Seminggu nyepi di gunung sampai ga sempat ngeblog, ketika kembali ke Ngajogjakarta Hadiningrat ternyata situasi masih saja hangat dengan isyu monarki. Sempat heran juga dengan rakyat Jogja yang selama ini dikenal sebagai manusia yang narimo ing pandhum dan besar ewuh pekewuh bisa terus bergejolak semangatnya.
Awalnya aku memang sedikit enggan untuk ikut campur terlalu banyak dalam isyu itu, karena aku pikir itu cuma tingkah polah orang kurang kerjaan aja. Lagian dengan ikut nyebur disitu, rasa skeptisku kepada pengelola negara ini bisa tambah membludak. Punya pemimpin kok pekok. Kekecewaan tentang janji mengganti sapi korban Merapi saja belum beres dan terlihat gejala akan diulur-ulur seperti korban lapindo, ini sudah ngosak-asik bidang lain. Kalo memang bener jagoan mbok freeport tuh diusik. Kalo emang telanjur ga berani teriak dibelakang pantat Obama, ya urusan jayus apa centuri diberesin.
Anak buahnya yang berjudul Ditjen Otda Kemendagri juga sama koplaknya. Sudah berani mengklaim berdasarkan survai tentang 71% rakyat Jogja setuju dengan pemilihan, begitu didesak untuk menunjukan datanya malah celilian kaya monyet ngemut potas. Mbokyao sekali-kali mengatasi masalah tidak dengan menylimur rakyatnya dengan masalah baru.
Sesuai falsafah hanacaraka, manusia Jogja pasti tak bisa diam ketika posisinya dipepet, disuku, ditaling apalagi ditaling tarung. Satu-satunya sandangan yang bisa bikin mereka tak bersuara adalah dipangku. Esbeye sebagai orang Jawa seharusnya juga memahami ini dan tak mengumbar kebodohan tak jelas. Mengapa beliau tak mau belajar dari Sultan yang selama ini bisa mangku kawulanya sehingga tak aneh bila rakyat lebih menuruti apa kata Sultan dibanding ucapan seorang presiden.
Bila yang dipergunakan adalah alasan demokrasi, setahuku demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ini rakyatnya punya karep kok pemimpinnya ngeyel. Presiden adalah pelayan rakyat. Presiden bukannya raja yang dilayani rakyat. Wong Sultan yang katanya monarki saja bisa mengerti rakyat yang seharusnya menghamba, masa presiden tidak. Apa jangan-jangan di otak presiden yang namanya demokrasi adalah wong demo dikerasi kali ya..?
Sebenarnya, bila melihat apa yang menjadi inti keinginan esbeye, aku sendiri bisa memahami. Beliau ingin membuat ketentuan yang jelas untuk mengantisipasi apabila suatu saat raja dijabat oleh anak-anak atau usia lanjut. Sebagai raja, hal itu mungkin tak jadi masalah. Namun sebagai gubernur, secara nalar kan tak mungkin dijabat anak-anak atau yang sudah pikun. Hanya sayangnya, penyampaiannya kok menohok seperti itu sehingga suasana keburu panas. Padahal sudah menjadi kepastian, orang kalo sudah telanjur ngambek, dibaik-baikin kayak apa aja biasanya tetep akan mengatakan jelek.
Herannya lagi, kenapa harus disampaikan di rapat sesi pertama yang terbuka untuk umum termasuk media. Kalo memang baru sekedar wacana pengelola negara, kan bisa penyampaiannya di rapat sesi kedua yang tertutup untuk umum. Atau memang sengaja melepas umpan ke media agar cepet dapat ikannya. Itu sih sama saja dengan memancing kerusuhan...
Awalnya aku memang sedikit enggan untuk ikut campur terlalu banyak dalam isyu itu, karena aku pikir itu cuma tingkah polah orang kurang kerjaan aja. Lagian dengan ikut nyebur disitu, rasa skeptisku kepada pengelola negara ini bisa tambah membludak. Punya pemimpin kok pekok. Kekecewaan tentang janji mengganti sapi korban Merapi saja belum beres dan terlihat gejala akan diulur-ulur seperti korban lapindo, ini sudah ngosak-asik bidang lain. Kalo memang bener jagoan mbok freeport tuh diusik. Kalo emang telanjur ga berani teriak dibelakang pantat Obama, ya urusan jayus apa centuri diberesin.
Anak buahnya yang berjudul Ditjen Otda Kemendagri juga sama koplaknya. Sudah berani mengklaim berdasarkan survai tentang 71% rakyat Jogja setuju dengan pemilihan, begitu didesak untuk menunjukan datanya malah celilian kaya monyet ngemut potas. Mbokyao sekali-kali mengatasi masalah tidak dengan menylimur rakyatnya dengan masalah baru.
Sesuai falsafah hanacaraka, manusia Jogja pasti tak bisa diam ketika posisinya dipepet, disuku, ditaling apalagi ditaling tarung. Satu-satunya sandangan yang bisa bikin mereka tak bersuara adalah dipangku. Esbeye sebagai orang Jawa seharusnya juga memahami ini dan tak mengumbar kebodohan tak jelas. Mengapa beliau tak mau belajar dari Sultan yang selama ini bisa mangku kawulanya sehingga tak aneh bila rakyat lebih menuruti apa kata Sultan dibanding ucapan seorang presiden.
Bila yang dipergunakan adalah alasan demokrasi, setahuku demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ini rakyatnya punya karep kok pemimpinnya ngeyel. Presiden adalah pelayan rakyat. Presiden bukannya raja yang dilayani rakyat. Wong Sultan yang katanya monarki saja bisa mengerti rakyat yang seharusnya menghamba, masa presiden tidak. Apa jangan-jangan di otak presiden yang namanya demokrasi adalah wong demo dikerasi kali ya..?
Sebenarnya, bila melihat apa yang menjadi inti keinginan esbeye, aku sendiri bisa memahami. Beliau ingin membuat ketentuan yang jelas untuk mengantisipasi apabila suatu saat raja dijabat oleh anak-anak atau usia lanjut. Sebagai raja, hal itu mungkin tak jadi masalah. Namun sebagai gubernur, secara nalar kan tak mungkin dijabat anak-anak atau yang sudah pikun. Hanya sayangnya, penyampaiannya kok menohok seperti itu sehingga suasana keburu panas. Padahal sudah menjadi kepastian, orang kalo sudah telanjur ngambek, dibaik-baikin kayak apa aja biasanya tetep akan mengatakan jelek.
Herannya lagi, kenapa harus disampaikan di rapat sesi pertama yang terbuka untuk umum termasuk media. Kalo memang baru sekedar wacana pengelola negara, kan bisa penyampaiannya di rapat sesi kedua yang tertutup untuk umum. Atau memang sengaja melepas umpan ke media agar cepet dapat ikannya. Itu sih sama saja dengan memancing kerusuhan...
Apa susah sih sebelum dilempar ke khalayak umum, presiden ngajak ngobrol dulu dengan sultan tentang masalah itu secara tertutup. Apakah mekanisme kepempimpinan negara dipegang mendagri, menlu dan menhan ketika presiden dan wakilnya berhalangan bisa diterapkan bila kesultanan dipegang anak-anak. Mengingat dalam sistem kraton pun mengenal sistem perwalian bila raja dianggap belum cukup umur. Apapun itu, kalo diobrolkan dulu sebelum dibuka sepertinya bisa berjalan lebih baik.
Aku tak sampai gabung jadi relawan pendukung referendum memang. Tapi aku setuju slogan sing waras ngalah bisa dilupakan warga Jogja. Sudah saatnya yang waras harus ngotot agar pengelola negara bisa berubah pikiran. Selama rakyat berprinsip yang waras ngalah, wajar banget bila para pejabat tak pernah mau mengalah. Wong mereka memang sudah yakin kalo otaknya memang tidak waras kok...
Maju terus, dab...
Aku tak sampai gabung jadi relawan pendukung referendum memang. Tapi aku setuju slogan sing waras ngalah bisa dilupakan warga Jogja. Sudah saatnya yang waras harus ngotot agar pengelola negara bisa berubah pikiran. Selama rakyat berprinsip yang waras ngalah, wajar banget bila para pejabat tak pernah mau mengalah. Wong mereka memang sudah yakin kalo otaknya memang tidak waras kok...
Maju terus, dab...
masalah jogja ini memang seperti mengusik sebuah ketenangan yah... dan dalam masalah ini aku semakin salut, kagum, dan segan pada Sri Sultan ^^
BalasHapusorang jogjanya nyante aja, nggak masalahin tapi malah orang luar jogja ribut ngurusin.. saya capek mah kalo ngurusin gitu2an..bener deh, sing waras ngalah!
BalasHapuswehh, parikan keren itu : sing waras ngalah :D
BalasHapuskebanyakan orang yang punya "kursi" itu sifatnya emang gitu bang, misal : guru di sekolah pada pengen bener terus daripada muridnya !
kalo saya mah, setuju ama om gaphe. gak mau ikut2, kan sing waras ngalah hehehe
Presidennya tukang curhat, mendagri otak dangkal, Ruhut Sitompul anjingnya presiden. Demokrat? kayak sirkus..gmn mau maju negara ini? Bagusnya Jogjaku jadi negara tanpa Indonesia selama Si SBY masih jadi presiden badut!...
BalasHapussemenjak pemerintahan priode ke-2 ini, kayaknya banyak yang pada kurang kerjaan jadi buat kebijakan-kebijakan yang sakarepe dewe. ndak nyaLahin kebijakan itu juga sih, namanya juga ini negara mereka bukan negaranya rakyat Indonesia. tapi mbok ya ngobroL-ngobroL duLu sama yang punya daerah, nah kaLo udah punya kesepakatan bersama dan sudah punya jaLan tengah baruLah buat kebijakan.
BalasHapus