Hari ini untuk yang kesekian kalinya aku dapat ajakan Ganyang Malaysia. Bosen rasanya dengan ajakan yang menurutku ga mutu itu. Dari sekedar ikutan grup di internet, ngerusak websetnya malaysia sampai ajakan mural di ruang publik Jogja.
Jawabanku sama dengan yang kemarin-kemarin, kalo aku tidak suka dengan acara rame-rame yang ga pernah jelas juntrungannya. Bukan aku setuju dengan klaim mengklaim budaya orang semacam itu. Tapi bukankah tidak ada asap kalo tidak ada api.
Mengapa kita ribut ketika ada milik kita yang diurus orang, sementara kita sendiri tak pernah mau peduli. Untuk apalah kita ikutan grup grup semacam ganyang Malaysia di internet bila apa yang kita lakukan hanya sekedar basa basi. Sudah sejauh manakah gerakan yang dilakukan itu berjalan efektif..?
Tak perlu terlalu jauh berpikir bila akhirnya hanya menjadi cerita semata. Bila kita memang peduli dengan budaya kita, tengoklah ke sekeliling kita. Lihatlah kesenian apa yang dulu pernah ada. Dan berapa yang sekarang tersisa. Kenapa kelompok-kelompok kebudayaan itu satu persatu mulai punah.
Kepedulian kita yang tidak ada, aku kira itu saja jawabnya. Bagaimana mereka bisa bertahan hidup, bila kita saja lebih suka nonton sinetron daripada pagelaran wayang kulit. Kita lebih suka nanggap dangdut daripada ebeg atau lengger. Anak muda sekarang berapa biji yang mau belajar nabuh gending. Di Taman budaya saja yang latihan nari malah banyakan bule nya daripada orang jawa.
Pemerintah kita pun sama saja. Ngakunya pengampu budaya, tapi untuk menghadiri acara kompetisi seni saja tak jelas iya apa enggaknya. Benda-benda seni yang masih bertebaran bukannya dilestarikan, yang ada di museum saja dicuri oleh pengurusnya.
Ketika sesuatu berada di status quo, telantar, tidak terurus, salahkah bila ada orang lain yang mengurus..? Salahkah bila orang lain ikut mempromosikan sebagai bagan dari pelengkap tujuan wisatanya..?
Aku kira ini bukan masalah klaim mengklaim sebagai budaya milik seseorang. Tapi hanya mengangkat salah satu budaya orang yang kebetulan berkembang di tempatnya menjadi salah satu daya tarik untuk menambah penghasilan dari sektor wisata. Dan kalo soal ini aku kira kita juga sering kok melakukannya. Lihatlah di brosur-brosur wisata kita. Tak jarang kita mencantumkan nama-nama besar semacam hard rock cafe, ibis, hyatt dan sebagainya sebagai salah satu nilai tambah obyek wisata tertentu.
Sudahlah teman...
Tak perlu bikin acara macam-macam kalo cuma sekedar tarik suara. Perhatikan saja sekeliling kita kalo memang kita peduli budaya sendiri. Lihatlah lebih dekat, dan kau pun kan mengerti...
Jawabanku sama dengan yang kemarin-kemarin, kalo aku tidak suka dengan acara rame-rame yang ga pernah jelas juntrungannya. Bukan aku setuju dengan klaim mengklaim budaya orang semacam itu. Tapi bukankah tidak ada asap kalo tidak ada api.
Mengapa kita ribut ketika ada milik kita yang diurus orang, sementara kita sendiri tak pernah mau peduli. Untuk apalah kita ikutan grup grup semacam ganyang Malaysia di internet bila apa yang kita lakukan hanya sekedar basa basi. Sudah sejauh manakah gerakan yang dilakukan itu berjalan efektif..?
Tak perlu terlalu jauh berpikir bila akhirnya hanya menjadi cerita semata. Bila kita memang peduli dengan budaya kita, tengoklah ke sekeliling kita. Lihatlah kesenian apa yang dulu pernah ada. Dan berapa yang sekarang tersisa. Kenapa kelompok-kelompok kebudayaan itu satu persatu mulai punah.
Kepedulian kita yang tidak ada, aku kira itu saja jawabnya. Bagaimana mereka bisa bertahan hidup, bila kita saja lebih suka nonton sinetron daripada pagelaran wayang kulit. Kita lebih suka nanggap dangdut daripada ebeg atau lengger. Anak muda sekarang berapa biji yang mau belajar nabuh gending. Di Taman budaya saja yang latihan nari malah banyakan bule nya daripada orang jawa.
Pemerintah kita pun sama saja. Ngakunya pengampu budaya, tapi untuk menghadiri acara kompetisi seni saja tak jelas iya apa enggaknya. Benda-benda seni yang masih bertebaran bukannya dilestarikan, yang ada di museum saja dicuri oleh pengurusnya.
Ketika sesuatu berada di status quo, telantar, tidak terurus, salahkah bila ada orang lain yang mengurus..? Salahkah bila orang lain ikut mempromosikan sebagai bagan dari pelengkap tujuan wisatanya..?
Aku kira ini bukan masalah klaim mengklaim sebagai budaya milik seseorang. Tapi hanya mengangkat salah satu budaya orang yang kebetulan berkembang di tempatnya menjadi salah satu daya tarik untuk menambah penghasilan dari sektor wisata. Dan kalo soal ini aku kira kita juga sering kok melakukannya. Lihatlah di brosur-brosur wisata kita. Tak jarang kita mencantumkan nama-nama besar semacam hard rock cafe, ibis, hyatt dan sebagainya sebagai salah satu nilai tambah obyek wisata tertentu.
Sudahlah teman...
Tak perlu bikin acara macam-macam kalo cuma sekedar tarik suara. Perhatikan saja sekeliling kita kalo memang kita peduli budaya sendiri. Lihatlah lebih dekat, dan kau pun kan mengerti...
Setuju men..
BalasHapusrika pengantenan nanggap ebeg apa ora ?
BalasHapusNanggap campursari...
BalasHapus