Tambi

#Bimbingan Orang Tua

Pulang dari Jakarta untuk minggat edisi #2 kemarin, sampe rumah langsung ditodong sama yang packing-packing. Kalo umumnya menjelang puasa pada mandi di sungai atau ziarah kubur, ini mah persis kaya di pesisir selatan Jawa Barat dimana kegiatan munggahan diisi dengan acara jalan-jalan.

Inget postingan om Bimo dan rencana bersama Gotrek yang batal sebelumnya, ditentukan tujuannya adalah Dieng dan nginep di sana. Rute yang diambil seperti biasa menggunakan jalur alternatif. Dimulai dari Monumen Jogja Kembali ke utara mengikuti Jl Palagan sampai Turi, Muntilan, Borobudur, Sapuran, Kertek, Garung dan finish Dieng.

Tapi terganggu postingan tentang Tambi, sebelum masuk Dieng aku banting setir ke kanan menuju areal perkebunan teh NV Tambi dan bablas ke Sigedang yang merupakan pos pendakian Gunung Sindoro. Sengaja aku ngadem di kebun teh di atas Sigedang, karena disana memang ada sebuah ikatan batin yang historik, sedikit heroik walau buntutnya rada tengik.

berlari di tambi

Kalo ga salah sekitar tahun 92 atau 93 lalu, aku dan timku pernah diterjunkan kesana di bulan puasa mencari orang hilang. Dua hari penyisiran korban ditemukan dalam kondisi kritis. Sesuai standard operational procedure rescue, saat menemukan korban masih dalam keadaan hidup, targetnya harus bisa mempertahankannya sampai ke fasilitas kesehatan terdekat.

Makanya kalo boleh memilih melupakan sisi kemanusiaan, aku lebih suka menemukan korban yang sudah meninggal daripada sekarat. Bawa orang mati bisa lebih santai dan ga terlalu diburu waktu. Paling-paling balapan sama bau bangkai kalo jasadnya sudah mulai membusuk. Harap maklum jaman dulu kantong jenasah masih susah didapat dan biasanya cuma pakai lembaran plastik dan bubuk kopi doang.

Namanya di gunung, bawa badan sendiri saja sudah susah. Udah bawa ransel ukuran 80 liter berisi peralatan, masih ngurus nyawa orang dalam kondisi hampir mati. Masih kebayang belibetnya saat harus menerobos semak atau halang rintang penuh ranting pohon roboh. Harus bolak-balik beberapa kali meneroboskan badan, ransel dan tandu. Belum lagi kalo selang infus kusut atau korban ga mau diam.

Selama ini bisa dijalani dengan ikhlas karena sejak awal gabung memang sudah ditanya kesiapannya tentang itu. Namun kasus di Sigedang itu kayaknya pengecualian. Seharian berjuang turun gunung sampai merangkak-rangkak dan jatuh bangun terpeleset jalan licin kena hujan sambil menjaga korban jangan sampai jatuh dari tandu. Di tengah kegembiraan melihat lampu pemukiman hanya tinggal 1 km didepan, korban kelihatan mulai kaku. Cek tanda-tanda kehidupan kayaknya sudah lewat. Dicoba nafas buatan dan pijat jantung juga tidak ada hasilnya. Saat aku ambil kesimpulan korban sudah game over, teman yang pegang tandu mendadak emosi dan melemparkan tandu ke selokan.

Kalo inget itu aku suka merasa sedih, pengen ketawa sekaligus takut. Sedihnya, gimanapun juga itu jasad manusia yang harus dihormati sampai dikuburkan. Pengen ketawa, soalnya aku juga sebenarnya ikut kesel. Kalo boleh jujur aku pengen teriak, kalo mau mati, mati kek dari tadi biar ga perlu nyusahin orang lain. Trus ada rasa takut juga. Takutnya tuh mayat bangun lagi dan komplen atau malah nantangin berantem. Haha pekok...

Menuju Boja

Dan lebih pekok lagi, penyakit ga jelasku mendadak kumat. Gara-gara penasaran jalan di kebun teh itu tembusnya kemana, jadinya aku tidak balik ke rute awal. Iseng-iseng berhadiah cari rute baru menuju Dieng. Jebulnya rute itu malah menjauhi Dieng dan nyampe ke Candiroto. Akhirnya aku bablas ke Boja Kendal yang juga punya sedikit catatan dalam sepak terjang di masa lalu.

Lanjut besok ya...