Kebijakan ujian akhir sekolah berstandar nasional atau UASBN untuk jenjang Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidayah akan menjadikan anak sebagai korban dari sistem pendidikan. Pasalnya, pendidikan tidak lagi mengakomodasi kepentingan terbaik anak.
"Pendidikan di sekolah menjadi menegangkan dan menekan anak. Sebab, kelulusan anak akan ditentukan oleh mata pelajaran yang masuk UASBN. Padahal, belajar itu kan suatu proses. Yang dikhawatirkan juga apakah anakyang tidak lulus mau mengulang kembali? Ini bisa menghambat pencapaian wajib belajar sembilan tahun," kata Susilahati, komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada acara debat publik tentang Membedah Kebijakan UASBN 2008 yang digelar KPAI di Jakarta, 16 April 2008, dikutip dari KOMPAS.
Dari survey yang dilaksanakan KPAI di beberapa kota soal persiapan UASBN, terlihat kebijakan UASBN terlihat inkonstitusi dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Siswa, guru, dan sekolah dipaksa siap mengikuti UASBN di tengah ketidakmerataan sarana dan prasarana serta proses pendidikan yang berkualitas.
"Banyak anak yang tidak punya buku mata pelajaran UASBN. Anak-anak ditekan dengan pelajaran tambahan dan try out. Ini sangat membebani anak-anak," kata Susilahati.
Lebih kacaw lagi, dunia sekolah sudah menjadi lahan bisnis. Guru bukan lagi digugu lan ditiru, tapi cenderung wagu dan saru. Cuma karena iming-iming komisi sekian persen dari sales buku atau LKS, murid diwajibkan membeli LKS merk anu. Belum lagi adanya ketentuan study tour wajib dengan biaya sekian ratus ribu yang pasti berat untuk sebagian orang tua. Sementara guru-gurunya yang ikut tour gratisan beserta keluarganya masih bisa sibuk menghitung kelebihan biaya tour untuk bagi-bagi SHU.
Slogan calon-calon pemimpin dengan janji sekolah gratis sewaktu kampanye, memang sebagian terlaksana. Bebas SPP!!! Tapi bayar bangunan meningkat sekian ratus persen. Baru masuk saja sudah dihadang pungutan sekian juta. Dunia pendidikan semakin brengsek. Rakyat miskin semakin banyak. Anak putus sekolah meningkat.
Tapi pas saya tanyakan ke temen yang kebetulan berprofesi guru, jawabannya cukup memelas. "Honorku berapa, mas..? Sejam cuma lima ribu perak." Lalu, siapa dong yang brengsek?
Para pemimpin negeri ini kali ya. Juga orang-orang yang duduk di Senayan yang seharusnya bisa mengontrol roda pemerintahan tapi malah sibuk mengurus dirinya sendiri. Kata orang sunda, ini merupakan sisa-sisa orde baru yang diselewengkan. Kalo dulu ada istilah pembangunan jangka panjang atau jangka pendek, sekarang jadi jang ka imah, jang ka pesak atau jang ka nu ngora kaya si al amin brengsek.
Terserah orang mau bilang apa, tapi untuk soal pendidikan saya jadi kangen Pak Harto lagi. Walau ga pernah berkoar tentang sekolah gratis, tapi saya dan temen-temen sekolah dibayarin. Beasiswa bertebaran. Cukup pakai buku paket pinjem di perpus, ga perlu beli buku ini itu dengan pemaksaan. Dan saya lebih bisa menghargai guru dibandingkan anak-anak sekarang.
Hmmm... jadi bermimpi lagi.
enaak jaman pak harto bayar spp kecil broo
BalasHapusuang bangunan mahaal katanya buat nutup guru honor dan perbaikan korsi masa sih persiswa bayar spp perbulan 250 rebu per bulan . jikalu dikali per kelas udah berapa ? dikali sekian org siswa gilaaaaaaaa pantasan guru guru sekarang cepat kayaaa.......... edan siswa dibuat sapi perahan eduuuuuun , Presiden dan DPR , menteri pendidikan tidak respoon eduuuun.......siswa dibuat muntah dengan pelajaran pelajaran tugas rumah dan jam belajar dipadatkan. tolong yg pintar dukung kami rakyat kecil yg susah bayar spp attau dsp , dsp perbulan 250 rebu uang bagunan tidak rata dan gede 3 juta baru masuk , uang buku perpustakaan dibebabankan ke siswa .... edaaaaaannnnnnnnnnnnnnnnnnn
BalasHapus