27 Juli 2007

17 Tahun Lalu


Dalam kondisiku yang makin memburuk
Di mataku yang tak pernah mampu tuk terpejam
Terus terbayang peristwa 17 tahun silam

Purwokerto, 09-10-90 07:00
Aku masih sibuk di posko anak-anak gunung, menginventarisasi alat-alat perang sisa-sisa perjuangan menyelamatkan nyawa anak manusia di gunung Sindoro. Ressa, cinta pertamaku, datang menghampiri. Dia menanyakan apakah aku melupakan sesuatu. Lama aku terdiam sampai akhirnya aku ingat, besok dia sweet seventen.

Aku tanya pengen apa. Gunung Slamet, jawabnya pendek.

Aku pengen mengeluh, aku baru pulang dari gunung Sindoro selama seminggu dan aku belum buat laporan. Tapi aku tak ingin mengecewakannya, aku hanya mengangguk.

Purbalingga, 09-10-90 13:00
Aku berangkat dari terminal Purwokerto. Sampai di Purbalingga Ressa minta turun. Aku pengen jalan-jalan dulu, katanya. Ok, deh sekalian nambahin perbekalan, pikirku. Sepanjang siang itu dia begitu manja dan ceria. Ini 180 derajat dari kesehariannya yang begitu lembut dan dewasa. Tapi aku tak berpikir banyak. Mungkin ini tanda-tanda cewek mau 17 tahun.

Posko Bambangan, 09-10-90 22:00
Posko pendakian aku tinggalkan setelah sepanjang sore aku bercengkrama, bercanda, bercerita dan saling ejek di kebun kol milik penduduk sambil menatap purnama muncul menggantikan sang surya. Sampai detik itu aku belum berpikir sesuatu dengan sikapnya yang biasanya pendiam kini jadi cerewet. Seolah tak ingin ada sesuatu tertinggal daam hatinya tanpa terucap padaku.

Sepanjang perjalanan pun dia tak henti-hentinya bercerita tentang hidupnya, tentang masa lalunya, tentang cita-citanya, dan... tentu saja kisah berdua. Akupun selalu mengiyakan walau dalam hati berbisik, masih sekolah kok sudah cerita masa depan...

Pos Samarantu, 10-10-90 00:30
Aku dan dia berisitirahat sedikit lama. Aku buat api unggun di bawah pohon besar yang menaungi tempat itu. Selama istirahat itu ada satu pertanyaan yang tak pernah bisa aku jawab. "Kalau aku bahagia jauh dari mas, maukah mas melupakan aku?"

Pikirku itu cuma pertanyaan main-main dan aku tak pernah menganggap serius.

Plawangan, 10-10-90 02:30
Aku mendirikan tenda menunggu pukul 04:00 sebelum naik ke puncak. Kemudian aku mencari kayu bakar untuk api unggun. Kembali ke tenda aku terperanjat.

Biasanya sudah tersedia susu panas dan mie rebus atau roti bakar. Kali ini kulihat kekasihku malah tertidur dalam tenda. Ah kecapaian, pikirku.

Aku merebus air dan membakar roti. Aku panggil-panggil Ressa, tidak ada sahutan. Aku masuk kedalam tenda, kulihat dia menggigil. Aku bawa dia ke dekat api unggun. Bibirnya membiru. Nafasnya tersendat-sendat. Hipotermia, teriakku dalam hati. 

Sejak berangkat dari posko, aku cuma mendaki berdua malam ini. Maka aku bereskan perlengkapan. Aku mengikat carriernya lalu aku papah dan kadang aku seret Ressa turun secepatnya. Kesadarannya yang semakin buruk membuat aku sulit untuk bergerak cepat. Tapi aku terus berusaha.

Samarantu, 10-10-90 04:00
Ressa sudah tidak sadar sama sekali. Aku letakan semua peralatanku dan aku tinggalkan disana. Aku harus cepat turun. Hanya ketinggian dibawah 1500m dpl yang dapat menyelamatkannya. Aku gendong dia berlari menerobos belukar lebat.

Pos 1, 10-10-90 05:30
Ada suara memanggilku lirih. Heh, dia sadar. 
Ressa memintaku berhenti. Aku turunkan dia dari gendongan. Aku mengambil golok untuk mencari kayu bakar. Dia melarang dan meminta aku mendekapnya. Kubuka jaketku dan kubungkus dia rapat-rapat. Aku memeluknya mencoba memberikan kehangatan.

Bertahan ya, sayang. Sebentar lagi kita sampai desa.
Dia menggeleng. Dengan terbata-bata dia menanyakan apakah aku mencintai dia. Aku mengangguk. Kulihat dia berusaha tersenyum dan berucap pelan, aku bahagia sekali mas. 

Ternyata itu kata-kata terakhir yang aku dengar dari bibirnya. Ressa terus diam dan terkulai di pangkuanku. Aku memanggil-manggil namanya. Akupun histeris

Berulang kali aku menghadapi situasi yang seperti ini. Tak hanya sekali orang pergi menghadap Yang Kuasa di pangkuanku. Tapi aku tak mampu untuk tenang seperti biasanya. Saat itu aku merasa seperti orang gila.

Teriakanku menarik perhatian dua orang pendaki yang membuat tenda tak jauh dari tempatku. Setelah itu akupun tak tau apa yang selanjutnya terjadi.

RSU Purbalingga, 10-10-90 14:00 
Aku membuka mata seperti orang asing dengan sekelilingku. Kulihat aku terbaring di tempat tidur yang serba putih. Semula aku berpikir aku sudah di alam lain. Tapi aku melihat beberapa orang temanku mengelilingiku. Aku bertanya pada mereka aku dimana. Tenang, Win kamu di RS.

RSU Purbalingga, 10-10-90 14:30
Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Mana Ressa, teriaku. Tak ada temanku yang menjawab. Aku meloncat dari tempat tidur dan kembali tak sadarkan diri.

TPU Bojong, 11-10-90 08:00
Aku laki-laki. Tapi aku menangis di atas nisan yang baru. Entah berapa lama aku disitu. Sampai aku diseret pulang oleh teman-temanku.

Bertahun berlalu. Ingatan itu tak pernah lepas dari pikiranku. Aku tak pernah mampu menerima bahwa Ressa sudah tiada. 

Setiap kali pikiranku kalut ke Samarantu lah tujuanku. Aku hanya duduk di batang kayu roboh tempat aku duduk dulu. Masih terus melekat dan aku rasakan Ressa ada dalam dekapanku.

Saat ini
Akupun ingin kesana. Tapi apakah aku mampu. Hampir 10 tahun aku tidak mendaki. Apalagi dengan kondisi fisikku saat ini. 

Andai ada malaikat yang mau membawaku kesana... Aku pun ingin pergi disana.
Aku ingin kembali ke cinta sejatiku yang aku tinggalkan disana...
Di lereng gunung Slamet...
Dearessa Nur Aisyah...
10-10-90...



3 comments:

  1. Ko aku bisa gak baca yg ini Lik?
    Apa 2007 kita belum kenal?
    Kayane si uwis loh...

    Hem........ so sad stories :(
    Sory to hear that. Bisa di bayangkan, orang tericnta pergi meninggalkan kita untuk selamanya dan terjadi di dekapan kita sendiri.

    BalasHapus
  2. mrinding badan q baca kisah e njenengan bos.!
    ndak bisa bayangin kalo posisi kita di balik.!!

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena