Sebelum Galileo menemukan bintik-bintik matahari melalui teleskopnya di tahun 1611, manusia selalu melambangkan matahari sebagai sebuah profil yang sempurna. Tak heran bila banyak suku-suku primitif seperti Aztec yang menyembah matahari sebagai dewa. Dan ketika bercak-bercak matahari itu ditemukan, mengapa manusia belum juga menyebutnya dengan "yang memiliki bercak dan tidak sempurna".
Seolah kita lupa bahwa nama dan julukan haruslah sesuai dengan esensi atau sifat benda tersebut dan bukan sebaliknya, karena benda ada terlebih dahulu sedangkan nama mengikutinya kemudian.
Kata-kata merupakan sesuatu yang kosong, tanpa makna, tidak memiliki otoritas, bisa dibolak-balik dan bersifat relatif. Sampai-sampai para filosofi harus mendefinisikan dengan jelas istilah-istilah mereka. Kekuatan akal manusia merupakan kata-kata yang sangat jelas dan mudah dimengerti. Dengan definisi yang jelas sejak awal, kita akan terbebas dari kerancuan. Sebaliknya metafora, kata-kata yang ambigu dan tidak bermakna adalah ignes fatul, kalo Newton bilang. Alias tidak menghasilkan apa-apa. Berkecimpung di dalamnya bagaikan mengembara di dalam lautan absurditas.
Dan sebuah kenyataan bila orang seringkali terjebak dengan kata-katanya sendiri dengan menganggap dirinya sempurna. Dalam beberapa hari terakhir ini aku begitu sering mendengar seseorang yang mudah sekali berkata "aku seorang workaholic". Tapi nyatanya mblegedreg dalam mengerjakan sesuatu.
Entah kenapa aku jadi sedikit alergi dengan kata itu. Seorang pengaku workaholic menurut aku hanya seorang pembual yang kepayang dengan pekerjaannya bagai mabuk alkohol. Kadang dia bekerja dengan benar tapi lebih sering menjadi penceloteh yang bermimpi.
Makanya aku bisa sedikit terhidur ketika bos mengatakan, "kita seorang hardworker, Ko...Walau tidak mungkin bisa mencapai sasaran dengan sempurna, paling tidak kita sudah berupaya keras."
Yah, aku memang bukan workaholic bos.
Cuma ketika aku berada di ambang batas kemampuan dan berkata, "Kalo manusia sebenarnya aku lelah, bos..."
Kenapa harus dijawab, "Untung kita bukan manusia ya, ko..."
Yaaah...
Aku memang bukan matahari yang selalu tampak sempurna walau penuh noda...
Seolah kita lupa bahwa nama dan julukan haruslah sesuai dengan esensi atau sifat benda tersebut dan bukan sebaliknya, karena benda ada terlebih dahulu sedangkan nama mengikutinya kemudian.
Kata-kata merupakan sesuatu yang kosong, tanpa makna, tidak memiliki otoritas, bisa dibolak-balik dan bersifat relatif. Sampai-sampai para filosofi harus mendefinisikan dengan jelas istilah-istilah mereka. Kekuatan akal manusia merupakan kata-kata yang sangat jelas dan mudah dimengerti. Dengan definisi yang jelas sejak awal, kita akan terbebas dari kerancuan. Sebaliknya metafora, kata-kata yang ambigu dan tidak bermakna adalah ignes fatul, kalo Newton bilang. Alias tidak menghasilkan apa-apa. Berkecimpung di dalamnya bagaikan mengembara di dalam lautan absurditas.
Dan sebuah kenyataan bila orang seringkali terjebak dengan kata-katanya sendiri dengan menganggap dirinya sempurna. Dalam beberapa hari terakhir ini aku begitu sering mendengar seseorang yang mudah sekali berkata "aku seorang workaholic". Tapi nyatanya mblegedreg dalam mengerjakan sesuatu.
Entah kenapa aku jadi sedikit alergi dengan kata itu. Seorang pengaku workaholic menurut aku hanya seorang pembual yang kepayang dengan pekerjaannya bagai mabuk alkohol. Kadang dia bekerja dengan benar tapi lebih sering menjadi penceloteh yang bermimpi.
Makanya aku bisa sedikit terhidur ketika bos mengatakan, "kita seorang hardworker, Ko...Walau tidak mungkin bisa mencapai sasaran dengan sempurna, paling tidak kita sudah berupaya keras."
Yah, aku memang bukan workaholic bos.
Cuma ketika aku berada di ambang batas kemampuan dan berkata, "Kalo manusia sebenarnya aku lelah, bos..."
Kenapa harus dijawab, "Untung kita bukan manusia ya, ko..."
Yaaah...
Aku memang bukan matahari yang selalu tampak sempurna walau penuh noda...
Gaya bahasa yang mau ga mau saya harus kagum...
BalasHapus