Orang tua bilang menawi jawah dados owah - apabila hujan apapun jadi berubah. Itu bener banget dikaitkan dengan rencanaku kembali ke Jogja sejak dua hari lalu yang terus tertunda sampai pagi ini.
Sejak beberapa hari lalu, teman-teman yang masih bertahan di lereng Merapi sudah bolak-balik nelpon minta aku segera kesana. Mereka kekurangan tenaga sementara hujan lebat yang terus-terusan mengguyur puncak Merapi membawa lahar dingin jauh sampai ke tengah kota. Berat rasanya bila tak segera kesana mengingat warga Merapi baru beberapa hari kembali ke kampung halaman, namun harus selalu siaga untuk evakuasi sewaktu-waktu secara mandiri. Dukungan pemerintah sampai saat ini masih sebatas wacana di eselon atas yang mungkin baru bisa sampai ke tangan rakyat selepas lebaran monyet.
Tapi harus bagaimana lagi, kondisiku di kampung hampir mirip. Pemda Cilacap yang punya pabrik aspal disebelah kantornya tak pernah mau ngurus yang namanya jalan. Jalan raya antar propinsi saja kondisinya remuk, apalagi cuma jalan kecil menuju kampung bernama Cigebret. Persis kubangan kerbau yang susah dilalui kecuali mau nekat menerobos lumpur sedalam setengah ban. Sebuah dilema karena bencana yang mengatasnamakan hujan.
Hujan...
Begitu banyak orang merindukan dan sama banyaknya yang membencinya. Ada yang mengatakan hujan adalah rahmat ada pula yang menganggap sumber bencana. Untuk aku sendiri, apapun definisi atas hujan tergantung dari apa yang bisa kita lakukan. Bila kita hanya bisa menggerutu saat hujan tiba, itulah saat hujan menjadi bencana.
Walau hujan membawa banjir bandang dan meminta korban, namun bisa membuat kita sadar pentingnya reboasasi dan konservasi alam, membuat kita ingat tanah dan air ini harus diwariskan kepada anak cucu, membuat kita mau tulus membantu saudara-saudara korban bencana, itulah saatnya hujan menjadi rahmatan lil alamin. Hujan menjadi rahmat atau musibah, semua tergantung pada perubahan moral kita menjadi lebih baik atau tidak.
Bagaimana mungkin dikatakan sebagai rahmat bila menelan korban..?
Berupaya menjadi lebih baik memang butuh pengorbanan dan perjuangan. Ketika kita hanya bisa ngomel, itu sama artinya kita telah menyia-nyiakan pengorbanan saudara-saudara kita di tempat bencana. Jangan sia-siakan pengorbanan mereka. Mari belajar merubah diri agar hujan bisa menjadi rahmat bagi semesta alam.
Nek iso...
Mobile Post via XPeria
Sejak beberapa hari lalu, teman-teman yang masih bertahan di lereng Merapi sudah bolak-balik nelpon minta aku segera kesana. Mereka kekurangan tenaga sementara hujan lebat yang terus-terusan mengguyur puncak Merapi membawa lahar dingin jauh sampai ke tengah kota. Berat rasanya bila tak segera kesana mengingat warga Merapi baru beberapa hari kembali ke kampung halaman, namun harus selalu siaga untuk evakuasi sewaktu-waktu secara mandiri. Dukungan pemerintah sampai saat ini masih sebatas wacana di eselon atas yang mungkin baru bisa sampai ke tangan rakyat selepas lebaran monyet.
Tapi harus bagaimana lagi, kondisiku di kampung hampir mirip. Pemda Cilacap yang punya pabrik aspal disebelah kantornya tak pernah mau ngurus yang namanya jalan. Jalan raya antar propinsi saja kondisinya remuk, apalagi cuma jalan kecil menuju kampung bernama Cigebret. Persis kubangan kerbau yang susah dilalui kecuali mau nekat menerobos lumpur sedalam setengah ban. Sebuah dilema karena bencana yang mengatasnamakan hujan.
Hujan...
Begitu banyak orang merindukan dan sama banyaknya yang membencinya. Ada yang mengatakan hujan adalah rahmat ada pula yang menganggap sumber bencana. Untuk aku sendiri, apapun definisi atas hujan tergantung dari apa yang bisa kita lakukan. Bila kita hanya bisa menggerutu saat hujan tiba, itulah saat hujan menjadi bencana.
Walau hujan membawa banjir bandang dan meminta korban, namun bisa membuat kita sadar pentingnya reboasasi dan konservasi alam, membuat kita ingat tanah dan air ini harus diwariskan kepada anak cucu, membuat kita mau tulus membantu saudara-saudara korban bencana, itulah saatnya hujan menjadi rahmatan lil alamin. Hujan menjadi rahmat atau musibah, semua tergantung pada perubahan moral kita menjadi lebih baik atau tidak.
Bagaimana mungkin dikatakan sebagai rahmat bila menelan korban..?
Berupaya menjadi lebih baik memang butuh pengorbanan dan perjuangan. Ketika kita hanya bisa ngomel, itu sama artinya kita telah menyia-nyiakan pengorbanan saudara-saudara kita di tempat bencana. Jangan sia-siakan pengorbanan mereka. Mari belajar merubah diri agar hujan bisa menjadi rahmat bagi semesta alam.
Nek iso...
Mobile Post via XPeria
yup bener Om...
BalasHapussegala sesuatu itu tergantung cara pandang kita, memandangnya sebagai berkah atau bencana...
kadang yang menyebabkan sebuah berkah menjadi bencana itu karena perbuatan kita sendiri -_-"
kayaknya sekarang hujan masih tetap berkah ji... :D ,meskipun kelihatannya banyak menyebabkan masalah akhir2 ini
BalasHapusyup bener sekali
BalasHapusrahmat atau musibah, itu tergantung kita yang melihat dan menyikapinya...
air kecil jadi kawan besar jadi lawan ..... banjir maksudnya he he...
BalasHapusyo sing penting dilakoni dhisik laah.. perkoro mengko kelakon, kasil opo orane ben Gusti Alloh sing ngatur.
BalasHapusBelajar dari orang china, kalo hujan artinya banyak rejeki turun.. tergantung bagaimana menyikapinya koq.
#ngomong opo to iki..
hujan tetap hujan, yang membedakan itu menjadi bencana maupun berkah tergantung dari priLaku dan cara pandang tiap individu. Lebih bijak seperti yang disampaikan pada paragraf terakhir. mantap!.
BalasHapus