24 Januari 2012

Belajar Berbagi

Pagi-pagi baru mau mapan ke tempat tidur, tiba-tiba inget sms ibue yang bilang Citra suka buang-buang makanan. Kebiasaan yang kurang baik walau mungkin yang ada dalam pikiran si Ncit tidaklah begitu. Bisa saja karena dia gemar memang gemar berbagi seperti kalo dia lagi makan gorengan, si Ncip suka dijejelin tanpa mikir adiknya masih terlalu bayi. Citra memang penyayang binatang dan tiap hari temannya kambing, kucing, ayam atau ikan-ikan di kolam mbahnya. Tak aneh waktu dia makan inget temen dan melempar sebagian makanannya untuk mereka.

Aku memang tak ingin jadi diktator termasuk kepada anak. Makanya apapun yang diperbuat anak, aku hanya mengarahkan sedikit-sedikit tanpa melarangnya secara saklek. Aku ingin anak bisa mengerti dan berubah dengan sebenar-benarnya atas pemahaman yang muncul dari dirinya sendiri. Pasti perlu waktu yang teramat panjang. Namun bila ditanamkan sejak dini, aku yakin hasilnya akan lebih baik daripada aku buat secara instan.

Makanya aku sering mengajaknya nongkrong dengan kalangan bawah, biar dia mulai belajar mengerti bahwa hidup itu tak selamanya indah. Aku ingin Citra bisa bisa memahami bila rejeki itu harus dicari dan kadangkala tak mudah, agar dia tak lagi membuang-buang makanan secara mubazir.

Soal berbagi itu, aku sendiri punya kebiasaan yang agak aneh. Terus terang aku ga suka pengemis apapun itu alasannya. Segala kekurangan termasuk cacat tubuh bukanlah hal yang pantas dijadikan alasan untuk meminta-minta. Enek rasanya melihat anak-anak muda yang masih sehat bertepuk tangan dekat kaca mobil untuk kemudian menengadahkan tangan. Aku rasa ini bukan soal ketidakmampuan, melainkan ketidakmauan. Apalagi aku pernah jadi gelandangan di kolong fly over Pasar Senen beberapa tahun lalu. Jadinya aku tahu bahwa hasil meminta-minta mereka bukan sekedar untuk makan, melainkan untuk setor ke preman penguasa kawasan, beli rokok, minuman keras, cimeng dan hal-hal semacam itu.

Rasanya berbeda dengan ketika aku melihat sosok renta yang berjalan terseok-seok memanggul keranjang kacang di Teluk Penyu. Atau nenek tua penjaja koran di lampu merah Gejayan. Tak sayang aku ulurkan selembar lima atau sepuluh ribuan hanya untuk selembar koran sambil bilang, "kembaliannya ambil saja, mbah..."

Bukan kemiskinannya yang mampu membuatku iba. Tapi semangat hidupnya yang membuatku simpati. Terserah orang mau bilang apa. Yang pasti aku tak mau berurusan dengan pengemis. Apalagi pengemis anak-anak. Masa kanak-kanak itu teramat indah dan tak sewajarnya dinikmati di jalanan. Pemberian kita bagaikan pisau bermata dua yang mungkin bisa membantu mereka makan. Namun di lain sisi juga bisa menjerumuskan mereka jadi malas sekolah setelah tahu uang itu menyenangkan. Kalo memang aku berniat berbagi dengan mereka, biarlah aku serahkan saja kepada LSM atau lembaga sosial keagamaan untuk membaginya.


Eh tapi tak selamanya begitu ding...
Ada satu pengecualian soal kasih duit ke pengamen dan sejenisnya, yaitu banci. Kalo yang ini bukan soal simpati, antipati atau diskriminasi. Tapi suer, entah kenapa aku suka ngeri dengan golongan yang satu ini. Asal udah mulai lenggak-lenggok bawa kecrekan, mending langsung kasih duit sebelum mulai towal-towel kemana-mana.

Pernah kepepet sudah pesen makan di warteg ada banci masuk. Pas lagi pesen teh manis, tukang wartegnya nanya, "pake es ga mas..?"

Eh, malah si banci yang jawab, "Kalo ga pake es, berarti teh mani dong..."

Numpang ngamen, om...
Aku tak mau jikalau aku dimadu...
Tambah sewu tak kasih goyang
Molasewu bonus sedot
Kena gigi uang kembali lho cyint.....


#Kabooor....

12 comments:

  1. wakakakaka...
    aku setuju sob.
    mending kalau mau berbagi langsung ke lembaga swadaya masyarakat biar bisa disalurkan dengan baik.

    ingat kata2 di pertigaan Timoho Jogja : "Peduli tidak sama dengan memberi uang" #nek gak salah

    BalasHapus
  2. seperti biasanya postingan si Om, judul nya apa.. awalnya begimana.. akhirannya kemana.. tapi asli kocak hahahaa...

    BalasHapus
  3. aku suka ga tega kalau melihat penjualny kakek2 atau nenek2

    BalasHapus
  4. idem..om.. lha wong isih enom, kadang lemu ginuk ginuk.. eh.. ngecrek nang prapatan.. doooh..
    nah yen sing sesi terakhir..ki.. marai bongko... wetenge..
    kalau banci.. yang nggilani sing bibir..hidung sudah banyak berubah.. gak tega..nontone..om... eh..ojo lali nganggo es.. lho yen pesen es teh manis..wkk.wkk..

    BalasHapus
  5. asalamualaikum
    benar mas belajar berbagi ke sesama perlu,agar tidak mubadzir jika makanan kita atau rezeki kita berlebihan.

    BalasHapus
  6. Aku juga gitu, Mas. Kalau pengemis, pengamen, apa pun itu, nggak deh. Tapi kalau pedagang, lain lagi. Semoga Citra juga kelak bisa begitu ya, Mas :)
    Btw suami aku juga paling ngeri sama banci. Kalau pas lampu merah di perempatan trus kliatan ada banci mendekat, dia langsung zikir dan berdoa semoga lampunya cepat hijau, hihihi..

    BalasHapus
  7. hahaha, hadeh Om ini -.-"

    bener juga ya kata Om, terlebih Om dah tahu kondisi pas dulu itu kayak apa. Tapi apa semua pengemis punya atasan om?

    BalasHapus
  8. idem mending langsung kasi kalo yg ngamen makhluk dua dunia..

    BalasHapus
  9. Alhamdulillah belum pernahktemu pengamen yg transgender (maaf: waria/banci). kalau melihat orang dah sepuh, saya sungguh salut dengan semanagt juang dan kerja keras mereka...dan the other side, pemandangan demikian juga spontan mengingatkan saya pada pada ortu yg sudah memasuki usia senja tp masih semangat buat nggarap sawahnya

    BalasHapus
  10. wkwkwkwkwkkwk... aku udah seriuuuus banget baca paragraf demi paragrafmu, takjub dengan untaian dan opinimu... dah punya ide untuk komen, eh ujung-ujungnya malah jadi ingin ketawa guling-guling deh.....

    hahahahahahhahahahahhahahahahahhahaha

    BalasHapus
  11. ya,gak ada salahnya juga sih,
    bener pak,kalau liat orang tua yang sudah renta masih berjuang saya suka malu,ketika saya sebut aja mang adul,padahal dia udah tuaa banget tapi masih sanggup manggul dagangannya isinya banyak lagi ada kompornya juga,untuk usia 70 ke atas pasti berat,sedangkan saya yg masih muda gak mau ngelakuin yang susah,bisanya cuma ngegampangin..
    dari orang-orang seperti itu saya belajar,perihnya mencari nafkah untuk keluarga..

    berbagi sedikit rezeki dengan mereka yang tetap ingin berusaha sangat indah..

    BalasHapus
  12. parah tuh bencong, kalau ada mereka aku jadi merasa terteror

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena