02 November 2008

Bodoh banget sih, mas...

"Bodoh banget sih, mas.."

Itu komentar pertama dari teman sekantor ketika aku cerita tentang keputusanku terhadap opsi dari kantor Jakarta atas permohonanku untuk menetap di Jokja.

Awalnya aku hanya ditugaskan di Jokja sampai akhir Desember saja dengan target Galeri dan ArtShop baru ini beserta segala sistemnya harus sudah berjalan lancar. Dan Januari mendatang aku sudah harus siap-siap mengungsi ke Bali untuk membuka hutan lagi. Tapi entah kenapa hawa Jokja membuatku enggan untuk beringsut lagi.

Sebulan lebih aku mengajukan permohonan untuk tetap di Jokja dengan segala kesulitannya, baru sore tadi mendapat jawaban berupa pilihan yang cukup membuat aku terdiam agak lama. "Kembali ke Jakarta atau tetap di Jokja dengan status karyawan lokal."

Dan ketika aku putuskan untuk memilih opsi kedua dengan konsekuensi gajiku bulan depan hanya tinggal separo saja, langsung aku mendapat stempel "bodoh" di jidatku.

Ada beberapa pertimbangan yang membuat aku mengambil keputusan. Tugas di Jokja dengan gaji Jakarta bisa menimbulkan kecemburuan sosial di antara rekan-rekan kerja, baik yang di Jakarta maupun di Jokja. Mungkin aku bisa saja cuek dengan mereka, tapi apakah aku bisa nyaman hanya demia uang aku harus hidup dalam perang dingin yang tak teraba?

Andai aku balik ke Jakarta, gajiku akan kembali pas-pasan dan teramat berat untuk bisa sekedar menyimpan cadangan hari tua. Dan walau tinggal separo, biaya hidup di Jokja masih memungkinkan untuk aku menabung walau sedikit.

Aku tak mengerti mengapa aku dianggap bodoh. Padahal yang mengerti tentang aku dan kehidupanku bukanlah mereka. Bukannya aku terlalu sombong dan tak butuh yang namanya uang. Tapi aku berusaha instropeksi diri, bila ternyata dengan ngleseh di ujung Malioboro pun aku bisa damai walau tak bawa uang sepeserpun. Lalu untuk apa pendapatan besar bila gemerlapnya Jakarta hanya menambah kekisruhan hatiku saja.

Mungkin benar bila ucapan adalah doa. Dan doa orang teraniaya cepat didengar oleh Yang Kuasa. Sepertinya aku belum lama menulis keinginan untuk belajar miskin. Dan bila itu dikabulkan, berarti keinginanku untuk mendapatkan kedamaian hati pun sudah seharusnya bisa aku rasakan.

Semoga kutemukan apa yang aku cari di Jokjaku ini...
Amiiin...

3 comments:

  1. aku menghargai keputusanmu bos !!
    aku pun mungkin akan melakukan hal yang sama kalau jadi njenengan.

    BalasHapus
  2. Jogja memang berhati nyaman juragan. Sugeng Rawuh wonten Jogja

    BalasHapus
  3. Betul banget mas mas...
    Tengkiu yah...

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena