15 Oktober 2010

Balai Pustaka

Survai bakal lokasi data center UN online di Puslitbang Diknas kemarin sore, aku sempat terpaku di depan gedung Balai Pustaka. Tak ada yang terlalu menarik memang, tapi logo itu dulu teramat akrab di mataku.

Begitu aku masuk SD, buku-buku berlogo BP menjadi panduan belajar di banyak mata pelajaran. Sampai aku masuk SMP lalu STM, buku terbitan BP tetap mendominasi bahan belajarku. Dan semua itu gratis dipinjamkan oleh perpustakaan sekolah. Tak perlu biaya terlalu tinggi untuk menjadi pintar waktu itu.

Makanya aku sempat heran ketika melihat kenyataan akhir-akhir ini, dimana orang tua seringkali mengeluh anaknya sebentar-sebentar beli buku pelajaran. Setiap tahun harus ganti buku. Buku bekas kakaknya sudah tak berlaku lagi dan tetap harus beli baru. Parahnya pembelian buku itu bersifat wajib dan seringkali dikoordinir oleh gurunya.

Dengan alasan efisiensi anak sekolah sekarang tak lagi punya pr untuk pinjam buku di perpus lalu disalin ke buku tulis. Padahal buatku yang termasuk kategori kutubuku dulu, baca buku pelajaran adalah tugas yang menyebalkan. Dengan adanya tugas menyalin atau merangkum, mau tak mau aku jadi baca buku menyebalkan itu. Bagaimana dengan anak sekarang yang sudah disibukan juga oleh pesbuk atau plestesion, sudah hilangkah rasa sebal baca buku pelajaran..?

Anak mungkin tidak begitu repot dengan tren wajib beli buku. Tapi orang tua apalagi yang ekonomi agak kurang, tak jarang mengeluh panjang. Keluhannya sih bukan soal beli bukunya. Bagi mereka, untuk pendidikan anak apapun akan mereka lakukan. Mereka justru mengomel ketika banyaknya buku yang harus dibeli tak juga membuat anak menjadi pintar. Satu dua guru "cerdas" yang mewajibkan membeli buku tertentu dibawah koordinasi kadang tak cukup cerdas untuk mewajibkan anak pintar dengan bukunya. Jadinya terkesan cuma mau belajar bisnis jualan buku berbonus intimidasi halus ke muridnya.

Walau pendidikan katanya kewajiban seluruh rakyat dan bukan kewajiban pemerintah semata, kenapa sih budaya pinjam buku paket tidak lagi diaktifkan. Kalo memang buku-buku itu dianggap sudah ketinggalan jaman, Balai Pustaka kayaknya masih sanggup kok membuat buku bermutu.

Tak jelas kesalahannya dimana. Pemerintah tak sanggup mendanai BP bikin buku baru atau memang sengaja mengajari guru menjadi enterpreuneur karena tak mampu menggaji mereka lebih layak. Auahlap...

Mobile Post via XPeria

4 comments:

  1. kl jamanku skolah dulu, beli buku cuma,, rangkaian soal2 aja... Yg dsertai ringkasan sedikit tentang materinya... Sedangkan buku2 yg menjelaskan lain nya dsedia'in ma Perpustakaan.. Jd agak irit juga...

    BalasHapus
  2. aku pun punya pikiran yang sama Sob... soalnya dari jaman dulu aku termasuk yg gak suka baca dan klo disuruh beli ya percuma paling2 cuma di taruh dirumah dan lebih baik ya disuruh nyalin yg senggaknya masih ada yg nyangkut diotak... ya biasa lah Sob.. kan itu objekannya para pendidik haha....

    maaf telat Sob.. semangat n happy blogging...

    BalasHapus
  3. setubuh saya dengan ini....sepertinya guru - guru memeang di ajarkan untuk mandiri nyari uang tambahan sendiri....(kasihan beer nasib para guru padahal tanpa mereka tidak mungkin saya bisa berkata seperti ini)

    BalasHapus
  4. Hmm, I have an Indonesian friend who is into books. He used to be my roommate in college. I remember, we both used to provide essay writing service in USA at the time and book reading and essay writing were the only things he did while he was in the room. Anyway, I will share this post with him – I am sure he would love to know about balai pustaka – if he already doesn’t know.

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena