Hujan sejak pagi sampai malam. Seharian cuma duduk di teras belakang menikmati teh hangat dan mendoan ala Jokja yang anggap saja enak. Radio butut yang setia mengisi kesuyian tiba-tiba mengalunkan musik dangdut yang membuat aku teringat insiden kecil pada waktu pembukaan pameran kemarin.
Ketua rombongan musik berbaik hati, "Mas, ga cape emang mbujang terus. Tak bawain penyanyi KDI tuh. Cocok lah sama sampeyan.."
Dasar mulut comberan, tanpa mikir langsung aja nyamber, "Ga ah. Bikin mules. Pengen yang baik-baik aja deh..."
Mungkin salah tangkap atau memang aku keterlaluan dengan kata "baik-baik" itu. Beliau rada ngambek dan menganggap ucapanku melecehkan profesi yang katanya halalan toyibah.
Pelan-pelan kusampaikan bahwa aku tidak bermaksud melecehkan profesi atau jenis musik tertentu. Aku saja aslinya penggemar dangdut kok. Cuma kalo harus dengan penyanyi dangdut kok rasanya enek. Walau mungkin itu tuntutan profesi, tapi apakah semua orang bisa memilah mana posisi sebagai penyanyi dan mana posisi sebagai manusia biasa.
Lagipula menurutku profesi penyanyi tuh jualan suara, bukan menjual badan. Apakah dengan memakai pakaian balita lalu ada nilai tambah untuk kualitas pribadinya? Kalau untuk alasan keindahan seni, apa ya lupa bahwa sebagian besar laki-laki adalah pecinta seni yang susah mengontrol diri ketika desakan air seni terbangkitkan. Adakah tanggung jawab moral yang lebih dari pembangkit listrik tenaga seni itu ketika tegangan SUTET meningkat?
Untunglah beliau bisa mengerti bahwa aku bukan menolak maksud baiknya. Aku cuma kurang sreg kalo harus jalan dengan orang yang pakai baju saja tidak bisa. Walau di lain kesempatan pasti aku juga ga suka kalo pakai baju rapet.
"Yo wis rapopo, mas. Aku iso ngerti kok nek ngono. Sing penting jo lali, dukung SMS ben menang neng KDI..."
Halah...
Ketua rombongan musik berbaik hati, "Mas, ga cape emang mbujang terus. Tak bawain penyanyi KDI tuh. Cocok lah sama sampeyan.."
Dasar mulut comberan, tanpa mikir langsung aja nyamber, "Ga ah. Bikin mules. Pengen yang baik-baik aja deh..."
Mungkin salah tangkap atau memang aku keterlaluan dengan kata "baik-baik" itu. Beliau rada ngambek dan menganggap ucapanku melecehkan profesi yang katanya halalan toyibah.
Pelan-pelan kusampaikan bahwa aku tidak bermaksud melecehkan profesi atau jenis musik tertentu. Aku saja aslinya penggemar dangdut kok. Cuma kalo harus dengan penyanyi dangdut kok rasanya enek. Walau mungkin itu tuntutan profesi, tapi apakah semua orang bisa memilah mana posisi sebagai penyanyi dan mana posisi sebagai manusia biasa.
Lagipula menurutku profesi penyanyi tuh jualan suara, bukan menjual badan. Apakah dengan memakai pakaian balita lalu ada nilai tambah untuk kualitas pribadinya? Kalau untuk alasan keindahan seni, apa ya lupa bahwa sebagian besar laki-laki adalah pecinta seni yang susah mengontrol diri ketika desakan air seni terbangkitkan. Adakah tanggung jawab moral yang lebih dari pembangkit listrik tenaga seni itu ketika tegangan SUTET meningkat?
Untunglah beliau bisa mengerti bahwa aku bukan menolak maksud baiknya. Aku cuma kurang sreg kalo harus jalan dengan orang yang pakai baju saja tidak bisa. Walau di lain kesempatan pasti aku juga ga suka kalo pakai baju rapet.
"Yo wis rapopo, mas. Aku iso ngerti kok nek ngono. Sing penting jo lali, dukung SMS ben menang neng KDI..."
Halah...
Bukan gak bisa pakai baju, tapi klambine kuwi sing kurang bahan, gitu loh mas Rawins. Lha piye nek sama pesinden aja? Ngagem nyamping, kebaya sing seksi mlakune sripit2,terus nyinden gending jineman uler kambang larase slendro manyuro, suware galik2!
BalasHapusHalah galik2 iki tembung opo?
Maksud saya suarane sing galik2 koyo suarane Sunyahni.
BalasHapus