04 September 2009

Media Memang Brengsek

Ada satu hal lagi yang membuat aku makin tidak suka media massa khususnya televisi. Media yang seharusnya menjadi sumber informasi yang mencerahkan masyarakat, kini malah menjadi sumber keresahan.

Walau setiap manusia punya sifat dasar lebay, tapi tidak seharusnya sikap melebih-lebihkan ikut masuk ke kalangan jurnalis. Tidakkah mereka memikirkan psikologi pasyarakat ketika mendapat informasi bencana misalnya. Terlebih untuk mereka yang keluarganya ada di sana.

Aku ingat ketika tsunami Pangandaran dulu. Keluargaku hanya berada kurang dari satu kilometer dari pantai. Berita di TV mengatakan Pangandaran berantakan dihantam ombak setinggi 30 meter. Hubungan telepon kesana terputus. Dan keputusan terakhirnya hanya meluncur ke lokasi dengan perasaan tak menentu. Memacu kendaraan di jalan sempit berkelok-kelok dengan lalu lintas padat dan dipenuhi orang panik menuju ke sana. Apakah aku sempat memikirkan kondisi perjalananku 100% aman dalam tekanan psikis semacam itu. Dan nyatanya air hanya merusak dalam radius 100 meter dari pantai. Dan ketinggian air hanya 2 meter di bibir pantai dan tak sampai 1 meter ketika beberapa puluh meter dari pantai.

Ketika terjadi satu kasus yang dianggap besar. Semua berlomba-lomba agar disebut paling up to date. Berita belum pasti pun bisa dikatakan info terbaru. Polisi saja belum memastikan korbannya siapa, tipi dah berani menyebut nama. Tidakkan mereka belajar dari kasus teroris Mumbai beberapa waktu lalu. Setiap detil dalam kejadian itu diliput dan disiarkan langsung. Sehingga semua gerak gerik polisi dapat diantisipasi oleh teroris yang memantau lewat layar tipi. Dan akibatnya korban di pihak polisi banyak sekali.

Sama ketika gempa kemarin. Aku sampai muak dengan istilah-istilah yang digunakan para bajingan informasi itu. Ada yang menyebutkan gempa sangat besar selama 5 menit terasa di Bandung. Tebing setinggi 500 meter longsor di Tasikmalaya. Korban tewas mencapai ratusan. Ribuan rumah rata dengan tanah.

Mengapa tidak digunakan istilah gempa sebesar 7 liter selama beberapa detik, selang 5 menit terjadi gempa susulan sebesar 5 liter. Aku pernah lama mengubek-ubek daerah Tasimalaya selatan dan belum pernah menemukan daerah yang memiliki tebing setinggi 500 meter. Kalo sepanjang 5 kilometer banyak. Kenapa tidak digunakan nominal secara langsung misalnya 100 atau 215 orang.

Apa yang terpikir oleh otak ketika mengasumsikan gempa besar selama 5 menit tiada henti. Apa yang terbayangkan ketika mendengar tebing setinggi 500 meter runtuh, bila tebing setinggi 50 meter saja sudah teramat tinggi. Tidakkah terasa beda mendengar kata 100 dan ratusan.

Yang lebih parah, media begitu bangga bila menayangkan gambar korban yang bergelimpangan. Atau potongan tubuh yang berdarah-darah. Tak cukup hanya sekali dan seringkali di ulang-ulang. Yang lebih brengsek lagi, tayangan itu diiringi musik yang mencekam yang entah apa maksudnya. Kalo di sinetron mungkin bagus agar pemirsa bisa lebih hanyut dalam suasana. Lha ini berita, nduuul....

Kalo liat sinetron saja aku sudah najis, liat berita jadi muak. Trus apakah tipinya mendingan aku jadikan akuarium saja..? Percuma kan..? Media yang menurut orang jawa harus bisa "madhangi", ini malah "metengi."
Lha piwe, ndol...?

0 comments:

Posting Komentar

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena