Enak punya istri sayang suami tuh. Setiap buka puasa selalu diajak keliling berwisata kuliner. Menu berganti sesuai ciri khas masing-masing tempat makannya. Walau di banyak tempat selalu mendapat resiko tempat penuh dan antriannya lama.
Cuman ada satu hal yang kadang membuat aku bingung. Orang yang mau menjalankan puasa berarti sudah memiliki keimanan yang lebih. Tapi kenapa hanya antusias ketika menyambut acara buka puasa saja. Dari sekian banyak manusia berjubelan, yang dilanjut masuk mushola untuk shalat maghrib tak pernah lebih dari 30% saja. Yang lain tetap asyik berpesta pora tertawa bersama sampai beranjak pulang.
Hal yang aku rasakan sama ketika melihat teman-teman kita gegap gempita menyambut lebaran. Segala resiko tak pernah menjadikan halangan. Beberapa tahun yang silam aku selalu ikut menjadi sukarelawan di posko lebaran. Aku bisa melihat bagaimana mereka rela berebut di terminal bus atau di stasiun kereta. Aku salut dengan keikhlasan mereka menantang maut sampai berdarah-darah. Selama dua minggu bertugas, entah berapa mayat yang selalu aku angkat dari jalanan.
Semua hanya demi satu tujuan. Merayakan hari yang fitri di kampung halaman. Tapi apakah benar mereka sunguh-sungguh bersih. Apa yang dibanggakan dari perayaan lebaran bila puasanya saja terlupakan. Sampai-sampai ada pemudik yang bertanya kepadaku, "Kok masih puasa, mas..?"
Kalo melihat kenyataan itu, kata lebaran atau bakda menurutku jadi kurang tepat. lebih tepat ungkapan dari bahasa Jawa, riyaya. Berasal dari kata riya, pamer.
Kita lakukan apa saja hanya untuk pamer. Jangankan yang benar sukses di perantauan. Yang di kota hanya jadi tukang copet pun setiap lebaran berusaha tampil ngejreng. Bermuluk kata tentang kehidupan yang sukses di kota. Bagi bagi recehan kepada mereka yang tetap di desa. Seolah mengajak mereka dan mengatakan "ayo ke kota, banyak duit disana." Walau nyatanya ketika akan kembali ke kota, hape yang beberapa hari dipamer-pemarin harus dilego ke konter. Ga punya ongkos buat balik...
Inilah masyarakat kita. Hanya senang mengikuti apa yang kelihatan rame, tanpa pernah mau tahu apa tujuan sebenarnya. Berteriak teriak tentang kembali ke fitrah nya. Tapi kenapa di hari itu kita dianggap kembali suci kita tak mau tahu.
Mari kita mudik rame-rame. Kita saling berpameria di kampung halaman. Tak perlu bermulut comberan dengan kata kata yang sok agamis. Agar kita bisa kembali ke fitrahnya masing-masing. Kembali ke diri kita yang apa adanya...
Cuman ada satu hal yang kadang membuat aku bingung. Orang yang mau menjalankan puasa berarti sudah memiliki keimanan yang lebih. Tapi kenapa hanya antusias ketika menyambut acara buka puasa saja. Dari sekian banyak manusia berjubelan, yang dilanjut masuk mushola untuk shalat maghrib tak pernah lebih dari 30% saja. Yang lain tetap asyik berpesta pora tertawa bersama sampai beranjak pulang.
Hal yang aku rasakan sama ketika melihat teman-teman kita gegap gempita menyambut lebaran. Segala resiko tak pernah menjadikan halangan. Beberapa tahun yang silam aku selalu ikut menjadi sukarelawan di posko lebaran. Aku bisa melihat bagaimana mereka rela berebut di terminal bus atau di stasiun kereta. Aku salut dengan keikhlasan mereka menantang maut sampai berdarah-darah. Selama dua minggu bertugas, entah berapa mayat yang selalu aku angkat dari jalanan.
Semua hanya demi satu tujuan. Merayakan hari yang fitri di kampung halaman. Tapi apakah benar mereka sunguh-sungguh bersih. Apa yang dibanggakan dari perayaan lebaran bila puasanya saja terlupakan. Sampai-sampai ada pemudik yang bertanya kepadaku, "Kok masih puasa, mas..?"
Kalo melihat kenyataan itu, kata lebaran atau bakda menurutku jadi kurang tepat. lebih tepat ungkapan dari bahasa Jawa, riyaya. Berasal dari kata riya, pamer.
Kita lakukan apa saja hanya untuk pamer. Jangankan yang benar sukses di perantauan. Yang di kota hanya jadi tukang copet pun setiap lebaran berusaha tampil ngejreng. Bermuluk kata tentang kehidupan yang sukses di kota. Bagi bagi recehan kepada mereka yang tetap di desa. Seolah mengajak mereka dan mengatakan "ayo ke kota, banyak duit disana." Walau nyatanya ketika akan kembali ke kota, hape yang beberapa hari dipamer-pemarin harus dilego ke konter. Ga punya ongkos buat balik...
Inilah masyarakat kita. Hanya senang mengikuti apa yang kelihatan rame, tanpa pernah mau tahu apa tujuan sebenarnya. Berteriak teriak tentang kembali ke fitrah nya. Tapi kenapa di hari itu kita dianggap kembali suci kita tak mau tahu.
Mari kita mudik rame-rame. Kita saling berpameria di kampung halaman. Tak perlu bermulut comberan dengan kata kata yang sok agamis. Agar kita bisa kembali ke fitrahnya masing-masing. Kembali ke diri kita yang apa adanya...
Di desa cipenjo, tempat tinggal saya, Alhamdulillah solat tarawih-nya sdh ada kemajuan Mas. Mahsudnya saf nya tambah maju kedepan...
BalasHapusItu sih udah ga aneh. Hahahaha
BalasHapusAh, saya kalo mudik gak pamer, kok.. Dari sononya udah biasa hidup pas-pasan dan berpenampilan pas-pasan, mau sok tampil kaya ya aneh.
BalasHapus