31 Desember 2010

Catatan Penghujung Tahun

Sebuah basa-basi rutin di setiap akhir tahun. Meringkas isi blog selama selama 365 hari menjadi satu jurnal pendek sebagai pengingat sejarah sebelum besok kalender berganti. Tidak ada yang istimewa buatku akan malam pergantian tahun. Hari ini, esok dan seterusnya tetaplah hari yang sama dengan yang telah lalu. Tak ada perlunya aku hanyut dalam hura-hura bersama mereka yang penganut racethoisme.

Dibanding tahun sebelumnya, tahun ini memang banyak kemunduran yang aku alami. Misalnya dari sisi pekerjaan. Akhir tahun lalu aku masih punya kartu nama berlabel general affairs manager. Akhir tahun ini aku sampai lupa hari dan tanggal karena tak lagi mengingat-ingat kalo tanggal 1 akan gajian. Akhir tahun lalu aku masih bisa kemana-mana bersama keluarga tanpa harus berhujan panas. Akhir tahun ini anak istriku harus rela menatap angin setiap kali bepergian.

Namun itu bukanlah sebuah kecelakaan, karena memang aku sengaja melangkah mundur agar bisa mengambil ancang-ancang lebih kuat untuk melompat jauh kedepan. Aku putuskan loncat dari pekerjaanku karena aku tak mau terbuai dalam kenyamanan semu yang tidak aman untuk jangka panjang. Aku sengaja melupakan sejuknya ac mobil hanya karena aku ingat bila aku harus berhemat untuk nyicil rumah. Bahkan Vixy penuh kenangan pun sengaja aku ganti miaw agar tidak terus-terusan touring yang juga memboroskan anggaran. Begitu banyak langkah mundur yang aku lakukan, namun semua itu memang aku rencanakan dalam program pembangunan jangka panjang.

Banyak orang bilang, hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, esok harus lebih baik dari hari ini. Namun buatku itu adalah kemustahilan. Karena aku yakin roda kehidupan selalu berputar dan tak pernah akan berhenti. Kehidupanku tak mungkin selalu lebih baik dari sebelumnya. Kadang naik dan seringkali turun. Aku tak ingin melawan roda itu. Yang bisa aku lakukan hanyalah mensiasatinya. Agar pada saat aku naik, puncaknya harus lebih tinggi dari puncak sebelumnya. Dan saat rodaku ada di bawah, posisinya harus lebih tinggi daripada posisi saat aku di bawah sebelumnya. Permainan hidup memang harus cantik. Pedal gas dan rem harus bisa dibawah kendali kita sepenuhnya, agar roda kita bisa cepat naik dan turun perlahan sebelum kemudian harus naik lagi.

Walau banyak melangkah mundur, aku tak bisa terus berhenti. Karena ada pencapaianku di tahun ini yang harus selalu aku prioritaskan. Bila tahun sebelumnya aku hanya punya seorang istri yang baik hati dan tidak sombong walau kurang gemar menabung, tahun ini anggota keluargaku bertambah satu, Citra. Sudah ada dua pendorong hidupku yang tak mungkin membuatku bisa berjalan santai. Merekalah harapan hidupku dan aku begitu mencintai keduanya.

Memang masih ada bagian hidupku yang hilang belum bisa aku tautkan kembali. Tahun ini jagoanku kembali menghilang dari jangkauan setelah segala aksesku ditutup lagi. Terasa berat memang. Namun aku berusaha menyadarkan diri bahwa hidup adalah perjuangan. Perjuangan butuh pengorbanan. Sayangnya kenapa harus jagoanku yang berkorban, bukan aku saja. Tapi apa mau dikata. Tuhan tidak otoriter sehingga dia tak merasa berdosa tak mampu untuk memenuhi pintaku untuk mengembalikan jagoan ke pelukanku. Segala upaya hanya membuatnya semakin dikekang. Dan agaknya aku hanya boleh berdiam diri dulu melihat kehidupannya yang tertekan di kejauhan sana. Sabarlah, nak. Siapa tahu suatu saat Tuhan insyaf dan ingin berubah menjadi pahlawan yang bisa menolongmu.

Hanya itu yang penting dari tahun yang hampir berlalu. Untuk tahun yang akan datang, aku tak ingin banyak berharap. Terlalu banyak harapan tanpa bisa aku bergerak hanya akan menciptakan banyak kekecewaan. Aku hanya akan berharap dan berusaha sebatas kemampuan tenaga, pikiran dan waktuku. Aku hanya bisa mencoba dan tanpa kata semoga.

Selamat bobo buat yang berdiam di rumah. Selamat bersenang-senang buat yang di jalanan. Maaf aku tidak bisa berperan serta membrisikin orang tidur dengan terompet. Di depanku ada sih vuvuzela oleh-oleh dari Afsel, cuma sayang aku tidak bisa membunyikannya. Lagian kalo Citra bangun bisa gagal sebuah rencana besarku di momen pergantian tahun ini. Mau "gathengan" sampai tahun depan...


Read More

30 Desember 2010

Lesehan Bisu Jl Bantul

Lesehan di Jl Bantul ini termasuk salah satu favoritku. Tak terasa hampir setahun aku tidak kesana. Terakhir aku "ngleseh" disini ketika Citra masih berusia 5 bulan dalam perut ibunya. Makanya ketika ibunya Citra bilang pengen rica-rica, tak perlu aku jawab macam-macam selain yesss...

Aku dikenalkan dengan lesehan ini oleh Soimah Poncowati di awal-awal aku dilempar ke Jogja beberapa tahun lalu. Mulanya aku sempat mikir panjang ketika melihat menunya rica-rica super pedas dan minumnya teh jahe panas. Tapi entah kenapa aku jadi ketagihan dan tak pernah menolak lagi bila ada yang mengajak kesitu. Padahal kalo di rumah, aku mending milih berantem dengan istri daripada disuruh makan masakan pedas. Ada sensasi yang sukar diungkapkan dengan kata-kata saat mulut mulai bergetar kepedesan dan kepala serasa akan meledak, lalu nyruput teh jahe panas, haaaahhhh.... Dan jadilah lesehan itu menjadi satu-satunya tempat dimana aku mau makan pedas. Keluar dari situ, kembali aku bilang "no way" untuk cabe.

Terletak di trotoar depan toko Bu Joyo Jl Bantul no 111 Gedong Kiwo, lesehan itu memiliki seorang pelayan perempuan yang bisu. Makanya teman-teman seniman lebih mengenalnya dengan nama lesehan bisu. Tapi aku lebih suka menyebutnya lesehan sabar menanti. Soalnya, walau tidak terlihat istimewa, pengunjungnya lumayan rame. Mulai duduk sampai masakan terhidang, satu jam kadang tak cukup. Makanya tempat ini lebih cocok sebagai tempat nongkrong ngobrol-ngobrol bareng teman. Karena begitu selesai makan, kita mau nongkrong sampe warungnya tutup juga ga bakalan diusir. Suasananya cukup nyaman dan yang paling penting tidak banyak pengamen seperti di seputaran alun-alun. Sayang aku bawa Citra, sehingga tidak bisa sampai lewat tengah malam seperti biasanya.

Mau mencoba kesana..?
Ajak saja aku.
Asal ditraktir, ga bakalan aku menolaknya dah...

Mobile Post via XPeria

Read More

28 Desember 2010

Vixy

Pertimbangannya sebenarnya teramat sederhana. Sekarang aku jarang di rumah dan istriku tidak bisa pakai Vixy, sementara kendaraan lain saat ini tidak ada lagi. Istriku pun bilang pengen sepeda motor matic agar tidak ribet saat bepergian terutama ketika membawa Citra. Karena kondisi keuangan sedang mepet, aku putuskan untuk melepas Vixy yang makin jarang keluar kandang. Apalagi kondisinya seperti kurang sehat pasca aku bawa jadi relawan ke lereng Merapi bulan-bulan kemarin. Selama di lereng Merapi, Vixy memang sempat jadi tulang punggung kegiatanku. Ketika situasi mulai ekstrim dan kendaraan lain mulai kehilangan nyali, Vixy lah andalanku untuk menerobos medan berat. Wajar bila kandungan sulfur debu vulkanik mulai memunculkan karat disana-sini. Sebelum kondisinya makin memburuk, aku pikir tak ada salahnya aku lepas secepatnya.

Makanya sempat heran ketika tiba-tiba aku merasa sedih berpisah dengan si Vixy. Berpisah dengan kendaraan kesayangan, baik itu hilang, dijual, dihibahkan atau dicabut leasing sudah beberapa kali aku rasakan. Namun tak pernah aku rasakan sesuatu yang begitu mendalam seperti yang satu ini. Walau belum genap dua tahun aku bersamanya, tapi catatan sejarahnya terasa begitu panjang buat aku.

Dimulai beberapa tahun lalu ketika aku masih jadi peternak alias pengantar anak ke sekolah yang jaraknya sekitar 20 km dari rumah. Saat pulang sekolah ada yang nyalip dan tak bisa aku kejar. Sejak saat itu jagoanku begitu memfavoritkan Vixy. Sayang sebelum permintaan itu bisa dipenuhi, aku keburu terusir dari kampung halaman dan menggelandang dari kota ke kota tanpa arah tujuan. Sampai aku bisa menemukan kembali jagoanku setelah sekian lama dipisahkan, ternyata cita-citanya itu masih bertahan. Jagoanku masih menanyakan apakah aku sudah membeli Vixy.

Ingin segera menepati janji, sekembalinya ke Jogja, aku segera ke showroom dan ternyata harus indent sampai 3 bulan. Setelah sepeda motor dikirimkan pun aku tak bisa segera membawanya ke jagoanku di kampung. Bulan september aku menerima Vixy, tapi STNK baru jadi akhir januari. Ketika aku bisa membawanya ke kampung, jagoanku sedang sakit dan tak mungkin bisa naik motor. Agar tak kecewa, aku menjanjikan akan menjemputnya ke Jogja saat liburan nanti sesuai keinginannya untuk muter-muter borobudur saat ulang tahunnya. Namun sayang, kesempatan itupun kembali direnggut dari jagoanku dan harus kembali bersabar.

Padahal aku sudah berjanji tidak akan ada orang lain yang naik Vixy selain aku, sebelum jagoanku menaikinya. Teramat berat mempertahankan itu sampai berbulan-bulan. Setiap orang yang akan pinjam atau ikut membonceng harus aku tolak demi sebuah janji. Sampai-sampai dulu aku pernah dikecam Kang Pacul, saat dia bilang pinjam motor aku kasih kunci mobil. Dia ngotot pinjem motor dengan alesan mau masuk-masuk gang, aku sama ngototnya mempertahankan keperawanan si Vixy. Berbulan-bulan aku pertahankan itu sampai akhirnya aku kenal dengan ibunya Citra dan jagoanku mengijinkan Vixynya untuk ibunya.

Sedih juga ketika aku harus melepas Vixy kesayangan itu sebelum aku bisa menepati janji kepada jagoanku. Tapi apa mau dikata. Aku tak pernah bisa menjangkau jagoanku lagi. Apalagi setelah pertemuan terakhir beberapa bulan lalu, aksesku kembali ditutup rapat. Mungkin aku memang sudah putus asa untuk itu. Walau harapan masih tetap ada. Suatu saat pasti dia akan mencariku untuk menagih hutang-hutangku.

Awalnya aku tak ingin banyak komentar tentang hal ini. Bagaimanapun ini kepedihanku dan bukan milik orang lain termasuk Citra dan ibunya. Sampai istriku bertanya, kenapa dia merasa sedih tak bisa melihat Vixy lagi. Ternyata istriku pun merasakan hal yang sama denganku. Terlalu banyak kenangan bersama Vixy. Terutama ketika touring ala backpacker selama honeymoon dulu.

Yah. Vixy memang bukan sekedar kendaraan buatku. Namun setiap perjumpaan pasti ada perpisahan. Biarlah aku habiskan kepedihan itu sampai malam ini saja. Esok dan seterusnya cukuplah menjadi catatan sejarah saja.

Selamat berpisah Vixy ku...

Read More

25 Desember 2010

Flock versi 3.50

Pagi-pagi dapat pemberitahuan dari flock, bahwa flock versi 3.50 sudah tersedia. Selama ini istriku memang lebih suka memakai flock dibanding browser internet lainnya. Flock memang social networking browser lumayan bagus, dimana bermacam account jejaring sosial bisa ditampilkan di side bar. Jadi semua update di account yang didaftarkan bisa dilihat setiap saat tanpa harus membuka websitenya.

Cukup banyak fasilitas account yang didukung, diantaranya pesbuk, twitter, myspace, bebo, flickr, youtube, blogger, wordpress, photobucket, digg, yahoo mail, gmail dan banyak lagi. Dengan sidebar ini kita tak perlu bolak-balik login lagi untuk membuka semua account. Makanya flock tidak direkomendasikan dipasang di komputer yang dipakai ramai-ramai.

Karena didukung oleh mozila.org, semua add ons dan ekstensi firefox bisa dipergunakan di flock. Hanya saja ketika flock mencapai versi 2.61, add on adblock plus tidak disupport lagi. Sempat bikin sebel juga dengan iklan yang bertebaran di website tanpa adblock plus itu. Dan semua itu baru terjawab hari ini ketika flock versi 3.50 aku coba instal untuk istriku.

Tampilannya berubah total dari versi sebelumnya. Sidebar yang biasanya di sebelah kiri pindah ke kanan. Lebih  minimalis dan mirip banget google chrome. Aku cobain browsing juga terasa lebih enteng dibanding flock versi sebelumnya yang mengacu ke firefox. Dan perubahan tampilan ke chrome terjawab sudah ketika aku coba instal ekstensi adblock for chrome ternyata bisa. Wah, google mulai ekspansi lagi neh...

Tapi maaf, belum bisa banyak cerita. Aku tunggu beberapa hari, ada keluhan apa engga dari istriku selaku usernya dengan platform baru browser kesayangannya ini. Nanti aku share lagi deh. Yang berkenan mencoba silakan unduh flock versi 3.50 di flock.com.

Read More

23 Desember 2010

Persiapan Tanding [mumetologi]

Belum juga pertandingan final, otak sudah mulai jenuh dengan tayangan atau berita tentang sepak bola yang menghabiskan hampir seluruh waktu. Bila semuanya masih berada dalam rel olah raga kayaknya ga terlalu bikin mumet. Wacana yang berkembang sudah mulai melebar kemana-mana tanpa jelas juntrungannya. Tak bisa aku bayangkan bila besok Timnas Indonesia bisa menang di final, kayaknya sampai dua tiga bulan kedepan tiada tema lain di media masa selain bola dan semua pembiasannya. Tidak membias bagaimana, wong ketika negara lain sibuk naturalisasi pemain asing, kita malah sibuk mewacanakan naturalisasi batik.

Asalkan tim garuda tidak takabur dengan kemenangan 5 - 1 atas Malaysia dulu, dengan melihat kerasnya latihan tim kita saat ini, aku juga yakin kita bisa menang. Mengenai pertandingan di luar kandang yang baru pertama kali akan dilakukan, persiapannya juga sudah cukup bagus. Ini terlihat ketika Aburizal Bakrie mengumpulkan timnas di rumahnya seusai pertandingan melawan Filipina kemarin. Agar tidak kagok dengan suasana di Kuala Lumpur saat final nanti, Ical menawarkan agar timnas berlatih adaptasi dulu di kolam lumpur lapindo.

Soal pendukung juga tak perlu dipikirkan. Dubes RI di Malaysia yang selama ini ogah-ogahan ngurus nasib TKI disana mendadak penuh perhatian dan berambisi mengirim 1,5 juta TKI ke stadion. Walau sebenarnya ini tak begitu perlu karena sudah banyak warga Malaysia yang pro Indonesia. Contohnya upin ipin yang lebih betah disini daripada di negara asalnya.

PSSI juga sudah menghubungi satgas mafia hukum, kpk, kapolri dan jaksa agung untuk menyeleksi beberapa markus kelas kakap. Kiper cadangan lebih banyak memang diperlukan banget, mengingat Markus saat ini kurang begitu fokus pada pertandingan. Sepertinya berat baginya untuk membagi konsentrasi antara piala Suzuki AFF dan Suzukiki amelia.

Masalah beberapa pemain cedera, itupun sudah diantisipasi oleh PSSI. Perban kepala ala Nasuha sudah disiapkan satu kontener, sekaligus sebagai antisipasi kalo budaya bonek mendadak kambuh. Untuk antisipasi kalo-kalo Bepe juga cedera, PSSI menyatakan siap menurunkan Depe dan Jupe saat final nanti. Jupe bahkan sudah cukup lama dipersiapkan untuk jadi kiper juga. Dia sudah siap dengan jurus khasnya bila ada yang mau memasukan bola ke gawangnya, "pakai sutra dulu dong ah..."

Dah ah...
Pengen nulis tanpa misuh malah ngaco.

Salam olah raga dan salam mumet juga...

Read More

22 Desember 2010

Tipi & Hape, Sebuah Analogi

Di sebuah negeri antah berantah, ada sebuah anehdot tentang dua benda yang tak asing bagi kita, yang berjudul tipi dan hape. Walau sama-sama berharga relatif mahal dan makan setrum, tapi ada beberapa perbedaan yang biasa kita lakukan kepada kedua benda tersebut. Misalnya ...

Ketika tak punya uang, cukup bahagia nonton tipi,
saat banyak uang, keluyuran cari hape keluaran baru...

Tipi disimpan dirumah,
hape dibawa jalan-jalan...

Tipi tak butuh banyak pengeluaran agar bisa bekerja,
hape diisi setrum doang tanpa dikasih pulsa ga bakalan berfungsi banyak...

Tipi tuaan dikit atau gendut ga pernah dipermasalahkan,
hape lebih suka yang imut, desain ok, enak dibawa...

Tipi ga perlu disembunyikan dari pandangan umum,
hape kadang perlu banget...

Tipi acaranya suka diulang-ulang membosankan,
hape selalu menawarkan teknologi baru...

Tipi biasanya hanya ditonton dari satu sisi,
hape biasa dibolak-balik 360 derajat...

Hati-hati bila meletakkan hape didekat tipi,
radiasi hape bisa membuat tipi bersuara aneh...

Itulah kisah tentang tipi dan hape.
Sebagai analogi pandangan umumnya laki-laki kepada istri dan selingkuhan.

Dirgahayu ibu...
Tipiku yang produk lokal, namun kualitas ekspor, double simcard, qwerty, trackball, touchscreen...


Read More

Euforia Bola

Mulanya, aku merasa ikut seneng saja dengan prestasi baru di bidang persepakbolaan kita tanpa ingin ikut hanyut dalam euforianya secara berlebihan. Namun ketika sebagian orang mulai mempolitisir atau mendramatisir pertandingan final besok, lama-lama jadi gatel juga ingin ikut misuh.

Bisa masuk final adalah prestasi menarik setelah sekian lama persepakbolaan kita tenggelam dalam kejayaan bonek. Tapi kenapa ketika harus bertemu dengan Malaysia, harus dibumbui bermacam embel-embel sok heroik dan membawa-bawa harga diri bangsa. Seolah-olah bila besok bisa menang dari Malaysia, semua permasalahan dengan negara jiran itu bisa terselesaikan. Selama pemerintah kita masih saja bobrok seperti sekarang, biarpun besok sepak bola kita bisa menang 27 kali, tetap saja negara ini tak punya wibawa di mata negara tetangga.

Tak perlulah kita terlalu hanyut yang bisa bikin lupa diri dan kurang waspada. Setelah prestasi pemain bola meningkat, sebaiknya pembinaan penonton dipikirkan juga. Membanggakan garuda di dada sih boleh, tapi apa artinya bila heroisme itu cuma jadi simbol kosong. Perbuatan mereka masih banyak yang melenceng dari kata cinta tanah air. Lihat saja sampah yang berserakan dan pagar-pagar rusak setiap usai pertandingan. Rasanya menertibkan diri sendiri dalam membuang sampah, buatku jauh lebih heroik daripada berteriak-teriak pakai kaos bergambar garuda.

Sedikit oot, aku jadi ingat saat awal-awal bencana Merapi kemarin. Menerobos medan berat mengantar logistik ke pengungsi yang terisolir di km 6, ketika batas wilayah aman ditetapkan 20 km tak dianggap berarti hanya karena di kaosku ada gambar palu arit. Dengan nyaman aparat berbaju coklat itu menceramahiku tanpa dia mau instropeksi diri ketika evakuasi warga pada erupsi kedua, tidak ada satupun aparat yang nongol membantu masyarakat. Mungkin seperti ini pandangan sebagian dari kita tentang kata cinta tanah air dan bangsa. Menyelamatkan diri sebelum semua masyarakat diamankan dianggap lebih nasionalis daripada relawan yang tak peduli batas aman demi ribuan nyawa terjebak di lingkar bahaya, hanya karena yang satu berpakaian seragam yang mengusung simbol-simbol negara dan yang satu cuma pakai kaos yang ada simbol sosialis tanpa arti. Sebuah pemahaman yang dangkal dan baru bisa melihat dari apa yang dikenakan, bukan apa yang diperbuatnya.

Kembali ke soal bola...
Gembira boleh, tapi jangan sampai terjebak euforia berlebihan. Pabeye yang terhormat juga. Jangan keterusan jingkrak-jingkrak dong, pak. Nanti lupa kalo masih punya hutang sapi ke pengungsi, harus minta maaf ke rakyat Jogja atas monarkinya dan berbagai PR lainnya. Kalo memang bener memperhatikan olah raga, centuri atau jayus tuh diberesin trus sebagian duitnya dikucurin kesitu. Tepuk tangan doang ga bakalan banyak pengaruhnya. Yang jelas rombongan gratisan itu telah menyita jatah kursi penonton yang pengen bayar tiket. Apa ada yang bisa kasih info kalo rombongan si berat itu emang beneran bayar..?

Aku harap pertandingan final besok bisa berjalan lancar sesuai dengan harapan kita. Tapi tak perlulah pakai embel-embel bermacam-macam. Apalagi sampai "katanya" mau mengerahkan 1,5 juta TKI di Malaysia untuk datang stadion. Kasihan mereka yang jauh-jauh mau cari rejeki harus ikut mikirin ambisi segelintir pejabat. Toh sebelum dan sesudahnya nasib mereka tak pernah diperhatikan. Tak perlu juga rakyat dihanyutkan dalam nasionalisme sempit yang niat sebenarnya agar mereka melupakan carut marut kasus yang melilit para pejabat itu. Tak ada yang salah, ke stadion pakai batik. Tapi silakan dipikirkan apakah pergi kondangan pakai kaos bola itu nyaman..?

Buatku, kalah atau menang hasil pertandingan besok adalah soal prestasi olahraga semata. Tapi soal harga diri bangsa, menang atau kalah hanya bisa dilihat dari perubahan apa yang bisa kita rasakan dari sekeliling kita. Lebih banyak manfaat atau mudharat..? Itu saja....

Read More

21 Desember 2010

Susah Makan

Anak-anak susah makan kayaknya sudah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari rutinitas rumah tangga. Aku sendiri suka heran, bapak ibunya kayak tempat sampah apa aja masuk, anak disuruh makan kok kaya disuruh macul.

Sejak beberapa bulan lalu, Citra sepertinya sudah begitu ngebet pengen makanan tambahan selain ASI. Setiap ada yang makan didekatnya, dia selalu memandang dengan penuh harap. Karena anjuran ASI ekslusif sekarang sampai usia 6 bulan, baru dua minggu kemarin dia dikenalkan dengan makanan pendamping ASI berupa bubur instan.

Disini masalahnya mulai terasa. Citra susah sekali makan bubur walau disediakan dalam berbagai rasa. Dia lebih suka makan buah atau makanan dewasa yang dimakan ortunya. Takut pencernaannya belum mampu menggiling tempe goreng atau ikan asin, paling banter ibunya ngasih dia jus buah sambil terus berusaha menyuapkan bubur bayi.

Ini persis seperti kakaknya dulu yang juga susah makan. Untuk menghabiskan semangkuk kecil bubur saja perlu perjuangan panjang. Untung saat itu dekat dengan mbahnya, jadi ada petugas khusus untuk nyuapin tanpa pakai ngambek. Sampai masuk sekolah pun dia masih saja susah makan, padahal tidak suka jajan. Makanpun terbatas hanya sayuran saja. Daging sama sekali tidak mau. Ada daging secuilpun di sayur yang dia makan, dia akan langsung memuntahkannya. Bermacam suplemen dan perangsang nafsu makan dicoba, hasilnya tidak efektif. Ada yang benar berkasiat tapi begitu obatnya berhenti, nafsu makannya kembali melorot. Jadinya aku stop sekalian takut jadi ketergantungan. Dan satu-satunya cara agar dia bisa makan lebih cepat adalah disuapin sambil main game di komputer. Mungkin karena otaknya fokus ke permainan sehingga apa yang masuk mulut tak sempat dipikirin dan cepat ditelan.

Citra pun sepertinya menyuruh ortunya memutar otak setiap kali akan menyuapinnya. Satu dua suap dia masih mau mangap, tapi suapan berikutnya mulutnya mingkem rapet. Kadang harus dipancing dulu dengan makanan orang dewasa di depan mulutnya. Begitu mangap cepetan sendok bubur yang disuapin. Sekali dua kali sukses, selanjutnya sudah tak mempan lagi. Citra kayaknya bisa cepat sadar kalo dikerjain sehingga tiap mau makan harus cari cara lain lagi.

Yang masih bisa bertahan agak awet membuatnya mangap sampai sekarang tuh, ayahnya disuruh joget-joget. Saat dia ketawa membuka mulut, ibunya cepet menyuapkan bubur dan yang joget harus berhenti agar tidak tersedak. Setelah mulutnya kosong, aku harus goyang dombret lagi biar mulutnya terbuka. Begitu dan begitu seterusnya. Makanya kalo tidak segera dapat trik baru untuk menyuapi Citra, lama-lama aku bisa beralih profesi jadi topeng monyet.

Ada pengalaman lain dari temen-temen gak nih. Citra cuma susah kalo makan makanan bayi. Makanan lain-lain kalo diturutin bisa ngabis-abisin. Jangankan buah atau eskrim, hape, letop, mouse saja suka banget dia masukin mulut. Tau nurun dari siapa neh hobi emut-mengemutnya..?

Read More

19 Desember 2010

Komputer Banci

Judul ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan soal genderisasi. Temanku Grontol mengecam letopku dengan istilah itu hanya karena aku bikin dual booting, windos dan linux.

OS bawaan letop itu sebenarnya Vista. Karena kurang suka dengan kinerjanya, aku instal ulang pakai XP bajakan. Awalnya aku sempat merasa enjoy dengan perubahan kinerjanya, apalagi sejak lama aku memang dah familiar banget dengan aplikasi-aplikasinya. Namun lama kelamaan kok ada rasa ga nyaman dengan penggunaan software ilegal itu, terutama saat dipakai cari rejeki untuk anak istri. Kata yang punya agama, kerja halal dengan alat haram tetap saja hasilnya haram dan dosa besar bila sampai termakan anak istri. Halah...

Setelah itu aku banting supir pakai Ubuntu versi 9 yang halalan toyibah. Sempat ribet juga ketika belajar hal-hal baru di linux. Walau sebenarnya tidak sulit-sulit amat. Seperti Open Office, prinsipnya ga beda jauh dengan MS Office, cuma posisi tombol dan menunya saja yang berbeda. Untuk sotosop pun tak banyak perubahan berarti saat harus menggunakan GIMP. Kesulitan utamanya adalah mensugesti diri bahwa linux itu tidak sulit.

Kadang karena ada perbedaan dan kita malas belajar memahami bahwa perbedaan itu indah, makanya kita telanjur ngasih stempel bahwa linux itu sulit. Aku kasih perbandingan dengan ketika aku pertama kali pakai Mac OS. Tampilan antar mukanya berbeda banget dengan windus yang biasa aku pakai sebelumnya. Tapi kenapa aku tidak menganggap itu sulit dan terus mau belajar mengutak-atiknya..? Aku pikir faktor perasaan telah mengalahkan logika disini. Demi gengsi kita rela mencoba sebuah perbedaan dalam Mac. Tak terbayang sulitnya Mac, yang ada hanya sebuah kebanggaan ketika ada orang lain yang tahu kita pakai MacBook. Tapi untuk program gratisan bernama linux tampaknya kita enggan belajar. Seolah tidak ada yang bisa dibanggakan disitu...

Pemerintah kita dalam hal ini Diknas juga sedikit mengherankan. Mengapa yang dimasukan kedalam kurikulum sejak dini bukanlah linux yang open source. Sedikit banyak aku jadi berburuksangka, kaum kapitalis ikut bermain disini. Sejak kecil siswa dicekokin dengan software komersial agar mereka ketergantungan dan bisa menjadi pasar buat produk-produk berbayar yang sebagian besar produk Amerika. Aku pikir bila sejak pertama kali kenal komputer sudah diberikan linux, mereka tak akan mengatakan linux sulit.

Ini sama dengan aku yang sok gaul, tidak mau menggunakan bahasa Indonesia untuk menu hape. Bukan soal nasionalisme, tapi aku merasa janggal dan suka bingung dengan menu yang berbahasa Indonesia. Ini jelas berbeda dengan mereka yang sejak kenal hape sudah menggunakan menu bahasa sendiri. Tak bakalan mereka bilang bahasa pribumi itu menyulitkan. Bahkan mereka ribut bila nemu hape yang tidak ada bahasa Indonesianya. Pemikiran ini juga yang membuat aku ingin Citra tak akrab dengan gambar jendela. Sejak pertama kenal komputer pokoknya harus akrab dengan pinguin. Aku ingin mencoba bangun linux dari keluarga kecilku saja dulu.

Bila maunya begitu, kenapa letopnya harus berjenis kelamin dua..?
Nah inilah bodonya aku. Relatif sedikitnya dukungan perusahaan hardware atau software untuk urusan gratisan, membuat mereka jarang mau menyediakan driver untuk barang produksinya. Contohnya modem semar yang aku pakai, cuma ada driver untuk windus dan mac. Di Ubuntu 9.10 yang aku pakai dulu, modem dikenali sebagai safely remove hardware. Memang banyak tutorial untuk merubah status storage (fff5) menjadi modem (fff1), tapi ternyata aku begitu oon aku ga bisa-bisa. Akhirnya linux hanya aku gunakan untuk aplikasi office atau utak atik foto. Bila harus nyambung ke internet, aku ngungsi dulu ke winduz. Hahaha payah...

Baru setelah Ubuntu 10.10 keluar, modem itu langsung dikenali sehingga ga perlu ribet lagi utak-atik salam perkenalannya. Seneng juga bisa lebih banyak pakai aplikasi gratisan yang ngebut tanpa benjut itu. Tak perlu ribut mikirin antivirus lagi. Juga lebih aman kalo digeletakin di ruangan umum, ga banyak yang ikut nimbrung numpang pake buat pesbukan. Begitu liat tampilannya linux dah langsung monyong bibir dan menghindar. Padahal browsernya firefox dan chromium yang ga ada bedanya dengan yang winduz. Asiiik...

Berarti sekarang full linux dong..?
Hehehe ternyata engga juga.
Masih tetep banci tuh letop.
Soalnya game-game kesayangan ga ada versi linuxnya.
Hiks...
Read More

18 Desember 2010

Sing Waras Aja Ngalah

Seminggu nyepi di gunung sampai ga sempat ngeblog, ketika kembali ke Ngajogjakarta Hadiningrat ternyata situasi masih saja hangat dengan isyu monarki. Sempat heran juga dengan rakyat Jogja yang selama ini dikenal sebagai manusia yang narimo ing pandhum dan besar ewuh pekewuh bisa terus bergejolak semangatnya.

Awalnya aku memang sedikit enggan untuk ikut campur terlalu banyak dalam isyu itu, karena aku pikir itu cuma tingkah polah orang kurang kerjaan aja. Lagian dengan ikut nyebur disitu, rasa skeptisku kepada pengelola negara ini bisa tambah membludak. Punya pemimpin kok pekok. Kekecewaan tentang janji mengganti sapi korban Merapi saja belum beres dan terlihat gejala akan diulur-ulur seperti korban lapindo, ini sudah ngosak-asik bidang lain. Kalo memang bener jagoan  mbok freeport tuh diusik. Kalo emang telanjur ga berani teriak dibelakang pantat Obama, ya urusan jayus apa centuri diberesin.

Anak buahnya yang berjudul Ditjen Otda Kemendagri juga sama koplaknya. Sudah berani mengklaim berdasarkan survai tentang 71% rakyat Jogja setuju dengan pemilihan, begitu didesak untuk menunjukan datanya malah celilian kaya monyet ngemut potas. Mbokyao sekali-kali mengatasi masalah tidak dengan menylimur rakyatnya dengan masalah baru.

Sesuai falsafah hanacaraka, manusia Jogja pasti tak bisa diam ketika posisinya dipepet, disuku, ditaling apalagi ditaling tarung. Satu-satunya sandangan yang bisa bikin mereka tak bersuara adalah dipangku. Esbeye sebagai orang Jawa seharusnya juga memahami ini dan tak mengumbar kebodohan tak jelas. Mengapa beliau tak mau belajar dari Sultan yang selama ini bisa mangku kawulanya sehingga tak aneh bila rakyat lebih menuruti apa kata Sultan dibanding ucapan seorang presiden.

Bila yang dipergunakan adalah alasan demokrasi, setahuku demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ini rakyatnya punya karep kok pemimpinnya ngeyel. Presiden adalah pelayan rakyat. Presiden bukannya raja yang dilayani rakyat. Wong Sultan yang katanya monarki saja bisa mengerti rakyat yang seharusnya menghamba, masa presiden tidak. Apa jangan-jangan di otak presiden yang namanya demokrasi adalah wong demo dikerasi kali ya..?

Sebenarnya, bila melihat apa yang menjadi inti keinginan esbeye, aku sendiri bisa memahami. Beliau ingin membuat ketentuan yang jelas untuk mengantisipasi apabila suatu saat raja dijabat oleh anak-anak atau usia lanjut. Sebagai raja, hal itu mungkin tak jadi masalah. Namun sebagai gubernur, secara nalar kan tak mungkin dijabat anak-anak atau yang sudah pikun. Hanya sayangnya, penyampaiannya kok menohok seperti itu sehingga suasana keburu panas. Padahal sudah menjadi kepastian, orang kalo sudah telanjur ngambek, dibaik-baikin kayak apa aja biasanya tetep akan mengatakan jelek.

Herannya lagi, kenapa harus disampaikan di rapat sesi pertama yang terbuka untuk umum termasuk media. Kalo memang baru sekedar wacana pengelola negara, kan bisa penyampaiannya di rapat sesi kedua yang tertutup untuk umum. Atau memang sengaja melepas umpan ke media agar cepet dapat ikannya.  Itu sih sama saja dengan memancing kerusuhan...

Apa susah sih sebelum dilempar ke khalayak umum, presiden ngajak ngobrol dulu dengan sultan tentang masalah itu secara tertutup. Apakah mekanisme kepempimpinan negara dipegang mendagri, menlu dan menhan ketika presiden dan wakilnya berhalangan bisa diterapkan bila kesultanan dipegang anak-anak. Mengingat dalam sistem kraton pun mengenal sistem perwalian bila raja dianggap belum cukup umur. Apapun itu, kalo diobrolkan dulu sebelum dibuka sepertinya bisa berjalan lebih baik.

Aku tak sampai gabung jadi relawan pendukung referendum memang. Tapi aku setuju slogan sing waras ngalah bisa dilupakan warga Jogja. Sudah saatnya yang waras harus ngotot agar pengelola negara bisa berubah pikiran. Selama rakyat berprinsip yang waras ngalah, wajar banget bila para pejabat tak pernah mau mengalah. Wong mereka memang sudah yakin kalo otaknya memang tidak waras kok...

Maju terus, dab...

 
Read More

13 Desember 2010

Recaptcha

Sudah beberapa hari, ereksi otak tak mau dibawa ejakulasi di blog. Pelampiasannya lari ke Yahoo Answers dan Kaskus. Lumayan asyik kembali ke habitat lama di Y!A mencoba berbagi dengan teman-teman walau sudah tak bisa lagi menjawab pertanyaan sedetail dulu. Kalo di kaskus selama ini aku lebih suka baca-baca doang, sehingga walau terbaca aktif sejak 2008 tapi status masih nubitol. Ketika lagi kepengen aktif di kaskus, malah nemu masalah menyebalkan yang bernama capcay.

Saat ini, hampir semua situs yang berinteraksi dengan user, meminta kita untuk memasukkan kata atau nomor untuk memastikan bahwa semua input benar-benar dilakukan oleh manusia dan bukan oleh bots. Bots ini adalah semacam program kecil yang secara otomatis melakukan tugas tertentu. Salah satunya mengisi form di website yang biasanya dipergunakan untuk keperluan nyepam atau scam.

Uji tantangan tanggapan atau challange-response test itulah yang dinamakan captcha. Proses kerjanya adalah, sistem server captcha memproduksi satu atau dua nilai yang akan dimintakan kepada user untuk ditanggapi. Karena captcha tidak mungkin ditebak oleh komputer atau mesin, maka jawaban yang benar akan dianggap berasal dari manusia. Jawaban yang diberikan sebagai tanggapan akan dinilai lagi oleh sistem captcha untuk kemudian diputuskan apakah benar atau salah.

Penemunya adalah Luis von Ahn, Manuel Blum, Nicholas J Hooper (Carneige Mellon University) dan John Langford (IBM) pada tahun 2000. Sistem itu kemudian marak digunakan di berbagai situs untuk mencegah penyalahgunaan dari bots alias program otomatis yang biasanya dibuat untuk menghasilkan spam. CAPTCHA adalah singkatan dari Completely Automated Public Turing test to tell Computers and Humans Apart atau uji turing terotomatisasi penuh untuk membedakan komputer dan manusia. Eh turing tuh apaan sih..? Masa ngatur piring..?

Nah, perasaan dulu kaskus pakai captcha sederhana yang cuma terdiri dari 3 angka doang. Soalnya aku tuh paling sebel kalo nemu yang ginian. Seperti di belokcepot, aslinya aku muales banget kalo nemu blog yang pakai capcay. Buat aku ada yang mau nyepam sampe mensret di blog ga pernah aku pikirin. Nyatanya sampai sekarang aman amin saja dan yang nyepam kebanyakan pedagang onlen yang jelas-jelas manusia nawarin lapaknya di tempat komen. Cuma demi temen yang ga enak kalo ga kasih komeng jadinya ya harus ikhlas bersusah payah.

Yang bikin sebel tuh, kaskus sekarang pakainya reCaptcha dari google yang njelimet. Cuman setelah baca sana-sini, recaptcha ternyata mulia juga tujuannya. Recaptcha bertujuan untuk mendigitalkan buku-buku sejarah atau karya lama semacam Shakespeare. Buku buku itu discan lalu digunakan program OCR untuk merubah gambar hasil scan tadi menjadi tulisan dalam format MS Word misalnya. Namun terkadang OCR tidak bisa menebak tulisan secara akurat dan masih membutuhkan bantuan manusia, apalagi dalam buku lama yang cetakannya sudah terdistrosi. Dengan recaptcha ini secara tidak langsung kita telah menjadi relawan untuk membaca hasil scan itu dan merubahnya kedalam bentuk teks. Fungsinya untuk meminimalisir salah tafsir oleh OCR. Jadinya bukan sekedar tebak-tebakan doang. Sambil nebak kita ikut beramal dalam proyek ini.

Recaptcha menggunakan cara unik untuk menentukan benar tidaknya jawaban user. Tiap kata hasil scan yang terdistorsi dan sudah dalam bentuk gambar diberikan ke user bersamaan dengan kata lain yang sudah diketahui. Kata yang sudah diketahui ini disebut kata kontrol. Jika user dapat menjawab kata kontrolnya dengan benar, diasumsikan dia menebak kata yang satunya lagi dengan benar pula. Itulah sebabnya recaptcha memberikan dua kata untuk kita tebak.

Dari penjelasan ini, aku bisa simpulkan bila kita menjawab satu kata saja dengan tepat, jawaban kita sudah dianggap benar. Ini berarti recaptcha bisa kita curangi agar tidak terlalu ribet menebak-nebak sampai mata juling. Triknya adalah, Recaptcha tidak membedakan antara huruf besar dan kecil atau spasi. Jadi ketik lempeng aja ga masalah. Lalu dari kedua kata yang disodorkan, kita tak perlu jawab semuanya. Asal kata kontrol kita ketik dengan benar, kita sudah dianggap manusia. Nah kata kontrol ini biasanya menggunakan kata yang lebih panjang. Jadi ketik saja kata yang itu sudah cukup.

Yang sebel dengan verifikasi kata recaptcha, silakan coba cara ini. Hanya saja, dengan cara curang ini berarti kita tidak ikut berpartisipasi dalam proyek digitalisasi buku-buku kuno. Jadi kesimpulan finalnya, terserah temen-temen deh...

Bahan bacaannya dari google dan kaskus.
Read More

09 Desember 2010

Hujan, rahmat atau musibah..?

Orang tua bilang menawi jawah dados owah - apabila hujan apapun jadi berubah. Itu bener banget dikaitkan dengan rencanaku kembali ke Jogja sejak dua hari lalu yang terus tertunda sampai pagi ini.

Sejak beberapa hari lalu, teman-teman yang masih bertahan di lereng Merapi sudah bolak-balik nelpon minta aku segera kesana. Mereka kekurangan tenaga sementara hujan lebat yang terus-terusan mengguyur puncak Merapi membawa lahar dingin jauh sampai ke tengah kota. Berat rasanya bila tak segera kesana mengingat warga Merapi baru beberapa hari kembali ke kampung halaman, namun harus selalu siaga untuk evakuasi sewaktu-waktu secara mandiri. Dukungan pemerintah sampai saat ini masih sebatas wacana di eselon atas yang mungkin baru bisa sampai ke tangan rakyat selepas lebaran monyet.

Tapi harus bagaimana lagi, kondisiku di kampung hampir mirip. Pemda Cilacap yang punya pabrik aspal disebelah kantornya tak pernah mau ngurus yang namanya jalan. Jalan raya antar propinsi saja kondisinya remuk, apalagi cuma jalan kecil menuju kampung bernama Cigebret. Persis kubangan kerbau yang susah dilalui kecuali mau nekat menerobos lumpur sedalam setengah ban. Sebuah dilema karena bencana yang mengatasnamakan hujan.

Hujan...
Begitu banyak orang merindukan dan sama banyaknya yang membencinya. Ada yang mengatakan hujan adalah rahmat ada pula yang menganggap sumber bencana. Untuk aku sendiri, apapun definisi atas hujan tergantung dari apa yang bisa kita lakukan. Bila kita hanya bisa menggerutu saat hujan tiba, itulah saat hujan menjadi bencana.

Walau hujan membawa banjir bandang dan meminta korban, namun bisa membuat kita sadar pentingnya reboasasi dan konservasi alam, membuat kita ingat tanah dan air ini harus diwariskan kepada anak cucu, membuat kita mau tulus membantu saudara-saudara korban bencana, itulah saatnya hujan menjadi rahmatan lil alamin. Hujan menjadi rahmat atau musibah, semua tergantung pada perubahan moral kita menjadi lebih baik atau tidak.

Bagaimana mungkin dikatakan sebagai rahmat bila menelan korban..?

Berupaya menjadi lebih baik memang butuh pengorbanan dan perjuangan. Ketika kita hanya bisa ngomel, itu sama artinya kita telah menyia-nyiakan pengorbanan saudara-saudara kita di tempat bencana. Jangan sia-siakan pengorbanan mereka. Mari belajar merubah diri agar hujan bisa menjadi rahmat bagi semesta alam.
Nek iso...

Mobile Post via XPeria

Read More

08 Desember 2010

Pulang haji

Musim pulang haji seperti sekarang ini, kondisi di kampung jadi lumayan hiruk-pikuk. Banyak orang berlalulalang mengunjungi tetangga atau kerabat yang baru pulang haji. Walau ini tentang ibadah, namun perbedaan antara si kaya dan paspasan cukup kentara.

Dimulai sejak akan berangkat, yang termasuk golongan berpunya biasanya akan menggelar pengajian besar-besaran. Saat akan berangkat ke asrama haji, mereka menyediakan bus atau truk untuk mereka yang mau mengantar. Tak heran bila jalanan sampai kusut karena tiap orang bisa dikawal massa sampai 3 truk. Saat kembali pun masyarakat yang menyambut luar biasa antusias. Sampai-sampai mereka menyediakan air mineral beberapa galon dan tiap galonnya ditambah air zam zam satu gelas agar semua kebagian. Sayangnya suasana yang seharusnya religius itu suka diganggu dengan bisik-bisik pengunjung, "kebagian oleh-oleh apa yah..?"

Mereka yang termasuk golongan mau berangkat haji harus puasa sampai bertahun-tahun biasanya tak terlalu hiruk pikuk oleh massa. Malah ada yang tak bisa beli oleh-oleh disana karena bekal yang paspasan. Sudah tahu kondisinya paspasan gitu, masih ada tamu yang sedikit monyong ketika bertandang pasca haji dan cuma disuguh salak pondoh.

Haji mungkin memang ibadah yang berbeda dengan ibadah lainnya. Tapi sayangnya sebagian dari kita lebih suka memandang ekslusifitasnya dari nilai uang yang harus dikeluarkan agar bisa berhaji. Bukan dari perubahan akhlak setelah punya titel H didepan namanya. Aku pikir percuma saja buang uang dan energi keluyuran sampai ke arab bila setelah itu tak ada perubahan yang berarti.

Mungkin ini berkaitan dengan mitos yang berkembang di masyarakat, bahwa bila pulang haji orang bisa lebih cepat kaya. Dikatakan berdoa di masjidil haram paling mustajab, niat berhaji seringkali melenceng bukan untuk melaksanakan rukun kelima, tapi untuk meminta sesuatu yang konon 99% makbul. Tak heran bila ada yang pulang haji malah jadi tambah pelit. Apalagi di kalangan pejabat negara. Lihat saja berapa banyak dari mereka yang bertitel haji. Namun perbuatan mereka tetap saja tidak memihak rakyat. Berangkat haji pakai uang hasil korupsi, pulang haji pantas saja tambah getol nyolong duit rakyat. Aneh saja ketika ada media yang berkata depag merupakan salah satu sarang penyamun. Trus bagaimana departemen lain..?

Alangkah indahnya bila ekslusifnya haji bukan sekedar menambah nama depan agar lebih panjang. Sampai-sampai ngambek ke pegawe kelurahan karena kelupaan tidak menambahkan titel baru didepan namanya. Setelah haji, bisa dikatakan sempurna ibadah telah dijalani semua rukun islam. Perubahan moral dan akhlak lah yang aku pikir harus jadi kebanggaan. Tapi kebanggaan secara tersirat saja. Bila terlalu bangga dengan segala amalnya tapi harus didepan wartawan tipi ya sama juga boong.

Haji adalah ibadah mahal yang kuncinya di hati. Naik haji bolak-balik tanpa merubah hati menjadi lebih baik sama saja cuma pelesiran doang. Semoga menjadi haji yang mabrur dan tidak sekedar mabur. Sehingga semua perkataan dan perbuatan sesuai dengan nama barunya, Haji Muhammad Rawin misalnya. Kalo tidak bisa, ganti saja nama itu dengan nama Haji Ngan Tengik...

Mobile Post via XPeria

Read More

07 Desember 2010

Cilongkrang, Riwayatmu kini

Cilongkrang, sebuah desa kecil di kecamatan Wanareja kabupaten Cilacap memang benar-benar mungil dengan bentuk wilayahnya yang memanjang mengikuti alur jalan raya dan rel kereta api. Pemukiman penduduk yang padat namun sempit berada di tengah lembah yang diapit pegunungan yang menghijau oleh perkebunan karet.

Sampai dengan era 80an, desa di kawasan onderneming peninggalan Belanda itu cukup makmur. Ketika PLN baru menjangkau kota kabupaten, Cilongkrang sudah terang benderang oleh listrik dari pabrik. Sempitnya areal persawahan tak membuat angka pengangguran tinggi, karena sebagian besar warga diserap sebagai tenaga kerja perkebunan. Desa kecil itu jadi begitu hidup mengalahkan kota-kota kecamatan atau kawedanan di sekelilingnya.

Begitu berpengaruhnya perkebunan kepada masyarakat sejak jaman Belanda, sampai-sampai pejabat perkebunan lebih besar pengaruhnya dibanding pejabat pemerintahan. Kepala desa bahkan camat, dulu kalah pamor dibanding sinder. Jarang sekali misalnya anak muda akan mengadakan kegiatan olahraga menemui kepala desa, yang paling dulu diajak rembugan justru pemimpin kebun. Demikian juga dibidang keamanan, polsus yang sebenarnya setingkat satpam saat ini, lebih disegani rakyat dibanding polisi atau tentara. Pokoknya ucapan pejabat perkebunan lebih dituruti warga dibanding yang punya kuasa politik. Persis seperti orang Jogja yang lebih nurut terhadap titah Sultan dibanding omongan esbeyek.

Sejak aku kecil, di plasa depan pabrik dipasang sebuah pesawat televisi untuk umum. Tempat duduk dari bambu berjajar makin ke belakang makin tinggi. Televisi hitam putih itu mulai buka sekita jam 5 sore bersamaan dengan listrik pabrik untuk penerangan menyala. Walau cuma ada siaran TVRI tapi jangan tanya penontonnya. Dari desa tetangga berdatangan berombongan jalan kaki atau naik sepeda. Pedagang pun banyak sekali bak pasar malam, mulai dari penjual kacang, limun, 7up, jajan pasar, mainan anak jadul macam othok-othok sampai yang dagang pakaian. Apalagi kalo habis gajian pabrik tiap tanggal 5 dan 17, lapangan depan pabrik tak mampu menampung lapak pedagang.

Tak cuma ekonomi, bidang-bidang lainpun bisa maju dibawah binaan perkebunan. Kepemudaan dan prasarana olah raga juga tak pernah kekurangan. Dari lapangan bola sampai tenis tersedia. Padahal waktu itu, tenis masih sangat jarang dan dianggap olahraga elit.

Keperluan komunikasi pun pabrik begitu pro rakyat. Telepon onthel satu-satunya di wilayah itu bisa dipakai untuk menerima telepon atau sekedar menitip pesan. Untuk surat pos pun masyarakat lebih suka menggunakan alamat perkebunan daripada alamat desa. Jaman dulu kantor pos tidak punya armada sampai ke desa-desa. Surat beralamat desa akan dititipkan di kecamatan. Ketika ada perangkat desa yang datang ke kecamatan surat itu akan diambil. Sampai balaidesa, surat kembali menunggu ada orang dusun atau RT sesuai alamat tercantum mampir kesana. Akibatnya bisa sebulan lebih surat dari kantor pos baru sampai ke penerima. Apabila menggunakan alamat pabrik, setiap 3 hari ada petugas yang sengaja mengambil ke kantor pos. Surat itu akan dipajang di jendela kantor yang bisa dilihat oleh karyawan, sehingga informasinya cepat sampai ke alamat dimaksud.

Itulah masa keemasan desa tempat aku dibesarkan. Sampai akhir dekade 80an, entah kenapa pabrik dilikuidasi pemerintah. Yang ada hanya perkebunannya saja sedangkan untuk pengolahan dll diangkut keluar daerah. Sejak saat itu Cilongkrang berubah gelap gulita lebih dari 10 tahun saat PLN masuk di akhir 90an.

PHK besar-besaran juga merubah pola hidup masyarakat. Sempitnya areal pesawahan membuat hanya sedikit yang bisa bertani. Apalagi setelah pemerintah membangun avoor atau saluran pembuangan air yang maksudnya untuk mengeringkan rawa bombak atau pernah dikenal dengan nama rawa lakbok. Saluran yang ternyata tidak berfungsi itu telah menyita sebagian lahan pesawahan yang subur. Areal produktif yang sempit dibuat semakin sempit tanpa hasil yang jelas.

Sebagian besar terpaksa hijrah sebagai perantau ke kota-kota besar terutama Jakarta. Tak heran bila Cilongkrang kini hanya ramai saat lebaran saja ketika para perantau pulang mudik. Hijrahnya sebagian warga juga membuat pasar tradisional mati dengan sendirinya. Stasiun kereta api pun ikut ditutup karena penumpang makin jarang dan yang paling penting tidak ada lagi karet olahan pabrik yang diangkut menggunakan kereta api.

Kini, desa yang pernah makmur dibawah feodalisme ondeneming warisan Belanda itu telah merana oleh kebijakan privatisasi BUMN pemerintah Indonesia raya. Keadaannya bak kerakap diatas batu, hidup segan mati tak mau. Bahkan beberapa waktu lalu sempat tak punya kepala desa bertahun-tahun akibat enggannya warga mencalonkan diri menjadi pemimpin di desa tertinggal yang minus itu. Untung saja sekarang ada seorang pemuda tukang tambal ban bernama Topik yang mau menjadi kepala desa, sehingga roda pemerintahan bisa kembali berjalan.

Semoga suatu saat nanti semua itu bisa kembali. Walau mungkin harus menunggu ada yang menawarkan satu permintaan. Ngimpiiii....

Sabarlah, Cilongkrangku...
Trimak-trimakno nasibmu kini...

Mobile Post via XPeria

Read More

06 Desember 2010

Kembali ke desa

Punya ortu yang hanya bertetanggaan kecamatan memang enak. Setiap mudik cukup satu kali jalan dan tak perlu pontang-panting. Setelah dua hari di Sarwadadi, hari ini jadwalnya menengok ortu di Cilongkrang.

Pulang kampung buatku tak sekedar menengok orang tua saja. Namun menjadi sarana mengenalkan Citra ke alam bebas. Udara pedesaan yang relatif bebas polusi membuatku merasa lebih bebas untuk "mengumbar" Citra di luar rumah. Apalagi kondisi lingkungan di rumah ortu sangat berbeda, jadi apa yang dirasakan Citra kuharap bisa lebih beragam.

Sarwadadi lingkungannya merupakan dataran rendah dikelilingi pesawahan yang luas. Wangi padi yang tertiup angin seolah menjadi aroma terapi yang alami. Berbeda dengan kondisi di Cilongkrang yang didominasi pegunungan yang menghijau oleh perkebunan karet. Membawa Citra ke perkebunan terasa cukup mengasyikan. Atau mengajaknya bermain-main dengan anak kelinci peliharaan mbah aung.

Menikmati damainya alam pedesaan membuat sering terbersit rasa untuk kembali ke desa. Terinspirasi lagunya Ahmad Albar tentang huma di atas bukit, sering aku melamunkan punya rumah mungil di puncak bukit kecil dikelilingi kebun bunga. Tapi entah kapan angan itu bisa terwujud bila melihat sempitnya peluang usaha di desa. Pemerataan pembangunan hanya slogan kosong calon pejabat saja. Atau mungkin desa memang dibiarkan tetap sunyi agar aku tetap punya tempat bebas polusi untuk mengajari Citra tentang alam bebas.

Sungguh...
Seringkali aku merindukan kembali dan hidup di desa seperti masa kecilku dulu...

NB.
Mumpung di pinggir hutan, malem 1 suro mending tirakat ngalap berkah aja apa ya..? Eh, kalo bertapa boleh disambi smsan apa onlen ga sih..?

Mobile Post via XPeria

Read More

Wisata kuliner kampung

Sudah dua hari menikmati kesejukan pagi ala kampung ditemani cemilan yang sulit ditemukan di Jogja. Kalaupun ada, kadang sudah sedikit berbeda dalam hal rasa. Mungkin karena berada di perbatasan Jawa Barat, jadinya masakannya cenderung asin. Beda dengan Jogja yang didominasi masakan manis.

Jajan pasar paling legendaris adalah gembus. Tidak lezat memang, tapi entah kenapa bisa ngangenin. Sensasi utama makan gembus adalah jadi inget masa muda dulu. Pacaran sambil ngemut gembus plus pecel, kerudungan sarung sambil nonton layar tancap pilemnya satria bergitar atau dono. Wah tiada lawanlah pokoknya waktu itu...

Makanan kampung lain yang bikin kangen adalah oyek alias tiwul. Berbahan dasar singkong cukup asik dimakan hangat-hangat bersama ampas kelapa. Kalo sudah dingin rasanya jadi aneh dan bau apek khas oyek. Yang penting jangan terlalu banyak ampasnya karena bisa bikin kreminen (basa ilmiahnya kreminen apa yah..?)

Ada lagi yang namanya jenang. Tapi jenangnya sendiri sebenarnya dah ga terlalu asik karena sudah umum dan gampang didapat. Yang asik tuh kerak jenang yang biasa disebut kereng. Kereng ini hanya bisa didapat saat orang membuat jenang di tempat hajatan. Aku sendiri ga tau kenapa kerak jenang yang sedikit gosong itu malah lebih aku suka daripada jenangnya itu sendiri. Apa mungkin karena jenang kehidupanku yang banyak didominasi kereng gosong ya..? Sebagai orang Jawa kan ada satu falsafah yang berbunyi jeneng dulu baru jenang...

Sebenarnya aku ingin lebih lama berwisata kuliner di kampung untuk mengenang jajanan favorit masa lalu. Eh, pagi-pagi sudah ada panggilan dari posko Jalin Merapi. Lahar dingin masuk kota memutus jalan raya Magelang - Jogja. Lihat di tipi beneran kali apu meluap dan lahar dingin masuk pemukiman. Alamat harus buru-buru balik Jogja neh.

Ada yang berkenan bantu, kita butuh relawan dan donatur lebih banyak. Info lebih lanjut hubungi posko jalin merapi atau ke nomorku 081 391 634 777 atau lewat website merapi.combine.or.id

Mobile Post via XPeria

Read More

05 Desember 2010

Sarwadadi, desa pengekspor TKI

Sarwadadi, sebuah desa di kecamatan Kawunganten yang sebenarnya tidak terpencil, namun terisolir karena kondisi jalan yang rusak parah. Padahal Sarwadadi masuk ke wilayah kabupaten Cilacap yang notabene punya kilang minyak yang mempunyai residu bernama aspal. Sebagian wilayahnya dihampari pesawahan subur dengan irigasi dari bendung Manganti. Kontras sekali dengan pesawahan di Kawunganten sebelah selatan yang berawa dan dipengaruhi rob.

Walau sedikit terisolir, pendapatan perkapita warga Sarwadadi termasuk tinggi. Ini bisa dilihat dari sebagian warganya yang punya rumah cukup mentereng walau di kampung. Yang sebagian lagi rumahnya mungkin biasa-biasa saja, namun jangan salah bila sawah atau kebunnya cukup luas. Namun ada sedikit yang disayangkan, tingginya pendapatan tidak berarti kesadaran untuk meraih jenjang pendidikan ikut tinggi. Warga yang sampai masuk ke jenjang kuliah bisa dihitung dengan jari. Sebagian besar merasa cukup dengan ijasah SMP atau SMA untuk kemudian memilih pergi keluar negeri sebagai TKI.

Tak heran bila kebanyakan warga Sarwadadi begitu gembira bila punya anak perempuan. Buat mereka anak perempuan adalah tumpuan harapan masa depan yang cerah, karena perempuan lebih mudah dipekerjakan di luar negeri dan bisa tanpa biaya. Ini berbeda dengan laki-laki yang bila ingin keluar negeri tanpa lewat program G2G, paling tidak membutuhkan dana antara 20 - 50 juta rupiah.

Perbedaan kondisi laki-laki dan perempuan inilah yang kadang membuat anak laki-laki cenderung milih diam di rumah menunggu kiriman dari kakak perempuannya. Untuk yang sudah berumahtangga pun banyak kasus serupa. Sementara istri kerja di luar negeri, suaminya ongkang-ongkang kaki menikmati keringat istrinya. Tapi tidak semuanya begitu, cukup banyak pula yang menginvestasikan kiriman devisa itu untuk beli sawah atau kebun, sehingga si istri tak perlu terus menerus berangkat setelah modal usaha dianggap cukup.

Yang bisa investasi semacam itulah yang biasanya sukses di masa depan dalam artian bisnis berjalan keluarga tak perlu tercerai berai. Yang agak kacau biasanya mereka yang panasan atau terlalu besar gengsi. Tipe ini kebanyakan membelanjakan uangnya untuk membangun rumah sementereng mungkin. Ketika rumah jadi, mereka sibuk mencari devisa tambahan untuk mengisinya. Padahal rumah besar tentu isinya harus banyak agar tidak terkesan melompong. Jadilah sepanjang hidup hanya untuk mengejar uang demi gengsinya melalui rumah. Ketika tiba masanya harus pensiun, mereka mulai kelabakan. Iya kalo lokasinya strategis, bangun rumah di pinggir kali jauh dari jalan saja sampai bertingkat 3 kamarnya 8, kalo dijual apa ya ada yang mau beli kalo tidak dibanting harga..?

Negara tujuan secara umum terbagi dua. Mereka yang berumur atau latar belakang pendidikannya agak kurang biasanya pergi ke arab. Bisa dimengerti karena kebanyakan tanpa biaya dimuka dan mereka tak begitu peduli dengan kebebasan. Yang muda muda atau lebih terbuka pikirannya kebanyakan memilih ke negara asia yang lebih bebas. Disana akses komunikasi dan internet relatif tak terbatas.

Cukup banyak TKI asal Sarwadadi yang memiliki prestasi dalam bidang tulis menulis atau berbagai kegiatan di dunia maya. Seperti blogger beridentitas cewekndeso yang ternyata otaknya begitu jenius plus penuh perhatian ke daerah asalnya, sampai-sampai mendedikasikan segenap energinya yang tersisa untuk mengelola website cilacap online. Selain itu ada juga blogger berjudul cewekbiasa yang ternyata sangat luar biasa. Cuma untuk yang satu ini, katanya off the record.

Sebagai desa penghasil TKI, jangan salah bila warganya banyak yang begitu fasih berbahasa arab atau mandarin sebagai bahasa kedua. Secara kasar anak Sarwadadi begitu lahir ceprot tidak bilang oeee, tapi nihao ma. Namun justru kedekatan kultural yang ditanamkan sejak dini ini yang menjadi modal utama saat mereka merantau ke negeri orang. Mereka yang sebenarnya bisa dibilang orang kaya, tinggal di rumah bagus dengan perabotan elektronik serba otomatis, namun tidak malu untuk berstatus mbabu. Paling tidak, pendekatan itulah yang bisa mengurangi kekerasan majikan terhadap pekerja rumah tangganya.

Sudah menjadi rahasia umum bila kebanyakan PJTKI cuma mau cari untung dan kejar setoran doang. Pelatihan bahasa dan kecakapan rumah tangga diberikan asal saja. Akibatnya pekerja yang tak terbiasa dengan peralatan elektronik plus kurangnya kemampuan bahasa, akan jadi pemicu terjadinya kekerasan. Beberapa teman TKI bilang, bahwa kekerasan itu bukan semuanya karena majikan sadis. Banyak juga kejadian yang dipicu oleh pekerja yang kurang skil atau kemampuan bahasa. Akibatnya apa yang diperintahkan majikan tak sepenuhnya dipahami pekerja. Siang hari bolong majikan minta air es, malah direbusin air. Bayi nangis suruh dikasih biskuit bayi malah dikasih biskuit lebaran atau pisang siyem. Disuruh bikin kue, begitu adonan dimasukan oven, microwavenya ditaruh diatas kompor. Ya pantes saja majikan ngambek.

Mereka yang akan jadi TKI mungkin bisa belajar tentang pendekatan kultural ini ke warga Sarwadadi. Mengandalkan PJTKI atau pemerintah sama juga boong. Hasilnya akan seperti kasus indomie di Taiwan kemarin. Biar kata kita teriak-teriak indomie lebih aman dibanding indocement, tetap saja mereka tak mau tau. Padahal permasalahannya tak begitu rumit dan cuma soal pengakuan kultural saja. Coba nama indomie diganti taimie, kayaknya beres deh...

Siaran langsung dari pertigaan Cigebret Sarwadadi sambil ngemut gembus anget...

Mobile Post via XPeria

Read More

Citra Rewel

Sampai di kampung halaman Citra mendadak rewel. Sebentar-sebentar nangis tanpa penyebab yang jelas. Kalo menurut pemikiranku sih cuma jetlag atau kaget dengan perubahan suasana. Sama rewelnya dengan ketika dia pertama kali dibawa ke Jogja dulu.

Tapi namanya orang kampung, ada-ada saja istilah yang harus aku iyain daripada benjol. Seperti ketika Citra dibawa ke Jogja dan rewel, mbahnya ikut ribut. Membawa bayi keluar kampung halaman seharusnya bawa sejumput tanah agar si bayi tidak nangis karena kangen saudaranya. Yang dimaksud saudara disini adalah ari-ari yang digantung di belakang rumah simbah.

Ketika balik ke kampung yang sama artinya menengok saudaranya, Citra rewel juga. Simbah masih berkilah, ditengok dong ke belakang rumah. Jauh-jauh dari Jogja ga mau nengokin. Iya deh, mbah...

Lain mbahnya lain juga ibunya. Rewelnya Citra katanya gara-gara aku mampir nonton ebeg kemarin. Bukan masalah aku bawa danyang ebeg ke rumah, tapi aku plarak-plirik cewek yang nonton. Katanya kalo ayahnya ga bener di luaran, bisa bikin anak rewel.

Kalo yang ini ga aku iyain, soalnya bisa bikin perang dunia. Untung aku ada saksi kang Gering, yang bisa mendukung bahwa aku ga plarak-plirik. Kalo ngeliatin dan ngajak ngobrol cewek-cewek Adiraja emang iya. Abisnya cakep-cake sih. Dan yang paling penting aku tidak larak-lirik. Titik...

Siaran langsung dari pinggir blumbang sambil menunggu kopi plus mendoan terhidang...

Mobila Post via XPeria

Read More

04 Desember 2010

Kaderisasi Ebegers Adiraja

Perjalanan Jogja menuju Cilacap tetap seperti biasanya melalui jalur selatan selatan atau lebih dikenal dengan jalan Daendels. Sampai di Adipala, aku mampir ke tempat kang Santo (gering.multiply.com) yang lagi pulang kampung. Itung-itung nunut medhang sekalian mojok darat, selama ini cuma kenal tulisan dan gambarnya doang.

Perut lapar dari pagi belum sarapan, disuguh teh nasgitel, bakso full sambel di tengah hari bolong sinambi nonton kuda lumping. Hualah polpolan kepala serasa mendidih. Apalagi makanan penutupnya gembus campur jenang, wis ga nyetel banget pokoknya.

Ketika diajak nonton kuda lumping alias ebeg, awalnya aku tak begitu tertarik. Tapi setelah sampai lokasi, aku melihat banyak keunikan dari grup ebeg itu dibanding yang biasa aku lihat di banyak tempat. Umumnya ebeg saat ini telah berubah menjadi begdut. Ngebegnya dikit dan yang dibanyakin malah dangdutannya. Acara trance alias mendhemnya pun palsu. Kang Gering selaku pakar ebeg buka kartu untuk membedakan mendhem asli atau palsu. Salah satunya adalah kalo habis acara makan beling terus minum air kelapa, berarti itu bohongan. Beling atau silet tidak dikunyah tapi digigit kuat agar tidak tertelan dan ketika pura-pura minum air kelapa, belingnya disemburin kedalam kelapa. Sehingga penonton mengira beling itu beneran ditelan. Tips trik lain tentang perebegan silakan kontak langsung kang Gering deh.

Ebeg Adiraja ini benar-benar unik. Sudah teramat jarang grup seni kuda lumping klasik semacam ini. Proses regenerasinya pun sepertinya berjalan lancar. Mulanya aku pikir anak-anak dan pemuda yang nonton itu cuma ikut-ikutan menari saja mengikuti hentakan gendang yang asik. Namun setelah aku dekati ternyata mereka sudah trance dan makin lama makin banyak. Sampai aku pulang sebelum pertunjukan usai, sudah lebih dari 10 anak usia SD atau SMP yang beneran kemasukan. Belum yang sudah masuk kategori pemuda.

Namun sayang, proses kaderisasi insan seni yang menggembirakan ini tidak ditindaklanjuti pemerintah. Saat aku tanya apa kiprah pemda dalam hal ini budpar dalam membina dan melestarikan seni budaya warisan leluhur ini. Jawabnya cukup memelas. Jangankan dapat dana pembinaan atau minimal sumbangan gamelan atau seragam, sekedar ditengok pun tidak. Kalopun suka diadakan lomba saat agustusan, aku pikir pemda hanya pengen nanggap tanpa harus bayar.

Haruskah kemauan mereka melestarikan budaya bangsa ini harus lenyap ketika urusan perut menghadang hanya karena pemerintah yang buta dan tuli. Apakah mereka memang harus sampai terlunta-lunta ngamen di jalanan mengganggu lalu lintas. Nanti bila ada negara tetangga yang mau memperhatikan dan mengurus, baru ribut mengatakan ada perampokan budaya. Negara yang aneh, pekok, njeleih, dll dll silakan pilih sendiri asal yang jelek-jelek.

Bravo buat insan seni kuda lumping Adiraja atas kesediaannya mempertahankan warisan budaya leluhur. Salut juga dengan kaderisasinya kepada anak-anak muda sampai mereka tak merasa gengsi menggeluti seni yang konon kabarnya sudah ketinggalan jaman.

Yang aku sayangkan cuma satu. Tidak kesampaian ngambil video kang Gering mendhem ebeg buat aku posting. Beliau maunya mendhem wedhokan saja katanya. Payah...

Mobile Post via XPeria

Read More

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena