Naik angkot diperkosa sopir
Jalan kaki diembat xenia
Nyobain ngesot
Eh, ditendang satpam...
Kemana harus mengadu..?
Ke Ayu Tingting..?
Kalo bukan si bos, trus siapa dong..?
Jawabnya adalah para pengikutnya. Sikap mereka seringkali terlalu berlebihan lebih ngebos dibandingkan big bos yang adem ayem. Tak tahu situasi sebenarnya tapi terlalu banyak omong dan seneng ngatur ini itu. Padahal sebagian dari mereka cuma lagi numpang tour doang dan tidak ada di struktur perusahaan. Mungkin mereka memang orang pinter di sekolahan. Tapi mereka lupa bahwa mindset mereka berbeda dengan kondisi di pedalaman. Itulah sebabnya sebagian kecil karyawan memilih untuk menghindar saat wisatawan atau rombongan sirkus itu datang.
Kemarin jengkel juga ketika ada yang datang-datang nanyain toilet yang airnya bersih. Padahal itu air paling bersih karena dapat beli dari PDAM khusus untuk menyambut rombongan. Warga mess biasanya cuma bisa pasrah ketika air berubah menjadi kopi susu dan mengalah ngungsi ke mess tetangga atau mandi di sungai. Nyebelin lagi tuh anak sempat-sempatnya komentar, "masa bos suruh mandi air kayak gini..."
Ampun dah. Baru mau belajar kerja saja sudah sok ngebos begitu. Apa ya bakal bisa jadi pemimpin yang baik suatu saat nanti, bila penderitaan bawahan saja sudah tak mau tahu. Kalo dijawab yang mungkin menurut dia ga enak, keluarnya lebih nyebelin lagi. "Eh, aku sodaranya bos tahu..."
Ga ada syukurnya. Masih untung jadi sodaranya bos. Kalo bukan, apa ya bakalan bisa makan orang kayak gitu...?
Diakui apa tidak, rombongan wisatawan itu beneran menghambat pekerjaan. Saat aku coding yang butuh ketenangan, di luar kamar mereka ribut tertawa-tawa. Mau makan mau mandi juga jadi sungkan harus bolak-balik di depan mereka saat berkumpul di ruang santai guesthouse. Kendaraan operasional juga dipilih yang bagus-bagus untuk mereka kesana kemari. Belum lagi kalo mereka datang mendadak dan ga kebagian hotel, warga mess suka digusur untuk tidur mereka. Pengen kerja nyaman saja susah, padahal kalo kerjaan ga beres kena damprat.
Apa itu memang sebuah kutukan bagi sebuah negeri berjudul Indonesia Raya..?
Sebuah negara dimana pengusaha menjajah karyawan. Dimana penguasa menjajah warga elitnya (baca : ekonomi sulit). Ga bayar pajak, dikejar-kejar. Mau bayar pajak, harus pake nyogok kalo mau cepet beres urusan. Sudah gitu, timbal baliknya kaya tidak berimbang. Fasilitas umum yang ada relatif jarang yang bisa dinikmati dengan aman dan nyaman.
Naik pesawat murah, kalo gak delay bagasi ilang
Naik kereta ekonomi banyak pengamen dan copet
Naik busway tetap saja kejebak macet
Naik angkot diperkosa sopir
Jalan kaki diembat xenia
Nyobain ngesot
Eh, ditendang satpam...
Kemana harus mengadu..?
Ke Ayu Tingting..?
#Gak enak banget...