Lebaran telah lewat dengan segala tradisi yang mengikutinya. Hanya untuk kata lebaran, banyak orang rela melakukan apa saja. Korban meninggal melewati angka 700 selama 2 minggu lebih meyakinkan kita, sebesar apa pengorbanan sebagian dari kita hanya untuk itu.
Padahal menurutku, lebaran saat ini semakin kehilangan makna. Banyak nilai-nilai dari perayaan Idul Fitri yang dulu begitu terasa kini tiada lagi.
Dulu, silaturahmi sangatlah terasa. Sampai seminggu setelahnya, kita masih saja keliling kampung untuk sungkem dalam keikhlasan yang nyata. Kini kita hanya mampir ke tetangga sebelah dan sebagian saudara saja. Selebihnya cukup via sms. Menjelang tengah hari setelah shalat Ied, yang ada dalam pikiran kita hanya rencana mau wisata kemana.
Dulu, anak-anak begitu ceria menyambut bakda. Karena memang hanya hari itu mereka bisa mempunyai baju baru dan banyak makanan. Kini setelah bisa beli baju seminggu sekali, keceriaan baju lebaran turut punah ditelan masa. Rasa terima kasih anak-anak masa kini atas pemberian baju lebaran tak lagi sedalam masa lalu. Banyak makanan dibuat pun tak lagi dianggap istimewa.
Lalu untuk apa kita berpayahria memaksakan diri berlebaran di kampung kalau maknanya saja tidak kena. Shalat ied, belum selesai khotbah sudah banyak yang beranjak. Bermaafan pun tak lebih dari sekedar seremonial semata. Tanpa ada rasa dan kejujuran hati yang teramat perlu untuk dimaafkan. Tak lebih sanya sekedar bersalaman dan berkata "maaf lahir batin." Tapi setelah itu berlalu. kita tak lagi mau mengakui kesalahan. Kita kembali menjadi insan yang ngotot dan selalu ingin menang kepada sesama di sekitarnya.
Jujur saja. Aku sendiri tak mampu memaknai Idul Fitri sebagai hari suci dan membawa maknanya kedalam kehidupan sehari-hari. Aku baru mampu merasa dosa yang tiada habisnya hanya kepada orang tua dan jagoanku saja. Tak hanya di hari lebaran aku tak pernah mampu untuk berucap maaf setiap kali sungkem kepada orang tua. Di saat aku pulang di lain hari, setiap bersalaman hanya ada rasa haru yang teramat dalam yang membuatku menangis tanpa bisa bersuara.
Aku baru mampu melakukan itu kepada mereka. Dan untuk bisa seperti itu pun aku perlu waktu dan perjalanan yang panjang untuk memahami arti kata maaf yang sesungguhnya. Kepada yang lain, aku lebih banyak sekedar basa-basi. Termasuk kepada istri, saudara dan teman-teman dekatku. Aku masih butuh waktu untuk itu.
Makanya aku tak pernah ingin memaksakan diri untuk berlebaran di kampung kalo memang kondisi tidak memungkinkan. Dosa yang aku buat tak hanya di waktu itu saja. Pepatah dosa setahun dihapus maaf sekilas tak pernah ada dalam kamusku.
Aku ingin memaknai lebaran dengan memiliki rasa yang benar terasa sampai ke dalam hati. Yang selalu terasa dalam segala langkah dalam kehidupanku.
Mari kita pikirkan dalam diri. Sejauh manakah kita sudah mampu memahami kata maaf. Dan sudah berapa banyak orang yang bisa membuat kita tak mampu untuk berucap maaf saat bertemu atau terpikirkan.
Agar teori basa-basi itu tidaklah menjadi sia-sia.
Padahal menurutku, lebaran saat ini semakin kehilangan makna. Banyak nilai-nilai dari perayaan Idul Fitri yang dulu begitu terasa kini tiada lagi.
Dulu, silaturahmi sangatlah terasa. Sampai seminggu setelahnya, kita masih saja keliling kampung untuk sungkem dalam keikhlasan yang nyata. Kini kita hanya mampir ke tetangga sebelah dan sebagian saudara saja. Selebihnya cukup via sms. Menjelang tengah hari setelah shalat Ied, yang ada dalam pikiran kita hanya rencana mau wisata kemana.
Dulu, anak-anak begitu ceria menyambut bakda. Karena memang hanya hari itu mereka bisa mempunyai baju baru dan banyak makanan. Kini setelah bisa beli baju seminggu sekali, keceriaan baju lebaran turut punah ditelan masa. Rasa terima kasih anak-anak masa kini atas pemberian baju lebaran tak lagi sedalam masa lalu. Banyak makanan dibuat pun tak lagi dianggap istimewa.
Lalu untuk apa kita berpayahria memaksakan diri berlebaran di kampung kalau maknanya saja tidak kena. Shalat ied, belum selesai khotbah sudah banyak yang beranjak. Bermaafan pun tak lebih dari sekedar seremonial semata. Tanpa ada rasa dan kejujuran hati yang teramat perlu untuk dimaafkan. Tak lebih sanya sekedar bersalaman dan berkata "maaf lahir batin." Tapi setelah itu berlalu. kita tak lagi mau mengakui kesalahan. Kita kembali menjadi insan yang ngotot dan selalu ingin menang kepada sesama di sekitarnya.
Jujur saja. Aku sendiri tak mampu memaknai Idul Fitri sebagai hari suci dan membawa maknanya kedalam kehidupan sehari-hari. Aku baru mampu merasa dosa yang tiada habisnya hanya kepada orang tua dan jagoanku saja. Tak hanya di hari lebaran aku tak pernah mampu untuk berucap maaf setiap kali sungkem kepada orang tua. Di saat aku pulang di lain hari, setiap bersalaman hanya ada rasa haru yang teramat dalam yang membuatku menangis tanpa bisa bersuara.
Aku baru mampu melakukan itu kepada mereka. Dan untuk bisa seperti itu pun aku perlu waktu dan perjalanan yang panjang untuk memahami arti kata maaf yang sesungguhnya. Kepada yang lain, aku lebih banyak sekedar basa-basi. Termasuk kepada istri, saudara dan teman-teman dekatku. Aku masih butuh waktu untuk itu.
Makanya aku tak pernah ingin memaksakan diri untuk berlebaran di kampung kalo memang kondisi tidak memungkinkan. Dosa yang aku buat tak hanya di waktu itu saja. Pepatah dosa setahun dihapus maaf sekilas tak pernah ada dalam kamusku.
Aku ingin memaknai lebaran dengan memiliki rasa yang benar terasa sampai ke dalam hati. Yang selalu terasa dalam segala langkah dalam kehidupanku.
Mari kita pikirkan dalam diri. Sejauh manakah kita sudah mampu memahami kata maaf. Dan sudah berapa banyak orang yang bisa membuat kita tak mampu untuk berucap maaf saat bertemu atau terpikirkan.
Agar teori basa-basi itu tidaklah menjadi sia-sia.
0 comments:
Posting Komentar
Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih