MARHABAN YA RAMADHAN..
SMS dan offline messages di YM berisi permohonan maaf dan kalimat menyambut ramadhan menjadi menu sehari-hari akhir-akhir ini. Dari yang sederhana sampai yang kreatif sampai yang kere aktif, dalam artian cuma bisa memforward pesan orang lain juga ada. Tak heran bila dalam sehari bisa menerima sampai belasan SMS yang sama dari pengirim berbeda.
Bermaafan sebelum Ramadhan sebenarnya sudah ada sejak saya kecil. Tapi maraknya SMS semacam itu bagi saya malah semacam fenomena di jaman sekarang. Bukan saya menganggap itu sebagai hal yang ganjil atau mengatakan bahwa minta maaf adalah seseuatu yang tidak baik. Saya cuma ingin melihatnya dari sisi yang lain.
Benarkah semua itu merupakan permohonan yang tulus ikhlas dari hati sanubari untuk membersihkan hati sebelum bulan suci. Ataukah hanya semacam tren sesaat karena orang lain pun melakukannya. Atau bahkan lebih parah dari itu, yaitu sebagai ajang riya agar kita disebut seorang yang agamis?
Saya melihat kenyataan di sekeliling. Awal puasa orang menyambutnya dengan gegap gempita. Tapi lihatlah ketika dua atau tiga minggu berlalu. Peserta shalat taraweh makin maju, dalam arti barisannya makin lama makin ke depan. Warung-warung makan tertutup rapat tapi orang keluar masuk semakin banyak.
Pada waktu masih tugas di Telkom Divre III saya sempat beberapa kali pindah tugas dan selalu menemukan hal menarik di setiap daerah. Waktu masih di STO Bandung centrum, Masjid AGung Bandung tampak penuh orang tiduran di siang hari. Tapi di alun-alun depan masjid yang ngabuburit sambil berpelukan juga banyak. Pindah ke Kandatel Tasikmalaya, kolam-kolam pemancingan ikan menjadi ramai di jam kerja. Dan bau ikan bakar menyengat ujung hidung. Pindah lagi ke Kancatel Banjar, warung sate paling terkenal di daerah itu mengatakan hari-hari biasa, paling mereka menyembelih kambing 3 atau 4 ekor. Tapi kalau bulan puasa, siang hari saja bisa menghabiskan 6 ekor. Paling parah ketika saya pindah lagi ke Kancatel Pangandaran, Lebaran kurang sehari saya suka ditanya "Kok masih puasa, mas..?"
Apalagi bila ingat sekitar tahun 1990 - 1995 dimana setiap lebaran saya selalu diterjunkan di posko simpatik Polres Banyumas di perempatan Buntu. Orang-orang begitu gigih berjuang untuk bisa beridul fitri di kampung halaman. Setiap tahun angka kecelakaan yang begitu tinggi tak menyurutkan niat mereka mengakhiri ibadah puasa bersama sanak saudara. Tapi mereka begitu cuek makan dan minum di sepanjang jalan. Sepadankah keinginan mereka kembali fitri di hari lebaran bila untuk menuju kefitrahnya saja mereka sudah tak mau..?
Itulah sebabnya kenapa saya jadi malas membalas setiap SMS yang masuk akhir-akhir ini. Biarlah saya tak dianggap agamis. Toh ibadah itu bukan urusan manusia untuk menilainya. Biarlah saya tak mengikuti tren atau pamer kereligiusan saya, karena kenyataannya ibadah saya ancur-ancuran.
Biarlah saya sendiri berujar dalam hati, Marhaban Ya Ramadhan. Nawaetu shaumaghadzin.... Dan bila besok ada yang bertanya, " Kamu puasa ga, Ko...?"
Paling akan saya jawab, "Sekarang ya puasa dong. Kalo bulan depan lah, Syawal..."
Read More
SMS dan offline messages di YM berisi permohonan maaf dan kalimat menyambut ramadhan menjadi menu sehari-hari akhir-akhir ini. Dari yang sederhana sampai yang kreatif sampai yang kere aktif, dalam artian cuma bisa memforward pesan orang lain juga ada. Tak heran bila dalam sehari bisa menerima sampai belasan SMS yang sama dari pengirim berbeda.
Bermaafan sebelum Ramadhan sebenarnya sudah ada sejak saya kecil. Tapi maraknya SMS semacam itu bagi saya malah semacam fenomena di jaman sekarang. Bukan saya menganggap itu sebagai hal yang ganjil atau mengatakan bahwa minta maaf adalah seseuatu yang tidak baik. Saya cuma ingin melihatnya dari sisi yang lain.
Benarkah semua itu merupakan permohonan yang tulus ikhlas dari hati sanubari untuk membersihkan hati sebelum bulan suci. Ataukah hanya semacam tren sesaat karena orang lain pun melakukannya. Atau bahkan lebih parah dari itu, yaitu sebagai ajang riya agar kita disebut seorang yang agamis?
Saya melihat kenyataan di sekeliling. Awal puasa orang menyambutnya dengan gegap gempita. Tapi lihatlah ketika dua atau tiga minggu berlalu. Peserta shalat taraweh makin maju, dalam arti barisannya makin lama makin ke depan. Warung-warung makan tertutup rapat tapi orang keluar masuk semakin banyak.
Pada waktu masih tugas di Telkom Divre III saya sempat beberapa kali pindah tugas dan selalu menemukan hal menarik di setiap daerah. Waktu masih di STO Bandung centrum, Masjid AGung Bandung tampak penuh orang tiduran di siang hari. Tapi di alun-alun depan masjid yang ngabuburit sambil berpelukan juga banyak. Pindah ke Kandatel Tasikmalaya, kolam-kolam pemancingan ikan menjadi ramai di jam kerja. Dan bau ikan bakar menyengat ujung hidung. Pindah lagi ke Kancatel Banjar, warung sate paling terkenal di daerah itu mengatakan hari-hari biasa, paling mereka menyembelih kambing 3 atau 4 ekor. Tapi kalau bulan puasa, siang hari saja bisa menghabiskan 6 ekor. Paling parah ketika saya pindah lagi ke Kancatel Pangandaran, Lebaran kurang sehari saya suka ditanya "Kok masih puasa, mas..?"
Apalagi bila ingat sekitar tahun 1990 - 1995 dimana setiap lebaran saya selalu diterjunkan di posko simpatik Polres Banyumas di perempatan Buntu. Orang-orang begitu gigih berjuang untuk bisa beridul fitri di kampung halaman. Setiap tahun angka kecelakaan yang begitu tinggi tak menyurutkan niat mereka mengakhiri ibadah puasa bersama sanak saudara. Tapi mereka begitu cuek makan dan minum di sepanjang jalan. Sepadankah keinginan mereka kembali fitri di hari lebaran bila untuk menuju kefitrahnya saja mereka sudah tak mau..?
Itulah sebabnya kenapa saya jadi malas membalas setiap SMS yang masuk akhir-akhir ini. Biarlah saya tak dianggap agamis. Toh ibadah itu bukan urusan manusia untuk menilainya. Biarlah saya tak mengikuti tren atau pamer kereligiusan saya, karena kenyataannya ibadah saya ancur-ancuran.
Biarlah saya sendiri berujar dalam hati, Marhaban Ya Ramadhan. Nawaetu shaumaghadzin.... Dan bila besok ada yang bertanya, " Kamu puasa ga, Ko...?"
Paling akan saya jawab, "Sekarang ya puasa dong. Kalo bulan depan lah, Syawal..."