#Semua Umur
Entah jiwa nasionalisku lagi kumat atau cuma inget masa lalu bersama TVRI aku tak tahu. Yang jelas sudah dua hari ini acara satu jam bersama google selalu mencari tema jaman perjuangan. Salah satu hasil googling yang menarik buatku adalah film Kereta Api Terakhir.
Waktu masih jaya-jayanya TVRI yang rutin memutar film perjuangan, film produksi PPFN bareng PJKA ini merupakan salah satu favoritku. Pandir Kelana sebagai penulis novel yang diangkat ke film ini memang sudah ga diragukan lagi kualitasnya. Beliau yang punya nama asli RM Slamet Danusudirjo ternyata pensiunan prajurit pejuang dengan pangkat terakhir Mayor Jendral. Pengalaman sebagai pejuang kemerdekaan dikolaborasikan dengan kapasitasnya sebagai rektor Institut Kesenian Jakarta gimana gak dahsyat penghayatannya. Ketika divisualisasi ke layar lebar, penyutradaraannya diserahkan Moechtar Soemodimedjo. Wajar bila hasilnya mampu mengaduk-aduk perasaan.
Saat nonton ulang di yutub kemarin pun, rasanya dalam dada masih sama seperti 30 tahun lalu. Bahkan lebih berasa nendang. Waktu aku kecil dulu, cuma ada rasa semangat dan terpingkal-pingkal saja. Baru sekarang aku bisa merasakan sisi romansanya antara Letnan Firman dan Retno yang ternyata salah orang. Dulu mana kepikiran dengan potongan cerita dewasa itu. Pengennya acara ngobrol dipotong disisakan pertempurannya saja.
Ada yang mak sreset dalam hati mendengar lagu-lagu yang menjadi soundtrack filmnya. Pas bener Gito Rollies membawakannya dengan suara serak-serak mendayu. Apalagi pada lagu Rindu Lukisan.
Anjrittt, beneran melayang angan terhanyut suasana cinta di masa perang.
Anjrittt, beneran melayang angan terhanyut suasana cinta di masa perang.
Alur kisah yang berlatarbelakang pelanggaran Perjanjian Linggarjati oleh Belanda itu sebenarnya teramat sederhana. Cuma cerita tentang perjalanan kereta api terakhir dari 5 kereta yang akan diselamatkan ke Jogja dari stasiun Purwokerto. Nasib kereta api terakhir itu tak sebaik 4 kereta yang diberangkatkan terlebih dulu. Karena kesiangan, kereta tersebut selalu dihalang-halangi Belanda dengan serangan pesawat mustang atau lebih dikenal dengan nama cocor merah.
Di masa itu kereta api merupakan tulang punggung transportasi darat. Sehingga wajar bila Belanda ingin merebutnya. Berkali-kali rel dibom agar kereta tak bisa mencapai Jogja. Dengan gigih pejuang kereta api memperbaikinya walau terus dihujani peluru. Terasa mengharu biru saat Mandor Sastro tertembak dan minta dikuburkan di bawah rel supaya melihat setiap kereta yang lewat.
Bolak-balik pula aku nyengir, seperti waktu Sersan Tobing dikasih hadiah gitar oleh Kolonel Gatot Subroto. Sersan Batak yang lihai nyanyi keroncong terbengong-bengong disuruh nyanyiin Gudril, musik tradisional Banyumasan yang biasanya diiringi gamelan atau calung. Atau waktu adegan pasar Kroya dibom. Pedagang nasi yang diperankan Mak Wok mencari-cari suaminya yang ngumpet. Ternyata bukan bersembunyi, melainkan lagi cukur rambut. Baru dapat separo tukang cukurnya kabur takut kena bom.
Ngakak parah di scene Stasiun Sumpiuh. Dapat berita dari Stasiun Kroya kalo gerbong terakhir bakal kebakar, pasukan pemadam disiapkan. Padahal gerbong yang terbakar sudah dilepas sebelum meledak. Lucunya dimana, simak saja potongan clip dibawah. Tapi maaf, buat yang kurang paham bahasa Jawa mungkin kurang najong.
Halah, ada panggilan tugas
Klik publish post dulu aja deh
Tar kalo mau dilanjut lagi ceritanya...