18 Juli 2013

Tempat Bermain

#Semua Umur

Kembali ke hutan disambut hujan dan teman-teman yang mengeluh sudah seminggu aktifitas tambang berhenti efek hujan sepanjang hari.

Buat sebagian orang di luar sana hujan memang dinanti, namun di sini hujan tiada henti berarti musibah bagi banyak orang yang hidupnya tergantung pada kegiatan tambang. 

Bahkan warung-warung pinggir jalan pun turut mengeluh. Memang konsumen jadi rame karena dump truck banyak yang parkir. Namun tidak adanya pemasukan membuat sopir truk lebih banyak ngutang daripada bayarnya.

Ada juga sih yang bersorak sorai ketika hujan datang. Anak-anak selalu menyambutnya dengan riang gembira. Hujan memberi mereka kesempatan bermain lebih banyak.

Kegiatan tambang memang sering meminggirkan mereka. Melupakan bahwa dunia anak adalah dunia bermain. Tapi bagaimana mereka bebas bermain bila setiap waktu debu beterbangan. Tempat bermain juga sempit sebagian besar tanah mereka dikuasai aktifitas alat berat. Saat alat berat harus istirahat itulah waktunya mereka memuaskan hasrat alami sebagai anak-anak.

Tak hanya pihak perusahaan, orang tua mereka sendiri sepertinya melupakan kebutuhan anak-anaknya. Program CSR atau community development jarang menyentuh dunia mereka. Usulan program dari masyarakat lebih banyak diarahkan ke peningkatan ekonomi keluarga.




Iba melihat mereka jadi kreatif mencari sarana bermain sendiri. Kubangan bekas galian bukan tempat bermain yang aman walau mereka merasa nyaman. Apalagi air limbah batubara itu kadar ph nya sangat tinggi.

Saat mereka terkena penyakit kulit, tuntutan orang tua ke perusahaan kembali ke masalah uang. Sekedar menuntut biaya berobat dan ganti rugi sejenisnya. Sementara tempat mereka bermain yang jadi sumber penyakit tetap tidak terpikirkan.

Miris...
Tapi itulah realita...



Intinya
Sepertinya kita semua setuju dengan slogan anak adalah masa depan. Namun ketika sudah bicara uang, sepertinya hanya segelintir orang saja yang masih mengingatnya...



59 comments:

  1. terus anaknya di delikkan dimana kalau tidak tempat mainnya dirasa tidak aman mas ?

    BalasHapus
  2. ya ampun Rika jangan foto kaya kuwe di sini. nanti dikira wong gemblung lho.
    (ehh, foto pertama itu Rika kan, Kang?)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho? Kang Rawins ganti jeneng dadi Rika? Transgender? :D

      Hapus
    2. wakkakkakaaka :D

      ada ada saja.,

      Hapus
    3. sekali kali ganti profesi biar membumi...

      Hapus
  3. Model yang pertama bener bener keren mas...

    Jarang ada model mau pake pakaian kayak gitu...

    BalasHapus
  4. Horee ,... Ujan-ujanan .. :D

    BalasHapus
  5. Mbangun taman bermain dewek Kang? *nganggo duite sapa?

    BalasHapus
  6. Foto yang pertama, juosh gandosh... :D
    Mari bermain...

    BalasHapus
  7. iya ya..mestinya program CSRnya bisa semisal membuat playground untuk anak2 itu ya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. itu yang aku bilang terlupakan, bu
      orang tua mereka saja jarang mikirin apalagi perusahaan

      Hapus
  8. iya pak.. kasian juga anak-anak yang kehilangan lahan untuk bermain .. berarti anak hanya di jadikan alasan untuk mendapatkan uang ganti rugi

    BalasHapus
    Balasan
    1. itulah egoisnya orang tua dimana ganti rugi selalu dituntut dalam bentuk uang

      Hapus
  9. lho Pak, mill site nya dekat dengan lingkungan pemukiman masyrakat to? Kirain terpisah di lokasi tersendiri gitu.
    Kasian kalau melihat anak-anak bermain di tempat yang tak semestinya. Walau bagi mereka, bermain tetaplah sesuatu yang hepi, tapi lingkungan yang tak aman dan ramah juga mesti diperhatikan.

    Masyarakat di sekitar (di luar town site) di sini umumnya hidup berkecukupan, mereka mengandalkan berdagang, berkebun sawit dan memelihara walet. Kaum-kaum terpinggirkan biasanya pendatang baru yang sebagian besar dari Jawa (Sunda dan Jawa Tengah), mereka biasanya menjadi buruh kasar, seperti kontraktor pabrik, yang bagian angkat-angkat pipa, bersih-bersih cerobong asap, bongkar-bongkar mesin dll, kalau di masyarakat mereka kerja di bangunan, perkebunan, pembuatan gorong2 dll. Orang asli, walaupun sedikit juga tetep ada yang tak mampu, tapi mana mau mereka kerja kasar, kebanyakan gengsinya. Milih angkruk-angkruk di kedai kopi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. nah kan, selama ini padahal memberi kesan ke kita kalo doi jauh dari peradaban. biar kita kasihan.

      Hapus
    2. betul je Pak Zach, kirain masuk ke dalam hutan dengan medan berlumpur, ditempuh dalam waktu sekian jam gitu...

      tapi memang bener pelosok, ditengok pakai google map belum nampak...kasihan

      Hapus
    3. jangan disamakan lah kalimantan dengan sumatra. disini penduduk sangat jarang. awalnya area tambang, hauling, stockpile sampai jetty itu jauh dari pemukiman. tapi dimana ada kumpulan manusia kesitulah geliat ekonomi mengarah. para pendatang memilih bikin rumah dekat dengan area tambang agar bisa memperoleh nilai tambah dari sekedar bikin warung, kontrakan atau sengaja cari masalah biar rumahnya kena debu dan bisa menuntut ganti rugi.

      pihak csr sering pusing dengan tipe terakhir. mereka demo nutup jalan hauling minta uang debu. ketika perusahaan menambah intensitas penyiraman menggunakan mobil tangki, demo mereka berubah jadi minta uang becek. repot...


      Hapus
    4. wah kalau yang tipe penuntut ini di sini juga ada Pak Raw. Penduduk Sering (nama kecamatan) yang merupakan warga asli sejak jaman baheula, bila lagi nggak punya duit, mereka sengaja meracuni piaraan mereka di keramba(ikan mujair), trus dilaporkan ke pabrik, minta ganti rugi, katanya limbahnya mencemari...

      itu kata teman saya yang tinggal di Sering...

      Hapus
    5. yang gitu gitu ga bakalan ilang bu
      industri telah mengenalkan konsumerisme ke penduduk yang semula hidup dari hutan. ketika hasil hutan tak lagi mencukupi hasrat hidup dengan gaya baru itu, segala cara dilakukan

      sudah tahu sungai jadi lalu lintas tongkang, pasang jaring melintang. ini kan jelas jelas sengaja biar ketabrak dan bikin alasan biar bisa menuntut ganti rugi

      Hapus
  10. Balasan
    1. itu yang aku bilang ketika berhadapan dengan uang, kehidupan anak pun mereka korbankan. mungkin dalam benak mereka anak-anak cuma butuh makan, pakaian dan sekolah doang. tempat bermain yang layak masih terlupakan

      Hapus
  11. Balasan
    1. aku ga sampai bentot, bro...
      tambangnya masih di seputaran jaweten kok

      Hapus
  12. anak-anak mencari tempat bermain sendiri...kasihan sekali, malah jadi miris

    BalasHapus
    Balasan
    1. sampai kadang kita lupa, tempat parkir alat berat itu bukan tempat bermain anak-anak. bagi karyawan juga termasuk area terbatas

      Hapus
  13. Ah csr perusahaan mah hanya pencitraan saja... Menurut saya kaga ada csr perusahaan yang murni memberikan sumbangsih kepada masyarakat... Di balik setiap csr mereka pasti mengharap adanya imbal balik buat mereka... Belom lagi kebanyakan pendanaan buat csr pasti dibebankan kepada konsumen... Jadi komplit deh.... Ndak keluar dana tapi mereka bisa dapet pencitraan yang positif...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya gak selalu begitu deh pak..
      kalau dibilang pencitraan ya monggo silakan saja, akan tetapi kan sedikit banyak tetap ada manfaatnya buat masyarakat..

      Hapus
    2. dibilang pencitraan tidak selamanya begitu, om. kalo duitnya dari konsumen, ya pastilah dimana-mana harga jual kan setelah memperhitungka biaya produksi termasuk didalamnya anggaran csr.

      pada pelaksanaannya, program csr itu tidak diputuskan secara sepihak. melainkan berdasarkan permintaan dari masyarakat. bagian csr hanya membagi-bagi anggaran yang ada agar mencukupi seluruh wilayah yang bersentuhan dengan aktifitas tambang.

      csr ini merupakan kewajiban perusahaan yang diatur oleh undang-undang karena dimanapun juga kegiatan pertambangan pasti lekat dengan limbah dan kerusakan lingkungan. makanya unit csr dan enviro merupakan bagian penting dan bukan unit kerja pelengkap saja

      Hapus
  14. haduuhh, anak2 pada kehilangan tempat bermainnya,.

    BalasHapus
    Balasan
    1. bersyukurlah mereka yang tinggal di peradaban dan anak-anaknya selalu punya tempat bermain yang aman dan nyaman

      Hapus
  15. anak-anaknya diajarin ngeblog aja pak..

    BalasHapus
    Balasan
    1. ah elah...
      yang tua-tua dan tiap hari pegang laptop saja susah disuruh ngeblog haha

      Hapus
  16. asyek banget ludreg-ludreg an lumpur

    BalasHapus
    Balasan
    1. lumpur di sekitar tambang jangan disamakan dengan lumpur sawah di jawa. kadar asamnya tinggi

      Hapus
  17. walah renang gratiss *ehh..


    seremlah -__-

    BalasHapus
  18. Ikut miris kang mbayangke anak-anak di sana. Huhuhu. Bingung arep komen opo. Saya sendiri masih aktif ngasih financing ke perusahaan tambang itu. Huhuhu

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha perusahaanku rajin ngutang, jangan-jangan perusahaan si om ikutan andil juga

      Hapus
  19. tidak ada larangan ya untuk tidak bermain disana

    BalasHapus
    Balasan
    1. larangan sih ada
      tapi namanya anak kecil bu
      senengnya nyelonong begitu saja bikin mumet bagian safety

      Hapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena