Entah kenapa kalo kondisi pekerjaan mendekati deadline dan konflik serta tingkatan emosi mulai meninggi, teganganku malah justru menurun. Dan kalo sudah sampai ke level diam, segala yang tersimpan di alam bawah sadar seringkali berlompatan keluar. Dan ketika semuanya terasa tak tertahankan, yang terbayang di mataku adalah trotoar depan Monumen Serangan Umum di ujung Malioboro.
Kadangkala aku tak peduli dengan waktu yang mendekati dinihari. Ketika rasa itu ada, langsung aku angkat kaki dengan satu tujuan ke titik nol kota Jokjakarta.
Hmmm...
Baru kepikiran nih, tentang titik nol. Apakah ada hubungannya antara kedamaian yang aku temukan disana di saat gundah menyergap dengan titik nol itu. Yang pasti emosi yang memuncak pun bisa ku tekan sampai mendekati titik nol hanya dengan duduk merenung di bangku panjang atau ngleseh di trotoar. Apa benar ada aura yang menyebar kedamaian di sana..?
Yang pasti ada kerinduan yang terpendam bisa terhanyut di sana. Citra dari kesunyian jiwa di tengah keramaian pusat kota, di ujung Malioboro.
Kesunyian di tengah keramaian..?
Ah.. kenapa malah jadi puitis begini? Entahlah. Yang jelas aku bisa meredam keresahan ke tingkat terendah di sana. Dan ini sama sekali tak berhubungan dengan Towards Zero atau Menuju Titik Nolnya Agatha Christie. Karena ini bukan cerita soal pembunuhan seorang wanita karena dendam. Tapi tentang membunuh dendam yang entah ada hubungannya dengan wanita atau tidak.
Aku tak tahu...
Sungguh aku tidak tahu...
0 comments:
Posting Komentar
Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih