Kepercayaan

Satu hal yang tidak mengenakan dalam hidup adalah ketika orang sudah tidak percaya lagi dengan apa yang kita katakan. Dan itulah yang aku rasakan dalam dua bulan terakhir ini. Sejak aku kirim email dan sms mohon pamit ke teman atau relasi yang berkaitan dengan pekerjaan, kata-kata pertama yang keluar dari temen adalah, "masa sih..? yang bener..? kenapa..? ada apa..?" dll dll yang semuanya bernada tidak percaya.

Kalo bank terus merubah posisi approve ke pending akan pengajuan kreditku sih wajar. Sampai pas ngumpul lebaran kemarin, masih ada yang ga percaya kalo aku pengangguran. Termasuk temen yang suka ngeblog juga ada yang ga percaya. Ketika aku bilang dia komen juga di cerita tentang keluar kerja, kok malah kaget. "Beneran tho, kirain yang di blog cuman cari sensasi doang..." Halah..

Ada juga temen yang percaya aku keluar kerja, tapi mereka tak percaya kalo aku belum punya rencana apa-apa. Temen yang kayak gini lebih nyebelin daripada tipe yang ga percaya. Sudah tau aku nganggur, bukannya nawarin kerjaan, tapi malah pada ribut nanya aku mau kemana atau bikin apa dan mereka pengen ikut. Pusing dengan telpon-telpon ajaib dari temen, aku sempat matikan hape sampai seminggu lebih. Damai bener dunia tanpa hape...

Setelah semua itu reda, masih ada lagi masalah baru yang berkaitan dengan kepercayaan. Ketika aku mulai tengok kanan kiri cari info kerjaan, banyak temen yang menganggap aku bergurau. Sedih ga sih, ketika datang ke tempat temen nanya kerjaan jawabnya gini. "Aku lagi butuh tenaga memang, tapi belum mampu kalo harus ngegaji karyawan selevel kamu.." Anjrittt...

Kenapa juga mereka tak mau percaya kalo aku tak punya ijasah yang bisa aku bawa kesana kemari untuk cari kerja. Aku STM saja tidak lulus. Kalopun pada akhirnya aku bisa sedikit diatas, semua aku jalani benar-benar dari titik nol. Seperti yang terakhir kemarin. Aku bisa memegang kartu nama bertuliskan General Affairs Manager, itu aku awali dari jabatan pembantu teknisi yang wewenangnya cuma narikin kabel atau ngangkatin CPU di kantor.

Ketika ngurusin telepon umum di Divre 3 dulu, aku memulainya sebagai tenaga lepas harian yang setiap hari cuma bawa linggis dan cangkul untuk nancep-nancepin tiang telepon di daerah Unpad sana. Perlu waktu sekitar 4 tahun sampai aku dikasih label Area Head Tasikmalaya.

Saat usaha sendiri pun sama. Aku memiliki toko dan tempat kursus komputer yang perlu waktu dua tahun untuk merintisnya dari level teknisi asongan. Tiap hari hanya keliling dari kantor ke kantor, sekolahan atau komputeran temen hanya untuk menanyakan ada komputer yang perlu diservice apa engga. Sampai pekerjaan mulai berdatangan ke rumah sehingga aku tak perlu keliling kampung lagi. Ketika job semakin banyak dan ruangan di rumah ga muat, mulai ngontrak ruko dan bisa berkembang pesat. Bila pada akhirnya harus ambruk lagi, itu sih sudah kodratnya dimana roda dunia memang selalu berputar.

Memang ada pepatah yang mengatakan, satu teman lebih berharga daripada duit jutaan. Itulah sebabnya selama ini aku suka memperluas jaringan pertemanan. Tapi bila banyak yang salah persepsi semacam ini, ya ribet juga neh. Perasaan aku selalu mengatakan apa adanya tentang diri sendiri. Lalu yang bikin mereka salah menilai apanya ya..? Ketika aku bilang ga punya sepatu, mereka ga percaya. Pas aku tunjukin aku kemana-mana cuma pakai sandal jepit, malah dibilang, "wah, ternyata kamu low profile juga yah. salut deh.."

Low profile gundulmu...
Ini yang suka membuat aku bingung. Karena kesalahsangkaan ini rutin terjadi saat aku berada di posisi tertentu. Kalo urusan kerjaan sih aku dah hapal. Dari dulu kalo pas nganggur pasti harus lari ke tempat orang yang ga aku kenal agar diterima sebagai kuli kasar. Yang mengganggu pikiranku tuh soal kejujuranku yang lain. Setiap aku kenalan dengan cewek, aku selalu bilang sudah beranak istri. Takutnya mereka ga percaya juga...
Haduuh...