04 Desember 2010

Kaderisasi Ebegers Adiraja

Perjalanan Jogja menuju Cilacap tetap seperti biasanya melalui jalur selatan selatan atau lebih dikenal dengan jalan Daendels. Sampai di Adipala, aku mampir ke tempat kang Santo (gering.multiply.com) yang lagi pulang kampung. Itung-itung nunut medhang sekalian mojok darat, selama ini cuma kenal tulisan dan gambarnya doang.

Perut lapar dari pagi belum sarapan, disuguh teh nasgitel, bakso full sambel di tengah hari bolong sinambi nonton kuda lumping. Hualah polpolan kepala serasa mendidih. Apalagi makanan penutupnya gembus campur jenang, wis ga nyetel banget pokoknya.

Ketika diajak nonton kuda lumping alias ebeg, awalnya aku tak begitu tertarik. Tapi setelah sampai lokasi, aku melihat banyak keunikan dari grup ebeg itu dibanding yang biasa aku lihat di banyak tempat. Umumnya ebeg saat ini telah berubah menjadi begdut. Ngebegnya dikit dan yang dibanyakin malah dangdutannya. Acara trance alias mendhemnya pun palsu. Kang Gering selaku pakar ebeg buka kartu untuk membedakan mendhem asli atau palsu. Salah satunya adalah kalo habis acara makan beling terus minum air kelapa, berarti itu bohongan. Beling atau silet tidak dikunyah tapi digigit kuat agar tidak tertelan dan ketika pura-pura minum air kelapa, belingnya disemburin kedalam kelapa. Sehingga penonton mengira beling itu beneran ditelan. Tips trik lain tentang perebegan silakan kontak langsung kang Gering deh.

Ebeg Adiraja ini benar-benar unik. Sudah teramat jarang grup seni kuda lumping klasik semacam ini. Proses regenerasinya pun sepertinya berjalan lancar. Mulanya aku pikir anak-anak dan pemuda yang nonton itu cuma ikut-ikutan menari saja mengikuti hentakan gendang yang asik. Namun setelah aku dekati ternyata mereka sudah trance dan makin lama makin banyak. Sampai aku pulang sebelum pertunjukan usai, sudah lebih dari 10 anak usia SD atau SMP yang beneran kemasukan. Belum yang sudah masuk kategori pemuda.

Namun sayang, proses kaderisasi insan seni yang menggembirakan ini tidak ditindaklanjuti pemerintah. Saat aku tanya apa kiprah pemda dalam hal ini budpar dalam membina dan melestarikan seni budaya warisan leluhur ini. Jawabnya cukup memelas. Jangankan dapat dana pembinaan atau minimal sumbangan gamelan atau seragam, sekedar ditengok pun tidak. Kalopun suka diadakan lomba saat agustusan, aku pikir pemda hanya pengen nanggap tanpa harus bayar.

Haruskah kemauan mereka melestarikan budaya bangsa ini harus lenyap ketika urusan perut menghadang hanya karena pemerintah yang buta dan tuli. Apakah mereka memang harus sampai terlunta-lunta ngamen di jalanan mengganggu lalu lintas. Nanti bila ada negara tetangga yang mau memperhatikan dan mengurus, baru ribut mengatakan ada perampokan budaya. Negara yang aneh, pekok, njeleih, dll dll silakan pilih sendiri asal yang jelek-jelek.

Bravo buat insan seni kuda lumping Adiraja atas kesediaannya mempertahankan warisan budaya leluhur. Salut juga dengan kaderisasinya kepada anak-anak muda sampai mereka tak merasa gengsi menggeluti seni yang konon kabarnya sudah ketinggalan jaman.

Yang aku sayangkan cuma satu. Tidak kesampaian ngambil video kang Gering mendhem ebeg buat aku posting. Beliau maunya mendhem wedhokan saja katanya. Payah...

Mobile Post via XPeria

3 comments:

  1. Walah kesenian asli kaya gini yang gak tercampur sama Modernisasi koQ malah ndak di dukung toh? padahal para Gubernur aja banyak yg jalan2 ke Luar Negri, masa buat perawatan gamelan aja mikir 100 X ....

    Smoga tetep Sukses deh buat Ebegers... :P

    BalasHapus
  2. Wah...keren lho mas..
    ngga pernah lihat

    BalasHapus
  3. wah sob...aku jadi pengen nonton nih....
    kapan ya ada di kalimantan???

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena