#Bimbingan Orang Tua
Buka-buka jurnal lama, malah nemu foto kamar bujangan jaman ga enak. Sejak saat itu, terhitung sudah 3 kali aku pindah tempat dan hidup membujang. Bagaimana rekam jejaknya, silakan disimak...
Yang pertama...
Ini suasana awal tahun 2008 di sebuah kontrakan kumuh dekat pembuangan sampah Asyirot tak jauh dari Jl Panjang antara Kebon Jeruk dan Kebayoran Lama. Mengawali masa-masa kurang menyenangkan saat terusir dari rumah, mencoba adu nasib hanya berbekal uang 200 ribu perak dan kaos 2 stel. Sampai di Jakarta disambut dengan manis preman Pasar Senen. Dengan dalih keselamatan, aku relakan uang sisa ongkos kereta ludes diembat. Untung saja juragan preman masih punya rasa kemanusiaan dan menerima syaratku untuk ikut cari makan di kawasannya walau wajib setor 20 ribu perak perhari untuk penghuni level newbie.
Makan tidur di seputaran Atrium Senen dengan status gelandangan bisa dijalani dengan baik walau seringkali menyakitkan. Kadang seharian cuma dapat duit 30 ribu. Dipotong setoran 20 ribu, nyisa 10 ribu yang cuma cukup untuk makan sekali. Dua minggu bertahan hidup jadi tukang angkat junjung di pasar sampai dapat kerjaan di sebuah toko komputer jadi kenek teknisi. Sebulan kemudian aku bisa lepas dari kekuasaan preman Senen dan pindah ke Kebayoran Lama jadi admin web di sebuah toko online jualan baju muslim.
Mulai saat itu aku sudah bisa bayar kontrakan rumah biarpun di tempat kumuh. Tidak ada apa-apa sebagai penunjang hidup layak selain tikar dan bantal pinjaman tetangga sebelah. Untuk kerja di kontrakan, aku dapat bantuan sebuah CPU dari Kanthong, Juragan IT STAIN Surakarta. Monitornya aku dapat pinjaman dari Juragan Starlight yang berjudul Lik Ihin.
Level Dua...
Diawali kerja freelance memperbaiki gangguan komputer dan jaringan lokal, aku diajak gabung oleh juragan SAComm. Sampai suatu ketika si bos buka galeri lukisan di Jogja dan aku ditugaskan untuk merintis pekerjaan pembangunan gedungnya yang merupakan bangunan setengah hancur sisa gempa. Aku yang sebenarnya cuma ditugaskan 3 bulan di Jogja, ternyata harus bertahan lebih lama. Manager galeri tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya dan seluruh tugasnya dilimpahkan kepadaku.
Hidup di dunia seni, kamar bujanganku juga turut berseni. Maksudnya rada nyeni, bukannya penuh air seni. Masih sama-sama tidur di lantai, tapi bedanya sudah pakai kasur dan ber-AC. Benda-benda seni jadi hiasan pengantar mimpi dan bukan lagi kabel ruwet, obeng, tang dan asbak penuh puntung rokok. Kebersihan terjaga dan perbaikan gizi terjamin dibawah kekejaman Ela.
Aku tinggalkan kamar itu setelah menikah dengan ibue Citra. Dua tahun hidup bersama keluarga, aku harus kembali membujang saat aku keluar dari galeri dan hengkang ke Kalimantan di level berikutnya.
Stadium Tiga...
Ini yang sedang aku jalani sejak satu setengah tahun yang lalu. Hidup di mess tambang terisolir dari peradaban. Sebuah kamar yang nyaman walau hanya rumah panggung di tengah hutan. Adem ber-AC walau listrik lebih sering mati daripada hidupnya. Mandi tak susah, walau sering berubah jadi tak usah mandi saat airnya berubah keruh bercampur gambut. Makan juga tinggal ambil di dapur, biarpun kadang ga masuk bosen dengan menunya yang tiap hari ikan goreng.
Kerja sebagai teknisi dengan status pekerjaan emergency, membuat tidur tak pernah bisa jauh dari alat kerja, senter, radio dan alat pengaman diri. Tidak ada jam kerja yang berlaku, setiap saat harus siap berangkat ke lapangan ketika ada gangguan. Persis orang galau yang makan tak enak tidurpun tak nyenyak. Makanya aku sudah mulai kangen untuk dapat segera mengakhiri masa masa membujang ini dan kembali ke keluarga di Jogja.
Tiga kamar bujang yang berbeda. Namun ada satu persamaan yang hampir identik. Tentang pengumuman di kamar mandi...
berantakan om wkwkwkwk
BalasHapusKasihan...calon dokter di buang di kamar mandi, ada juga yang calon insinyur di buang tiap ke kamar mandi. Miris ya.
BalasHapusKamarnya gk jauh beda sama yg saya gan heu..
BalasHapushihihi... ternyata ada historynya... alhamdulillah, semakin membaik ya... apalagi sudah berkeluarga :D
BalasHapussalam
kalo orang tua sini bilang sih: itu kamarnya ruwed ngampred hehe msh keinget juga ya sma ela cihuuuy. awas ibue ati2 :D
BalasHapuskamar setelah menikah dgn ibunya citra mana nih?hehehe
BalasHapuswuis..asbake..jembar tenan..wkk.wk,..
BalasHapusikut memeriahkan suasana :D
BalasHapuswkwkkwkkw, emang bisa buat bikin anak juga ya di kamar mbandi, hahhaha :D
BalasHapuskl soal kamar, ya 11-12 lah sob sama anee, awut-awutan :D
memangnya kudu berapa lama hidup terpisah dari keluarga, Pak? Jadi inget teman SMP saya yang tugas di Papua, tapi dia dapat cuti selama dua minggu setiap enam minggu sekali.
BalasHapuskamar dgn ibunya citra mana :p
BalasHapusgambar yang atas, bukan foto poskamling kan hehehhe
BalasHapusternyata dimana2 bujangan podo wae kamar kostnya :D
makin kesini makin rapi euy, yah... lumayanlah :D
BalasHapushidupnya seru banget, bisa dinovelkan tuh *pikiran cerpenis hehe*
BalasHapusbtw agak OOT sedikit, mengenai pertambangan, bukannya sekarang lagi berhenti kerja ya gara2 PerMen :-s
wah ternyata kehidupan pak rawins, dari amburadul, semakin kesini semakin yahud. kerjaan pun semakin membaik ya pak.
BalasHapussalam sukses.
klo kamar lajang-bujang-tanpa istri brantakan itu udah biasa justru klo rapih itu perlu dipertanyakan hahahah
BalasHapusekekekekeke... benar2 kamar bujang neh, klo kaga begitu bukan bujang namanya ^^
BalasHapusItu yang nulis goblik kamu po om?
BalasHapus