10 September 2013

Tanah Adat

#Bimbingan Orang Tua

Aktifitas tambang kembali terhenti oleh demo masyarakat yang menutup jalan tambang. Kelompok bersenjata yang menamakan dirinya laskar adat memprotes kegiatan tambang telah merusak tanah adat.

Seratus persen aku setuju dengan mereka. Bagaimanapun juga industri tak boleh mengusik budaya warisan leluhur. Situs keramat musti dilestarikan karena pasti ada sejarah panjang yang menyangkut kehidupan masyarakat setempat. Modernisasi apalagi yang berbau kapitalis tak semestinya menggusur kearifan lokal dengan semena-mena.

Andai saja mereka melakukan itu sebelum situs itu dibongkar habis atau menuntut lahan yang termasuk tanah adat jangan digali, kesetujuanku bisa lebih dari 100%. Sayang tuntutannya tidak ke arah sana, tapi minta ganti rugi sebesar 3 M.

Kalo saja kejadiannya baru kali ini, kesetujuanku tak bakal turun sedrastis ini. Kasus semacam ini berulang kali terjadi. Setelah beberapa bulan tanah itu digali, demo baru dilakukan. Padahal sebelum sampai ke tahap itu, ada proses yang teramat rumit melibatkan banyak pihak. 

Bila lahan yang dibebaskan memang ada situs adat, semestinya pemilik lahan atau kepala desa sudah menyampaikan hal itu dari awal. Tak ada pemberitahuan sama sekali, setelah semuanya diacak-acak, baru demo mengatasnamakan adat dengan tuntutan yang selalu berbau duit.

Apakah mereka yang salah..?
Tidak sepenuhnya. Bagaimanapun juga mereka masyarakat tradisional yang sejak dulu hidup bergantung kepada alam. Harmoni alam adalah segalanya bagi mereka. Agar industrialisasi bisa diterima, mereka diracuni dulu dengan budaya konsumerisme. Sehingga mereka mulai belajar mengabaikan keseimbangan alam.

Sayangnya pembelajaran konsumerisme itu tidak diimbangi dengan pelatihan atau peningkatan skill agar mereka mampu menyeimbangkan pengeluaran dan pemasukan. 

Damai saja mereka beli mobil mewah sekelas Fortuner atau Pajero Sport tanpa menghitung beban operasionalnya nanti. Setelah keuangan mepet, segala cara mereka lakukan untuk mendapatkan uang gampang. Termasuk memperjualbelikan adat.

Mungkin ini yang menjadi sebab kenapa industri di pedalaman rawan konflik. Dimana penguasa, pengusaha dan masyarakat rakus berebutan kue dengan kekuatan masing-masing...

Sampai kapan..?


Intinya
Kearifan lokal dijadikan kedok mungkin bisa dianggap sebagai cara masyarakat tradisional melawan seleksi alam efek industrialisasi. Namun arifkah itu..?

43 comments:

  1. harmoni alam memang harus terus dijaga kang...

    saya bukan tidak setuju dengan adanya penambangan, tapi realitanya kegiatan penambangan justru akan menyebabkan orang saling berebut, apalagi yang namanya tarik tambang, pasti saling rebutan...

    BalasHapus
    Balasan
    1. dimana mana kalo sudah menyangkut uang banyak, pastilah begini akhirnya. tak peduli latar belakang pendidikan agama atau ekonomi tetap saja berubah jadi preman rakus...

      Hapus
  2. entahlah pak ... bingung saya takut salah komen :D

    BalasHapus
  3. sampaikapan pun boleh, biar bisa jadi bahan tulisan...

    BalasHapus
    Balasan
    1. emang siapa yang ngelarang, om..?
      yang penting tanggung jawab

      Hapus
  4. Seharusnya mengambil kebijakan yang dimusyawarahkan bersama :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalo sudah urusan duit, orang jadi lupa apa itu musyawarah, pak

      Hapus
  5. Apa pemikiran mereka sudah dimasuki oleh gelimang harta atau ada yang menggerakkan untuk kepentingan pribadi

    BalasHapus
  6. Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata ... hahahaa

    BalasHapus
  7. kasus seperti itu bisa dimanipulasi dan diterapkan di mana saja Pak, masyarakat adat berusaha "mempedaya" perusahaan dengan aling-aling kelestarian lingkungan atau tanah adat. seperti masyarakat asli sini yang tinggal di area water intake system dan pembuangan sisa industri--limbah yang sudah diolah dan dinormalisasi--kalau mereka lagi kepepet, mereka sengaja meracuni ikan-ikan di keramba mereka sendiri kemudian mengadu ke walhi atau pemerintah, katanya limbah pabrik sudah mencemari lingkungan dan bla bla bla bla...kemudian minta ganti rugi sekian rupiah. padahal limbah jelas-jelas diolah oleh petugas2 yang memang ahli dibidangnya, setiap jam air di tes dilaborat, kalau layak, baru bisa di buang, bahkan perusahaan sudah mengantongi sertifikat ISO di kelestarian lingkungan...entahlah, tapi isu seperti ini santer tiap tahun ada, seperti pas kebakaran hutan kemarin, juga dimanfaatkan beberapa pihak untuk "nagih upeti ke perusahaan"...katanya...katanya lho Pak...

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul bu
      suka kasihan sama temen di csr. ada demo protes debu, tuntutannya duit debu. mobil penyiraman diperbanyak sampe debunya ilang, ganti demo minta uang becek.

      pantesan esbeye cuma bisa prihatin.
      wong ngurus manusia memang susah yo...

      Hapus
  8. kemudian ada komentar "saya turut prihatin" gitu ya Pak...hehehe

    BalasHapus
  9. apapun agamanya tetep tuhannya uang..

    BalasHapus
  10. tanah adat memang kata sayah mah harus dipertahankan dan di jaga jangan sampai di rusak... betul tidak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. tapi kalo dibiarkan rusak agar bisa diduitin, gimana mang..?

      Hapus
  11. duh adat sampe diperjualbelikan?

    minta like atau komentarnya yak arena setiap like atau komentar memberikan kesempatan mendapatkan satu buah motor TVS Apache http://www.facebook.com/photo.php?fbid=10201060145480644&set=o.50254030763&type=1&ref=nf

    BalasHapus
  12. kirain....
    ternyata doyan duit juga ya....3M gitu loh

    BalasHapus
  13. Yang salah adalah mereka yg telah meracuni orang2 yg masih luguh itu dengan komsumerisme dan konspirasi kemakmuran. Hehe.. koq gaya ngomongya malah kayak Vicky (mantan tunangan Saskia Gotik). :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalo aku lihat semua salah. sayangnya tak ada yang mau mengalah jadi orang bener, khususnya penguasa...

      Hapus
    2. Orang yang di lapangan biasanya lebih tahu dari orang yang hanya sekedar di belakang meja. Memangnya wait !

      Hapus
    3. itu salahnya mereka pak, senengnya di belakang meja dan ga kreatip
      mbok sekali kali pindah ke atas atau kolong meja...

      Hapus
  14. baca aja kang, takut mau komet apa

    BalasHapus
    Balasan
    1. hari gini kok takut berpendapat..?
      piye bu guru ini..

      Hapus
  15. kalau masalah kuwe, apalagi lezaat jelas banyak piring yang ingin menampungnya, bahkan memonopoli pembagian kue tersebut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. mustinya dibagi bagi secara proporsional dengan tidak mengabaikan kearifan lokal. tapi mbuhlah, cuma nonton doang kok...

      Hapus
    2. tenang, pak
      kan ada zakat buat fakir miskin, haha

      Hapus
  16. dan repotnya kita seringkali berada diposisi yang tak mampu berbuat apa apa selain jadi penonton...

    BalasHapus
  17. Demi perut dan kantong, manusia kadang tidak menghormati alam..

    BalasHapus
  18. Penyakit manusia kang, dan selalu bisa mencari alasan. Seharusnya sih tidak seperti ini bila saja setiap tokoh setempat dapat bekerjasama dengan beberapa pihak perusahaan yang terdapat di lokasi tersebut untuk membuat program yang baik. Dan hal ini harus bisa sejalan. Tentunya harus tetap di monitoring dan mendapatkan pengarahan, hal ini hanya sebagai upaya penjembatani aar tercipta suasana harmonis dan tidak selalu saling mengakal-akali. Memang sih dampaknya tidak cepat, karena faktor sdm juga menentukan. Yang sulit di sini dibutuhkan seorang yang mampu menciptakan rasa seperti itu dan bermental baja yang memiliki keakhlian dalam hal ilimu komunikasi massa, sesuai pengalaman di lapangan.

    Sudah ah, jangan panjang-panjang, nanti ada yang marah.......

    Salam wisata

    BalasHapus
  19. weleh parah juga ternyata..
    tapi, begitulah jadinya kalo orang udah kenal uang,,,:(

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena