Enam bulan yang aku aku menapakkan kaki di Jakarta dalam sebuah pelarian dan pencarian sebuah harapan hidup. Datang dengan kaos kumel, celana kucel, ransel butut bersandal jepit tanpa arah tujuan.
Setelah menjalani banyak cerita tentang kejamnya ibu kota yang ternyata tak sekejam ibu kandung seorang anak kecil yang telah kehilangan teman sejatinya, hari ini aku sudah tinggalkan metropolitan menuju kedamaian baru. Kemarin sore aku pergi dari Jakarta masih seperti ketika aku datang dulu. Celana lusuh bersandal jepit dan tas punggung berisi harta bendaku yang tak banyak itu.
Walau tak banyak, tetap saja ada satu dua perbedaan yang mendalam walau sekedar dalam hatiku saja. Aku datang dalam kesunyian tanpa harapan, pergi dengan segunung cita-cita akan masa depan. Aku datang tanpa ada hamparan karpet merah, namun aku bisa pergi dilepas dengan doa seseorang berbaju merah yang mungkin menyimpan berjuta harap dengan kepergianku.
Iya, Ibuku...
Kepergianku bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari sebuah perjalanan yang diharapkan lebih dari segalanya. Walau tiada janji yang terucap di monumen megah simbol Jakarta tapi tetap akan ada sebuah kerinduan untuk bisa kembali dalam suasana yang berbeda.
Kemarau panjang selama beberapa bulan diakhiri dengan hujan lebat ketika keretaku mulai bergerak meninggalkan stasiun Gambir semoga bukan berarti Jakarta berduka dengan kepergianku. Tapi bila benar Jakarta menyesalkan semuanya, kuharap hanya kota ini yang merasakan itu. Semoga sepotong hati yang tertinggal di sana tidak menyisakan air mata. Biarlah hujan di luar sana, tapi dalam hati hanya ada wangi tanah basah yang seringkali aku rindukan.
Semoga...
Selamat Tinggal Ibukota...
Setelah menjalani banyak cerita tentang kejamnya ibu kota yang ternyata tak sekejam ibu kandung seorang anak kecil yang telah kehilangan teman sejatinya, hari ini aku sudah tinggalkan metropolitan menuju kedamaian baru. Kemarin sore aku pergi dari Jakarta masih seperti ketika aku datang dulu. Celana lusuh bersandal jepit dan tas punggung berisi harta bendaku yang tak banyak itu.
Walau tak banyak, tetap saja ada satu dua perbedaan yang mendalam walau sekedar dalam hatiku saja. Aku datang dalam kesunyian tanpa harapan, pergi dengan segunung cita-cita akan masa depan. Aku datang tanpa ada hamparan karpet merah, namun aku bisa pergi dilepas dengan doa seseorang berbaju merah yang mungkin menyimpan berjuta harap dengan kepergianku.
Iya, Ibuku...
Kepergianku bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari sebuah perjalanan yang diharapkan lebih dari segalanya. Walau tiada janji yang terucap di monumen megah simbol Jakarta tapi tetap akan ada sebuah kerinduan untuk bisa kembali dalam suasana yang berbeda.
Kemarau panjang selama beberapa bulan diakhiri dengan hujan lebat ketika keretaku mulai bergerak meninggalkan stasiun Gambir semoga bukan berarti Jakarta berduka dengan kepergianku. Tapi bila benar Jakarta menyesalkan semuanya, kuharap hanya kota ini yang merasakan itu. Semoga sepotong hati yang tertinggal di sana tidak menyisakan air mata. Biarlah hujan di luar sana, tapi dalam hati hanya ada wangi tanah basah yang seringkali aku rindukan.
Semoga...
Selamat Tinggal Ibukota...
balik kampung nih?
BalasHapusiya ah..jakarta bukan satu2nya t4 menggantungkan harapan..
malah salah2 kita bisa lebih down n lebih kucel di jakarta..
gimanapun keputusan kamu untuk hidup kamu ada ditanganmu sendiri bro...
Bukan pulang kampung, yu...
BalasHapusDiungsikan dengan sukarela