#Segala Umur
Demam Sukhoi masih saja melingkupi sebagian dari kita. Tak hanya media massa, media pribadi seperti blog, forum ataupun jejaring sosial tak mau ketinggalan mengangkat tema tersebut. Melihat begitu banyaknya orang bicara tentang kecelakaan pesawat yang menabrak salak segede gunung itu, aku sebenarnya kurang tertarik untuk mengangkatnya sebagai tema. Namun saat baca sebuah trit di kaskus yang mencaci maki tim SAR Indonesia yang dikatakan menjijikan, goblok, bobrok, dll dll. Mau ga mau aku jadi ketularan SBY dan berucap prihatin tiada habisnya.
Aku yang sempat bertahun-tahun bergabung jadi relawan SAR jadi gondok juga ketika korps itu dikatakan selalu lambat dalam menolong korban tak seperti tim SAR luar negeri. Mungkin itu memang sebuah kenyataan. Namun aku tak rela bila orang-orang yang bergabung disana dibilang goblok dan ga mau peduli. Agaknya penulisnya ga mengerti bahwa sebagian besar petugas lapangan adalah relawan yang tidak digaji. Mereka ikhlas bergabung hanya karena soal hati. Mengikuti pelatihan berat dan memahami segala resiko di lapangan yang bisa berakibat fatal. Sakit rasanya segala perjuangan itu seperti tak dihargai. Apalagi bila ingat kejadian tanggal 23 Nopember 1993, dimana 3 anak buahku yang meregang nyawa di depan mata saat latihan SAR di ujung Nusakambangan sana tanpa aku bisa berbuat apa-apa.
Mungkin si penulis itu menganggap tugas SAR itu sama dengan kalo dia mau ngeluyur ke mol bareng temen-temannya. Tidak perlu ada perencanaan, koordinasi antar relawan dan badan-badan resmi yang terkait. Hutan lebat, kabut tebal, hujan dan kondisi medan lain yang tidak bersahabat perlu perjuangan keras untuk bisa menembusnya. Tebing atau jurang yang hampir tegak tak mungkin bisa ditempuh sambil lenggang kangkung. Belum lagi dukungan logistik peralatan yang serba seadanya dan seringkali merupakan properti pribadi juga ikut menjadi penghambat operasional lapangan.
Kisah-kisah masa lalu berkelebat silih berganti dalam benakku. Terbayang bagaimana susahnya melakukan orientasi medan peta kompas saat menembus kabut pancaroba ketika mencari pendaki Unsoed yang hilang tahun 1992. Kepala sempat bocor gara-gara terpeleset saat evakuasi menuruni tebing jurang licin berkemiringan hampir 90 derajat di gunung Lawu. Pernah juga hampir menjadi barbeque saat evakuasi pendaki dari STM Telkom yang terjebak kebakaran hutan di Gunung Slamet.
Tak perlu terlalu terprovokasi oleh film-film Hollywood yang bertema penyelamatan. Bagaimanapun juga film akan menceritakan tentang sang jagoan yang selalu bisa mengatasi segala hambatan. Kondisi di lapangan tidaklah seindah itu. Kelelahan, kebingungan bahkan keputusasaan di tengah tugas selalu ada dan menjadi penghambat utama.
Terserah orang mau bilang apa tentang relawan penyelamat kita. Yang jelas, saat sudah berada di lapangan, mereka selalu berusaha semaksimal mungkin dengan segala sumber daya yang ada. Keselamatan pribadi juga seringkali diabaikan demi sebuah target untuk secepatnya menemukan dan menyelamatkan korban.
Beralih ke soal kecelakaan Sukhoi...
Aku cuma bisa turut berbelasungkawa dan tak bisa berbuat lebih seperti dulu lagi. Aku tak mau mempermasalahkan apakah itu dari faktor alam, alat atau manusia. Yang pasti tidak ada satu orang pun yang menginginkan musibah terjadi. Tak perlulah kita sok pintar berebut komentar merasa diri paling benar tanpa mau ikut turun ke lapangan. Mendingan energi pemikiran jeniusnya digunakan untuk mencari cara mencegah musibah semacam itu terulang kembali. Minimal dengan cara mendisiplinkan diri saat menggunakan jasa penerbangan.
Budaya ndableg sebagian masyarakat kita memang sudah keterlaluan. Sebagai orang yang secara rutin menggunakan sarana transportasi udara, aku bisa mengerti susahnya teman-teman kita bertindak safety first. Yang paling sepele mungkin soal hape. Masih banyak yang begitu diperbudak hape sampai-sampai saat menjelang take off belum juga mematikannya. Sepertinya sms atau update status lebih penting daripada nyawanya sendiri beserta seluruh penumpang lainnya. Pernah aku coba ingatkan tetangga sebelah soal itu malah berbuah ucapan ketus yang lumayan tidak mengenakan hati. Kalo sudah begitu, yang bisa dilakukan paling banter berdoa dalam hati saja.
Dan soal berdoa ini ada yang perlu aku ingatkan...
Jangan pernah sekali-kali berdoa di atas pesawat
Karena itu sangat membahayakan diri sendiri maupun orang lain
Kalo mau berdoa, cukup didalam pesawat saja...
Terima kasih
Semoga bisa dimengerti...
Demam Sukhoi masih saja melingkupi sebagian dari kita. Tak hanya media massa, media pribadi seperti blog, forum ataupun jejaring sosial tak mau ketinggalan mengangkat tema tersebut. Melihat begitu banyaknya orang bicara tentang kecelakaan pesawat yang menabrak salak segede gunung itu, aku sebenarnya kurang tertarik untuk mengangkatnya sebagai tema. Namun saat baca sebuah trit di kaskus yang mencaci maki tim SAR Indonesia yang dikatakan menjijikan, goblok, bobrok, dll dll. Mau ga mau aku jadi ketularan SBY dan berucap prihatin tiada habisnya.
Aku yang sempat bertahun-tahun bergabung jadi relawan SAR jadi gondok juga ketika korps itu dikatakan selalu lambat dalam menolong korban tak seperti tim SAR luar negeri. Mungkin itu memang sebuah kenyataan. Namun aku tak rela bila orang-orang yang bergabung disana dibilang goblok dan ga mau peduli. Agaknya penulisnya ga mengerti bahwa sebagian besar petugas lapangan adalah relawan yang tidak digaji. Mereka ikhlas bergabung hanya karena soal hati. Mengikuti pelatihan berat dan memahami segala resiko di lapangan yang bisa berakibat fatal. Sakit rasanya segala perjuangan itu seperti tak dihargai. Apalagi bila ingat kejadian tanggal 23 Nopember 1993, dimana 3 anak buahku yang meregang nyawa di depan mata saat latihan SAR di ujung Nusakambangan sana tanpa aku bisa berbuat apa-apa.
Mungkin si penulis itu menganggap tugas SAR itu sama dengan kalo dia mau ngeluyur ke mol bareng temen-temannya. Tidak perlu ada perencanaan, koordinasi antar relawan dan badan-badan resmi yang terkait. Hutan lebat, kabut tebal, hujan dan kondisi medan lain yang tidak bersahabat perlu perjuangan keras untuk bisa menembusnya. Tebing atau jurang yang hampir tegak tak mungkin bisa ditempuh sambil lenggang kangkung. Belum lagi dukungan logistik peralatan yang serba seadanya dan seringkali merupakan properti pribadi juga ikut menjadi penghambat operasional lapangan.
Kisah-kisah masa lalu berkelebat silih berganti dalam benakku. Terbayang bagaimana susahnya melakukan orientasi medan peta kompas saat menembus kabut pancaroba ketika mencari pendaki Unsoed yang hilang tahun 1992. Kepala sempat bocor gara-gara terpeleset saat evakuasi menuruni tebing jurang licin berkemiringan hampir 90 derajat di gunung Lawu. Pernah juga hampir menjadi barbeque saat evakuasi pendaki dari STM Telkom yang terjebak kebakaran hutan di Gunung Slamet.
Tak perlu terlalu terprovokasi oleh film-film Hollywood yang bertema penyelamatan. Bagaimanapun juga film akan menceritakan tentang sang jagoan yang selalu bisa mengatasi segala hambatan. Kondisi di lapangan tidaklah seindah itu. Kelelahan, kebingungan bahkan keputusasaan di tengah tugas selalu ada dan menjadi penghambat utama.
Terserah orang mau bilang apa tentang relawan penyelamat kita. Yang jelas, saat sudah berada di lapangan, mereka selalu berusaha semaksimal mungkin dengan segala sumber daya yang ada. Keselamatan pribadi juga seringkali diabaikan demi sebuah target untuk secepatnya menemukan dan menyelamatkan korban.
Beralih ke soal kecelakaan Sukhoi...
Aku cuma bisa turut berbelasungkawa dan tak bisa berbuat lebih seperti dulu lagi. Aku tak mau mempermasalahkan apakah itu dari faktor alam, alat atau manusia. Yang pasti tidak ada satu orang pun yang menginginkan musibah terjadi. Tak perlulah kita sok pintar berebut komentar merasa diri paling benar tanpa mau ikut turun ke lapangan. Mendingan energi pemikiran jeniusnya digunakan untuk mencari cara mencegah musibah semacam itu terulang kembali. Minimal dengan cara mendisiplinkan diri saat menggunakan jasa penerbangan.
Budaya ndableg sebagian masyarakat kita memang sudah keterlaluan. Sebagai orang yang secara rutin menggunakan sarana transportasi udara, aku bisa mengerti susahnya teman-teman kita bertindak safety first. Yang paling sepele mungkin soal hape. Masih banyak yang begitu diperbudak hape sampai-sampai saat menjelang take off belum juga mematikannya. Sepertinya sms atau update status lebih penting daripada nyawanya sendiri beserta seluruh penumpang lainnya. Pernah aku coba ingatkan tetangga sebelah soal itu malah berbuah ucapan ketus yang lumayan tidak mengenakan hati. Kalo sudah begitu, yang bisa dilakukan paling banter berdoa dalam hati saja.
Dan soal berdoa ini ada yang perlu aku ingatkan...
Jangan pernah sekali-kali berdoa di atas pesawat
Karena itu sangat membahayakan diri sendiri maupun orang lain
Kalo mau berdoa, cukup didalam pesawat saja...
Terima kasih
Semoga bisa dimengerti...
Ikutan berdoa kalo di dalam pesawat, bukan di atas pesawat. Apalagi di atas sayap pesawat. Turut berduka cita atas musibah yang menimpa pesawat Sukhoi... umur manusia tidak ada yang tahu memang...
BalasHapusYeah, bukan tim SAR Indo yg ga terlatih, tetapi perlengkapan tim SAR yg tidak memadai dan juga ketidakmampuan radar untuk melacak sang pesawat
BalasHapusOwwww...owww...owwww
BalasHapuscurahan hati mantan anak Sar yah Om, hihi...
saya juga dulunya regu penyelamat tapi mentok di PMR sekolah,
dan emang gak enak banget kl kerja keras kita disepelehkan orang lain, grrr...
turut berduka juga untuk bencana shukoi ini :'(
ya ya ... berdoa di atas pesawat emang ga boleh, takut jatuh ya om :)
BalasHapusturut berbela sungkawa dengan kejadian ini
iya yah sob, orang berkomentar asal aja, meraka gak tau seperti apa kerasnya medan dalam penyelamatan, padahal kl yg komentar itu ikutan turun blm tentu jg dia bisa lebih baik, atau mungkin dia yg kudu di selamatkan, lantaran drop duluan, hihihihiy, btw sarannya soal berdo'a efektif banget tuh, pasti diikutin deh :P
BalasHapusMengerti Mas....turut mendoakan saja
BalasHapusKetoke fotone kerep metu :P
BalasHapusPukpuk ya om, bete ya ngebaca komen orang yang nyinyir tapi gak ada aksi @_@
Pukpuk...
Kandang...
Sangat bisa dimenegrti jika MAs RAwin kesal dgn komentar di kakskus atau siapaun yg tdk menghargai kerja TIM SAR. Lha mendaki gunung atau berada di alam bebas dengan membawa diri sendiri saja sudah sedemikain susahnya menghadapi kondisi alam. Apalgi berada pd posisi TIM SAR yg pstinya dihadapkan pada medan yg sulit dan berbahaya untuk melakukan pertolongan pada orang lain tanpa lagi memperdulikan keselamatan diri sendiri. Nah apalgi mereka bekerjan suka rela, luar biasa banget kan sikap dan pilihan mereka.
BalasHapusSaya juga suka sebel kalau di pesawat masih saja sibuk dengan gadgetnya online, jk ada hal yg penting utk disampaikan kan bisa di luar detik-detik penerbangan. Toh orang yg mau dihubungi jg mklum kalau lg dalam penerbangan.
Btw, saya janji tidak akan berdoa di atas pesawat kok. Beneran!
kita kadang cuma bisa mengkritisi...
BalasHapustp kalo yg mengkritisi ga tau atau bukan ahlinya...
yah luweh aja...
:P
masak sih anggota basarnas ga digaji mas...??
kadang orang luar memang suka asal ngoong mas, tidak tahu dan tidak mengerti bo ya diem saja ya. saya kurang suka tentang pesawat yang menabrak salak gede itu, karena suay pikir itu kurang berempati atas kesusahan orang lain, gimana coba akalu message itu tanpa sengaja terkirim ke keluarga korban. ooops curcol
BalasHapussiapa yang bilang tuh? mana tritnya? hajar ajaaaa!!!
BalasHapusmedannya sulit, musti menembus hutan yg blm/jarang dijamah manusia
BalasHapusjuga ga ada kendaraan darat yg bisa langsung tembus
ambil aja hikmah mas,yaitu sebagai bahan pembenahaan tim sar & jangan terlalu diambil pusing toh apa pun yg mereka katakan belum tentukan bisa mereka kerjakan semudah mereka berbicara
BalasHapusSiapa juga mau berdoa diatas pesawat :P
BalasHapusDari awal sampai menjelang akhir tulisannya menyentuh. Tapi ending-nya, kok, ndagel? Ckckck..
BalasHapusKayak penonton bola. Kalo 'penonton' itu emang jagonya nggoblok2in 'pemain'. Padahal kalo dia 'main' juga belum tentu bisa. Dan belum tentu juga si 'penonton' mau capek2 nguber2 bola. *analoginya kok rada nggak nyambung yah?*
kalau ada kejadian selalu ada yg di salahkan dan menyalahkan, padahal musibah adalah bsa menimpa siapa saja... nah kalau sya kjedot tembok siapa yg di salahkan ya? hahaa gak perlu di jawab soalnya yg rugi cuma sya sendiri.... cukup mendoakan semoga para korban di berikan ketenangan di sisinya.
BalasHapusjiah.. njenenge..menungso...om...isone..nyacat.. ora gelem paham.. karo wong liyo...
BalasHapusnambah om..komene.. saiki komen poto..mesti..kui... nang studio poto ya ..om.. potone..wkkk.wkk.wkk... kabuuuuuuuuuuuuuuuur......
BalasHapusbanyak yang suka ngoeh sembarangan sih.. nggak pernah ngerasain jadi nggak pada punya empati. heran, namanya musibah koq malah jadi komoditas
BalasHapusSaya setuju dengan tulisan ini. Kadang-kadang mereka cuma bisa komentar tanpa aksi. Jangankan aksi, mikir aja enggak. Kalo seenggaknya mereka pake mikir, nggak mungkin ada caci maki nggak perlu kayak begitu.
BalasHapusPengen juga kadang2 neriakin orang2 kayak begitu: "Udah pernah jadi anggota SAR belom? Kalau belom, tutup tuh mulut!" =)
Salam kenal ya!
Pasti yang udah ngatain tim SAR GOBLOK itu ngak pernah naik ke puncak salak. Saya yakin!!! Gunung salak itu biarpun pendek drpd gunung2 yg lain tp, itu bukan gunung rekreasi para pendaki melainkan itu gunung pendidikan utk DIKSAR caang baru para pencinta alam. Saya ngomong gt krna saya pernah kesana beberapakali. Bahkan tim SAR yg di turunkan dr Rusia pun di beritakan di TV hnya sanggup setengah jln kemudian turun lagi. krna memang tracknya berat apalagi pake acara bawa2 mayat :(
BalasHapussatusatunya kesalahan TIM ialah mereka ngak menggunakan "jasa" kuncen setempat untuk evakuasi. Krna kl mereka yg nyari mau hujan, mau kabut juga tetep di cari. Soalnya saya ber7 dulu pernah di sasarin setan tapi ktemu sih stlh 7jam berkat kuncen sana. seremmm deh kl inget kejadian itu. Tp, gak kapok :D
assalamualaikum..
BalasHapussaya pernah ikutan dalam kelompok pecinta alam dulu, sempat berniat ikut SAR tapi apadaya kemampuan tak mendukung. Begitu berat menjadi orang lapangan dengan segala rintangan yang sulit diduga. Salut untuk para relawan yang giat dan bekerja keras melakukan evakuasi korban sukhoi. Hanya Tuhan yang akan membalas kebaikannya.
turut berduka untuk keluarga korban.
wassalam
Karena mereka cuma nongkrong di depan tivi sambil berimajinasi sendiri seperti anak kecil yang nonton doraemon. gak tahu tentang alam, gak tahu betapa sulitnya melakkukan penyelamatan.... Ikut emosi dengerinnya....
BalasHapusTrims om udah ngepost topik kaya ginian, biar mereka tahu gimana sebenarnya rasanya.
salam : SAR Kab Batang
Saya ingin sekali ikut berjuang bersama teman2 SAR, Bagaimana cara menjadi relawan SAR..?
BalasHapusMohon bantuanya..
bener om, sebel banget sama orang2 ngedableg yang ngelanggar aturan yang ngebahayain orang banyak. misalnya main hp pas mau take off (jelas2 dilarang), atau main hp di pom bensin, kalo mereka nekat ngelanggar, ya nikmatin akibatnya sendiri aja dong, jangan ngajak orang lain -_____-
BalasHapusohiya, masalah dikatain "goblok" itu, sabar aja ya om! emang sering ada orang2 sok tau yang asal ngomong padahal gak pernah ngerasain jadi tim SAR itu gampang atau sulit :)
BalasHapussaya mengerti dengan sangat mas
BalasHapussaya selalu salut sama semua relawan itu
karena tidak semua orang mau repot2 seperti mereka masuk hutan dan segala macam
entah orang-orang yg cuma bergumam doa melihat perjuangan mereka seperti saya
atau orang2 yg cuma bisa ngatain goblok
wow.. si Om ternyata dulunya anggota SAR yah, pantesan betah banget di hutan sampe sekarang :P
BalasHapusMas, aku tau kok gimana susahnya jadi tim SAR. Eh, bukannya tau sih, cuma bisa membayangkan. Waktu teman-teman kantor juga pada mengeluhkan lambatnya pertolongan, aku cuma balik tanya ke mereka, "Lu tau nggak gimana medannya di sana? Tau nggak seberapa tebel kabutnya?"
BalasHapusCuma bisa berdoa semoga orang-orang makin peduli terhadap safety flight. Aku juga pernah negur orang yang malah telpon-telponan pas pesawat mau landing. Tapi dia nggak bales komen sih. Apa karena yang negor mukanya super duper jutek kali ya? Hihihihi..
saya aja cuma mendaki gunung dah ngos-ngosan dan capeknya. Ini mendaki Gunung sambil melakukan evakuasi. Gag kbyang deh gimana capeknya..
BalasHapussmga tim SAR yang bertugas sllu dilindungi dan diberi keselamatan..
Aku juga sempat membaca trit itu mas, aku pikir mereka tidak tahu apa-apa bisanya cuma "talk only". Padahal saya salut dan angkat jempol dua untuk tim SAR Indonesia. Cuma bandingkan dengan SAR nya Rusia yang minta di jemput saat turun, disangka ojek apa ??
BalasHapusSalam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan
HIDUP SAR INDONESIA...
BalasHapussalut untuk kalian..
serrr cerrr...
BalasHapusTerus Semangat !
BalasHapus