18 Desember 2007

Logika atau Nasib

Pagi-pagi iseng buka wikipedia, trus mandeg rada lama di judul “logika”. Tau kenapa jadi pengen baca. Padahal dari kemaren bete ga pengen baca yang serius serius. Apa karena ada satu keputusan penting yang mendesak harus aku ambil saat ini..?

Inget kan, pernah ada anehdot tentang Hillary Clinton.

Pada pertengahan 1990-an, Seorang Presiden Amerika bersama istrinya berlibur ke Yogyakarta. Mereka berusaha menyamarkan wajah agar tidak dikenali oleh masyarakat. Akan tetapi ketika sedang melihat kehijauan sawah yang membentang, seorang lelaki bule yang sedang mencari tanah liat untuk bahan tembikar mengenalinya.

"Kamu Hilary ??! Masih ingat aku kan? Aku bekas pacarmu dulu sebelum kamu menikah dengan Clinton," kata lelaki tersebut.
"James? Tentu saja aku ingat. Tapi kok kamu bisa mengenaliku sih?," tanya Hilary heran.
"Apapun usahamu untuk menyamar, aku akan selalu mengenali matamu," kata si lelaki.

Dengan rasa cemburu, Clinton mengajak istrinya untuk kembali ke New York. Dalam perjalanan Clinton, Ngedumel, "Coba kalau kamu kawin sama lelaki tadi, apa jadinya...?"
"Hhmmm, dia jadi presiden dan kamu pencari tanah liat," jawab Hilary santai.
Logika yang diputarbalikan oleh Hillary atau emang bener begitu?

Tau ah… Kembali ke wikipedia ya…
Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika merupakan sebuah ilmu pengetahuan dimana obyek materialnya adalah berpikir (khususnya penalaran/proses penalaran) dan obyek formal logika adalah berpikir/penalaran yang ditinjau dari segi ketepatannya.

Logika lahir bersama-sama dengan lahirnya filsafat di Yunani. Dalam usaha untuk memasarkan pikiran-pikirannya serta pendapat-pendapatnya, filsuf-filsuf Yunani kuno tidak jarang mencoba membantah pikiran yang lain dengan menunjukkan kesesatan penalarannya.
Logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika mengatakan yang bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak. Secara tradisional, logika dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi juga bisa dianggap sebagai cabang matematika.

Duuuh… rumit amat ya…

Dalam banyak kasus kehidupan sehari-hari, kita seringkali dihadapkan kepada dua pilihan, yaitu bertindak (= 1) atau tidak bertindak (= 0). Bertindak berarti mengambil keputusan untuk mengorbankan sesuatu saat ini untuk sesuatu yang diinginkan di masa yang akan datang. Sedangkan tidak bertindak ialah sebaliknya, yaitu mengambil keputusan untuk mengorbankan sesuatu yang diinginkan di masa yang akan datang untuk sesuatu yang terjadi saat ini. Kata saat ini dan yang akan datang tadi menunjukkan bahwa keputusan yang diambil dibatasi oleh waktu.

Waktu sangat berperan bila keputusan harus diambil tak dapat diubah. Dan meskipun demikian, ada banyak keputusan yang tak dapat diubah harus dibuat berdasarkan informasi yang tak jelas. Kondisi tak dapat diubah ini mendominasi keputusan yang didasari atas hipotesis tentang masa depan dimana metode pengambilan keputusannnya didasarkan kepada pertanyaan sederhana :

“Apa yang dapat kita akses sebelum bertindak disaat situasinya tidak jelas sementara kita dibatasi oleh waktu?”

Ini pertanyaan yang sering timbul dalam benak saya setiap kali akan mengambil sebuah keputusan besar, terutama bila sudah menyangkut masa depan anak. Mungkin analogi buah simalakama tepat untuk kondisi ini.

Tapi di sisi lain saya ingat ocehan tetangga saya beberapa waktu lalu. 
Tetangga saya, Udin sedang berjalan-jalan dengan santai, ketika tanpa permisi ada orang jatuh dari atap rumah dan menimpanya. Orang yang terjatuh itu tidak terluka sama sekali, tetapi Udin yang tertimpa malah menderita cedera leher. Ia pun diangkut ke rumah sakit. 

Para tetangganya datang menjenguknya, mereka bertanya, "Hikmah apa yang didapat dari peristiwa itu, Din?"

"Jangan percaya lagi pada logika hukum sebab akibat," jawabnya. "Orang lain yang jatuh dari atap rumah, tetapi leherku yang jadi korbannya. Jadi tidak berlaku lagi logika, “Kalau orang jatuh dari atap rumah, lehernya akan patah!”

Atau mungkin jawaban jagoanku ketika aku bangunkan pagi-pagi.
"Mas, biasakanlah bangun pagi setiap hari."
"Kenapa, ayah?"
"Itu kebiasaan bagus. Dulu ayah pernah bangun pagi sekali trus keluar jalan-jalan. Dan ayah nemu dompet banyak uangnya."
"Tapi itu kan punya orang yang hilang malamnya?"
"Oh, itu bukan point nya. Maksudnya kalo kamu bangun pagi, kemungkinan dapat rejeki lebih banyak. Ga keduluan ayam…Tapi, Bagaimanapun juga malemnya disitu disitu ga ada dompet. Ayah ingat bener."
"Jadi kalo gitu, bangun pagi pagi gak bagus buat semua orang dong.”
“Lho… kenapa..?”
“Orang yang kehilangan dompet, pasti bangunnya lebih pagi dari ayah..."

Jadi harus bagaimana sih memahami logika dalam mengambil keputusan?
Benarkah unsur nasib tetap berperan penting?
Arsip Multiply

5 comments:

  1. Beginilah kalau orang beristrikan komputer... ^o^
    Pola pikirnya punikutan menjadi digital. Padahal otak manusia tidak menggunakan perhitungan binner yang cuma tau 1 dan 0. Ingat, mas... Komputer akan membaca terang itu sebagai 1 dan gelap sebagai 0. Manusia pun pada dasarnya begitu. Tapi manusia diberi kelebihan bisa melihat sesuatu sebagai remang-remang atau menyilaukan, tidak sekedar gelap dan terang.
    Jadi dalam mengambil keputusan, kita tidak bisa terpaku dalam kata iya atau tidak semata. Tapi ada kalanya kita berkata iya deh, tapi.... Atau tidak bisa, kecuali.... Manusia itu mengenal istilah kompromi dala berpikir. Mas mau ke utara atau selatan? Ke selatan aja deh tapi agak belok ke timur ya.... Bisa kan memberikan sedikit dispensasi dalam pengambilan keputusan? Tidak saklek, kalo mas bilang.

    “Apa yang dapat kita akses sebelum bertindak disaat situasinya tidak jelas sementara kita dibatasi oleh waktu?”

    Dalam dunia yang absurd seperti sekarang ini, logika bisa jadi mercu suar untuk menyadarkan orang tentang kondisi dan posisinya dalam masyarakat. memang benar tanpa logika orang dapat terjebak dalam pengambilan kesimpulan-kesimpulan yang serampangan, tapi pernyataan mondial :

    Kesalahan pada pola pikir pada akhirnya akan berimbas pada kesalahan dalam bertindak.

    Logika memagari pemikiran dan tindakan dari absurditas. Ia tidak berada dalam wilayah salah benar, tetapi mempertanyankan apakah kesimpulan-kesimpulan tertentu bisa dipertanggungjawabkan secara kronologis atau tidak (reasonable or not). salah benar sendiri berada dalam wilayah moral.

    Sebagai contoh:
    Adalah logis, bahwa setelah September USA menjadi lebih agresif dalam melakukan prevensi dan retaliasi terhadap kelompok-kelompok yang ditudingnya sebagai teroris. tapi logika itu tidak menjadikan setiap kebijakan USA benar untuk dilakukan.

    Tindakan manusia sendiri tidak bergantung pada logika. Logika mampu memberi arti atas tindakan-tindak tersebut, atau memberi pilihan-pilihan untuk merespon sebuah kejadian. namun ketika sampai pada "bertindak", logika harus berkompromi dengan banyak hal yang juga bergerak seiring dengan logika.

    Kedua, asumsi anda:
    Karena manusia adalah makhluk yang bertindak berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.

    Saya sepakat manusia pasti mendasarkan posisi dan justifikasi tindakan-tindakannya pada pengatehuan yang ia miliki sebelumnya. Tapi sekali lagi, ketika sampai pada titik melakukan tindakan (action), manusia tidak bertumpu sepenuhnya pada logika. seringkali manusia harus melakukan spekulasi dan mengabaikan perhitungan-perhitungan logis, karena adanya keterbatasan dalam pengetahuan. tindakan manusia juga kadang didasari oleh "kebiasaan" dan "intuisi". Spekulasi ini sama sekali bukan suatu tindakan yang berdasar pada pertimbangan-pertimbangan yang sepenuhnya logis, ia didasarkan pada ekspektasi pada hasil-hasil tertentu yang diimitasi dari pengalaman hidup sebelumnya. Spekulasi dalam tindakan manusia dapat dipertanggungjawabkan secara logis sejauh itu membahas hal "kemungkinan" atau "probabilitas".

    Melalui aktivitas dan tindakan-tindakannya itulah manusia mendapatkan pengalaman dan pengetahuannya yang baru.

    Coba saja dibikin argumentasi dengan logika, kenapa hari ini teman saya bertaruh pilih Chelsea ketimbang saya pilih bertaruh untuk Barcelona. Argumentasi logisnya bisa disusun, tapi jelas pada saat bertindak (memasang taruhan) ada pengaruh dari sisi yang gak logis, seperti keyakinan, favoritism, dan kebiasaan.

    Mengulang:
    Di lain sisi, kita juga gak bisa judge bahwa tindakan yang logis adalah benar dan tindakan yang tidak logis adalah salah. sekali lagi, di sini, benar dan salah berada di wilayah moral. benar dan salah menyangkut konfirmasi terhadap nilai dan norma yang ada diterima oleh masyarakat. so ada saja misalnya, tindakan yang secara logis dapat dipertanggungjawabkan, seperti eouthtanasia, hukuman mati, dll. namun secara moral terus-menerus digugat.

    Ketiga:
    Orangiseng
    Logika itu kaidah berpikir benar dan masuk akal. Berpikir runtut (logis and reasonable) dan masuk akal (make sense) itu dua hal yang berbeda dalam pembahasannya.

    Ada hal-hal yang secara logika dibilang benar, tapi gak di masuk akal.
    Umumnya ini terjadi karena pertimbangan-pertimbangannya gak sesuai dengan kondisi material yang ada.

    Apakah belajar logika itu urgen?
    Ya tergantung konteksnya lah.

    Mungkin mas bisa belajar banyak dari jagoan. Anaknya saja bisa sekritis itu, kenapa ayahnya tidak?
    Nasib kadang berperan, tapi jangan kita menggantungkandiri padanya. Menurut saya sebenarnya bukan nasib apes kalau kita mendapat sial. Tapi logika yang kita gunakan lebih banyak unsur spekulasi dan gamblingnya. Seperti teman saya penggemar bola itu...

    BalasHapus
  2. Ocha...
    Ini yang saya sukai dari kamu.

    Ok, cha ke pokok permasalahan...
    Saya anggap apa yang kamu tulis itu benar. Kadang pola pikir saya cenderung berubah menjadi biner walaupun saya yakin otak saya tetap analog. Saya seringkali berspekulasi dalam menentukan suatu keputusan. Namun saya selalu kebingungan saat menjalani spekulasi itu karena ketidakpastian yang saya temukan. Seperti pertanyaan saya sejak awal :

    “Apa yang dapat kita akses sebelum bertindak disaat situasinya tidak jelas sementara kita dibatasi oleh waktu?”

    Apakah kita harus menyerahkan begitu saja hasil yang akan kita terima dari usaha kita kepada ketidakpastian. Tidak adakah yang bisa kita ambil dalam kondisi mendesak supaya kita bisa memperoleh hasil yang minimal mendekati target kita. Bagaimana caranya agar kita dapat mengambil kontrol atas suatu proses agar kita tidak menyerah kepada satu kata: "takdir".

    Mode OOT : on
    Sejak kecil kita dicekoki dengan falsafah, kalau kamu rajin ibadah kamu akan masuk sorga. Tapi dilain sisi kita diberi juga wawasan bila jodoh, mati, rejeki itu sudah ditulis oleh Tuhan sejak kita masih dalam kandungan. Ini menimbulkan sedikit kebingungan dalam hati saya. Kenapa kita harus ibadah kalau kita sudah takdirnya masuk surga. Tetap masuk surga kan?
    Mode OOT : off

    Satu konsep yang menyebutkan tidak ada satupun yang luput dari takdirNya tak terkecuali sehelai daun yang jatuh dari tangkainya. . yang lain menganggap Tuhan hanya sebagai pembuat jam, selebihnya ia akan berdetak sendiri. Seperti menentangkan KekuasaanNya dengan kebebasan manusia.
    Sementara agama secara harfiah memberikan jalan tengah, konsep takdir dan nasib. namun kadang batasan-batasan diantara keduanya menjadi kabur, dan kita kebingungan. Jika kita singkirkan keberadaan Tuhan, hal itu tidak lagi menjadi masalah. Kehidupan, manusia sendiri yang menentukan. dari kelindan sebab akibat materi...eksistensi.
    Namun kehidupan memang selalu bermasalah. Hukum alam semesta kadang tidak selalu genap...keganjilan, pertanyaan adalah keniscayaan. Akan selalu ada hal-hal yang manusia belum tahu, dan ia terus mencari jawabannya. kondisi yang tidak akan pernah sempurna, namun pencarian itu memang terus menuju kesana, Kesempurnaan

    Tidak bisakah diselaraskan antara logika manusia dan logika Tuhan dalam kita memilih suatu jalan hidup kita sendiri. Kenapa Tuhan harus campur tangan dengan menciptakan takdir. Pemerkosaan Tuhan kepada manusia kah?

    Ocha benar, orang dalam menentukan suatu jalan seringkali dipengaruhi oleh keyakinan, favoritisme, dan kebiasaan. Itukan dalam kondisi adanya keterpihakan kita terhadap salah satu pilihan.
    Yang saya tanyakan dari awal, bagaimana bila yang berpihak ada di kedua sisi? Atau bahkan tidak ada yang berpihak sama sekali. Dimana kita harus mengorbankan salah satu pihak. Mana yang harus kita jadikan pegangan, logika atau nasib (takdir)?

    BalasHapus
  3. Mengapa hakim di pengadilan tidak selalu adil?

    Urusan adil memang tidak dapat dengan mudah dipecahkan dengan logika. Dan sistem peradilan modern banyak menggunakan logika dalam membuat penilaian atas kasus, sehingga kita melihat betapa banyak putusan konyol dibuat oleh logika manusia.

    Sejauh ini logika lebih tepat untuk memahami urusan benda mati. Ilmu pengetahuan maju pesat dengan kemampuan manusia untuk merumuskan model-model alam. Kalau Anda sedang menggunakan logika maka pikiran Anda mengambil porsi lebih besar daripada rasa hati Anda.

    Suara hati sebaliknya merupakan sesuatu yang didekati dengan penghayatan, bukan pemikiran. Suara hati ini lebih tepat untuk menghadapi problem nilai, seperti dilema bersalah atau tidak bersalah, baik dan buruk, benar dan salah. Sayangnya suara hati lebih sulit distandarkan, dan karena itu hukum tidak dapat didasarkan murni kepada suara hati. Hukum memerlukan kombinasi antara logika yang sistematis dengan suara hati yang tidak sistematis. Logika dan suara hati pun ternyata tidak mampu menjelaskan problem-problem yang sangat pelik dari kehidupan manusia. Pada batas tertentu manusia memerlukan firman Tuhan sebagai pegangan nilai. Karena berpegang hanya pada suara hati, suku maya kuno mengorbankan manusia untuk dipersembahkan kepada dewa. Ini bentuk paling ekstrim dari pengorbanan. Sebaliknya, karena berpegang hanya kepada suara hati pula ada kaum yang ekstrim mengharamkan semua bentuk penyembelihan. Pada batas tertentu suara hati tak lagi mampu menilai.

    Ambil contoh pada kegiatan (maaf) menyembelih kambing. Pada kasus ini logika langsung tumpul, tidak dapat digunakan menilai benar dan salah. Suara hati kebanyakan orang adalah ‘kasihan’ yang berarti cenderung meninggalkan perilaku tersebut. Namun logika mengatakan ada yang ‘kurang lengkap’ dengan suara hati demikian. Lalu buat apa diciptakan kambing? Maka Tuhan mengambil perannya dengan menyatakan :

    Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu . Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS Al Maa’idah 1)

    Selesai sudah hukum menyembelih kambing. Wahyu menjadi acuan nilai dari sesuatu yang tak lagi mampu diputuskan logika dan suara hati. Wahyu yang menyatakan halal memakan kambing yang disembelih dengan mengucapkan nama Tuhan, dan haram untuk yang dipenggal. Apakah bedanya kambing mati disembelih dengan kambing mati dipenggal? Sama matinya, beda hukumnya, demikian menurut wahyu. Logika tak mampu menjawab, suara hati pun tak mampu menjawab.

    Kembali ke kasus hakim. Semestinya logika dipakai untuk menemukan bukti-bukti dan fakta-fakta. Selanjutnya suara hati digunakan untuk memberi penilaian. Dan apabila logika dan suara hati tak lagi mampu memutuskan maka peganglah wahyu untuk menjadi acuan. Pegang kitab hukum? Mmm… sesuai firman Tuhan nggak ya kitab hukumnya?

    Menurut Ocha tetap kita kembalikan kepada konteksnya. Disaat harus ada yang dikorbankan, gunakan logika. Mana yang efek negatifnya lebih kecil, pilihlah yang itu. Terlepas dari masalah keterpihakan kita pada salah satunya. Setelah keputusan diambil, kita serahkan kepada nasib atau takdir.

    Sementara itu mas

    BalasHapus
  4. Soal hakim,
    suara hati menjadi parameter dalam menentukan putusan hakim setelah menggunakan logika dalam menemukan kebenaran baik formil maupun materiil dalam suatu kasus. terkadang ada banyak interpretasi keliru atas sebuah firman Tuhan sehingga dijadikan dasar untuk melakukan perbuatan tercela, contoh : UU melarang seorang hakim dan jaksa untuk menerima pemberian dari orang yang berperkara baik itu masih dalam proses maupun sesudahnya, apabila sesudahnya biasa disebut uang “thank you”. Nah, banyak hakim atau jaksa berpendapat uang thank you ini halal atau diperbolehkan oleh agama tapi dilarang undang-undang. Siapa yang salah ya?

    Saya kutip dari MPnya mbak Dewi ya http://cyberdewi.multiply.com/journal/item/127/Logika_sederhana_Jodoh_

    ada yg mengatakan bahwa anak itu amanah.. apakah berarti yang tidak dikaruniai anak berarti orang itu tidak dipercaya shg tidak diberikan amanah anak?..
    Bila dianalogikan dengan kemajuan sebuah bangsa, ketika bangsa Indonesia sedang maju dan berkembang, ada yg mengatakan bahwa kita bangsa yang diberkahi Allah?, lalu bagaimana dg kondisi bangsa yg sekarang sdg susah, apakah berarti tidak diberkahi Allah?
    tidak seperti itu logikanya..
    dan apakah semua negara maju lain diberkahi Allah? belum tentu.. belum tentu..
    begitupun tentang amanah anak..
    bukan berarti yang tidak diberi anak berarti tidak bisa dipercaya mengemban amanah.. semua itu tepatnya disebut ujian.. bagi yg sdh diberikan anak, jadi ujian utk mendidik dengan baik.. bagi yg belum diberikan, jadi ujian utk kesabaran.. semua ujian akan diperhitungkan dengan adil nanti di akhirat.

    Walah malah jadi rumit.
    Cuman saya jadi inget postingan saya beberapa waktu lalu : http://rawins.multiply.com/journal/item/94/1090
    Mungkin itu penjelasan saya yang paling mendekati. Dan kalo boleh saya menyimpulkan antara logika manusia yang bersifat matematis dan logika Tuhan berupa takdir atau nasib itu memang sulit untuk dicarikan satu titik temu. Keduanya memang sudah diciptakan berbeda namun masih bisa berjalan bersama dalam satu alur yang sejalan.

    QS Adz Dzaariyaat 49. Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.

    Benar sekali deh apa kata ocha. Semuanya harus kita lihat dari sisi mana kita akan menempuhnya. Cuman masalahnya, kadang kita silau sehingga jalan yang akan kita tempuh tidak terlihat jelas. Atau malah jalan yang kita pilih kodisinya remang-remang, sehingga kadang kita tidak melihat duri di tengah jalan.
    Ok deh, Cha...
    Seneng diskusi sama Ocha. Tapi saya dah ngantuk bener neh. Tek bobo dulu ya... Tar siang saya lanjutin deh...

    BalasHapus
  5. Buset. Diskusi yang ok banget. Kenapa ga berlanjut sih..?

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena