Beberapa hari ini, betapa banyak orang tua yang bilang susahnya mengatur anak. Plus, beberapa teman yang mengeluhkan orang tuanya terlalu keras mengekang kehidupannya.
Agaknya ini merupakan kesalahpahaman yang umum terjadi di sekitar kita. Orang tua seringkali merasa cape dengan anaknya yang sudah sedemikian keras mendidik, tapi di luaran tetap saja lupa segala aturan itu. Semua masukan dari orang tua hanya dianggap keluaran yang tidak pernah ada bekasnya.
Kalo menurutku, kasus semacam ini bukan kesalahan anak semata. Tapi lebih dominan datang dari orang tua sebagai penyebabnya. Sebagai orang tua kita kadang lupa bahwa waktu terus berjalan maju. Memaksa anak mengikuti pemikiran orang tua hanyalah usaha untuk memundurkan jaman. Sedangkan orang tua itu sendiri masih berpola pikirnya seperti anak-anak.
Kemajuan teknologi dan pengaruh lingkungan merupakan faktor dominan dalam merubah tingkah polah anak, lebih berpengaruh daripada faktor keluarga. Membebaskan anak ke lingkungan sama saja menjebloskan dia ke jurang dalam. Mencegahnya masuk ke jurang itu, membuat orang tua dianggap otoriter dan mengekang. Dan buntut-buntutnya anak menjadi penurut ketika dalam rumah. Keluar dari rumah, sikapnya berputar 180 derajat.
Dan ketika anak sudah mulai belajar berbohong. Segala masalah akan muncul dari situ. Satu kebohongan akan diikuti kebohongan-kebohongan yang lain yang seringkali semakin lama semakin besar.
Ada sebuah fenomena yang mungkin perlu kita cermati. Bayi sekarang bila digendong ditimang disayang sayang seperti bayi masa lalu kerapkali menolak dan menangis. Maunya seperti anak sudah gede dan dipangku dengan posisi duduk. Mungkin ini sebuah pertanda bahwa anak sekarang, jangankan yang beranjak dewasa, usia balita pun sudah tidak mau dianggap anak kecil lagi.
Seperti ketika jagoanku mulai bisa berpolah lincah dulu. Terasa sekali sulitnya mengarahkannya ke hal-hal yang menurutku benar, misalnya soal makan teratur atau bobo siang. Sikap orang tua yang sok kuasa, merasa anak merupakan hak dan tanggungjawabnya sepenuhnya serta segala otorisasinya tak juga mempan. Dengan sedikit kekerasan anak memang menurut, tapi ketika ditinggal sebentar, nasi pindah ke tempat sampah.
Jagoanku baru bisa berubah sikap ketika dia tidak dianggap anak lagi. Dengan dianggap teman, diajak bicara dari hati ke hati, kita bisa tahu apa keinginan terpendamnya. Karena ternyata susah makan itu hanya pelampiasan dan proses unjuk rasa dari hal yang lain.
"Ayah tiap hari main komputer kok Adi ga boleh..?"
Itu hanya satu contoh saja. Otak kecil sang anak belum mampu langsung memahami bahwa ayahnya tiap hari di depan komputer adalah untuk kerja. Karena waktu itu yang dia kenal dari komputer hanyalah game saja, maka setiap yang duduk didepan komputer dianggap sedang main game.
Jadi menurutku ini hanya kesalahpahaman saja karena kurangnya komunikasi. Seringkali kita merasa sudah cukup membuka jalur komunikasi, tapi menjadi tidak efektif karena kita tidak bisa menindaklanjuti keterbukaan itu menjadi progres yang nyata. Setelah anak membuka dirinya, kita masih saja angkuh dan sok kuasa kadang pakai acara membentak.
"Ayah tidak punya duit..!!!"
"Kamu salah...!!!"
"Anak harus nurut ke orang tua..!!!"
Bagaimana anak mau tahu keinginan kita bila kita juga tak mau tahu keinginan anak. Jangan sepelekan kesalahpahaman umum ini di sekitar kita. Ingat pepatah lama. Anak polah bapak kepradah. Tapi nek bapak polah, ambene obah anake tambah.
Sedikit OOT
Kasus orang tua dan anak harus hati-hati dalam menanganinya. Karena ini beda dengan kesalahpahaman yang aku temukan semalem. Seorang pelukis yang setengah mendhem mencari temon bodine seksi untuk model lukisan menerobos lampu merah di perempatan Tamsis. Tahu polisi nguber, dia belok ke galeri mau ngumpet maksudnya. Tapi nasib jelek, polisinya ikut masuk galeri.
Langsung deh diinterogasi, "Kamu tahu kesalahannya apa..?"
Senimane reflek menjawab, "Mboncengke keple, pak. Ra ngamer kok. Arep digambar thok..."
Agaknya ini merupakan kesalahpahaman yang umum terjadi di sekitar kita. Orang tua seringkali merasa cape dengan anaknya yang sudah sedemikian keras mendidik, tapi di luaran tetap saja lupa segala aturan itu. Semua masukan dari orang tua hanya dianggap keluaran yang tidak pernah ada bekasnya.
Kalo menurutku, kasus semacam ini bukan kesalahan anak semata. Tapi lebih dominan datang dari orang tua sebagai penyebabnya. Sebagai orang tua kita kadang lupa bahwa waktu terus berjalan maju. Memaksa anak mengikuti pemikiran orang tua hanyalah usaha untuk memundurkan jaman. Sedangkan orang tua itu sendiri masih berpola pikirnya seperti anak-anak.
Kemajuan teknologi dan pengaruh lingkungan merupakan faktor dominan dalam merubah tingkah polah anak, lebih berpengaruh daripada faktor keluarga. Membebaskan anak ke lingkungan sama saja menjebloskan dia ke jurang dalam. Mencegahnya masuk ke jurang itu, membuat orang tua dianggap otoriter dan mengekang. Dan buntut-buntutnya anak menjadi penurut ketika dalam rumah. Keluar dari rumah, sikapnya berputar 180 derajat.
Dan ketika anak sudah mulai belajar berbohong. Segala masalah akan muncul dari situ. Satu kebohongan akan diikuti kebohongan-kebohongan yang lain yang seringkali semakin lama semakin besar.
Ada sebuah fenomena yang mungkin perlu kita cermati. Bayi sekarang bila digendong ditimang disayang sayang seperti bayi masa lalu kerapkali menolak dan menangis. Maunya seperti anak sudah gede dan dipangku dengan posisi duduk. Mungkin ini sebuah pertanda bahwa anak sekarang, jangankan yang beranjak dewasa, usia balita pun sudah tidak mau dianggap anak kecil lagi.
Seperti ketika jagoanku mulai bisa berpolah lincah dulu. Terasa sekali sulitnya mengarahkannya ke hal-hal yang menurutku benar, misalnya soal makan teratur atau bobo siang. Sikap orang tua yang sok kuasa, merasa anak merupakan hak dan tanggungjawabnya sepenuhnya serta segala otorisasinya tak juga mempan. Dengan sedikit kekerasan anak memang menurut, tapi ketika ditinggal sebentar, nasi pindah ke tempat sampah.
Jagoanku baru bisa berubah sikap ketika dia tidak dianggap anak lagi. Dengan dianggap teman, diajak bicara dari hati ke hati, kita bisa tahu apa keinginan terpendamnya. Karena ternyata susah makan itu hanya pelampiasan dan proses unjuk rasa dari hal yang lain.
"Ayah tiap hari main komputer kok Adi ga boleh..?"
Itu hanya satu contoh saja. Otak kecil sang anak belum mampu langsung memahami bahwa ayahnya tiap hari di depan komputer adalah untuk kerja. Karena waktu itu yang dia kenal dari komputer hanyalah game saja, maka setiap yang duduk didepan komputer dianggap sedang main game.
Jadi menurutku ini hanya kesalahpahaman saja karena kurangnya komunikasi. Seringkali kita merasa sudah cukup membuka jalur komunikasi, tapi menjadi tidak efektif karena kita tidak bisa menindaklanjuti keterbukaan itu menjadi progres yang nyata. Setelah anak membuka dirinya, kita masih saja angkuh dan sok kuasa kadang pakai acara membentak.
"Ayah tidak punya duit..!!!"
"Kamu salah...!!!"
"Anak harus nurut ke orang tua..!!!"
Bagaimana anak mau tahu keinginan kita bila kita juga tak mau tahu keinginan anak. Jangan sepelekan kesalahpahaman umum ini di sekitar kita. Ingat pepatah lama. Anak polah bapak kepradah. Tapi nek bapak polah, ambene obah anake tambah.
Sedikit OOT
Kasus orang tua dan anak harus hati-hati dalam menanganinya. Karena ini beda dengan kesalahpahaman yang aku temukan semalem. Seorang pelukis yang setengah mendhem mencari temon bodine seksi untuk model lukisan menerobos lampu merah di perempatan Tamsis. Tahu polisi nguber, dia belok ke galeri mau ngumpet maksudnya. Tapi nasib jelek, polisinya ikut masuk galeri.
Langsung deh diinterogasi, "Kamu tahu kesalahannya apa..?"
Senimane reflek menjawab, "Mboncengke keple, pak. Ra ngamer kok. Arep digambar thok..."
Ilustrasi "Diam"
Karya Jemy Bilyanto
Tujuh Bintang Art Space
0 comments:
Posting Komentar
Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih