01 Desember 2010

Shelter

Salah satu kegiatan pokok dalam kegiatan pasca bencana adalah mengupayakan agar masyarakat yang kembali ke kampungnya bisa segera bekerja kembali. Untuk yang rumahnya masih utuh, mungkin hal itu tak terlalu menjadi masalah. Untuk yang rumahnya rusak berat atau total, mau tidak mau harus tetap tinggal di barak sementara sampai janji pemerintah untuk membangun kembali rumah mereka terealisasi.

Hanya saja, kehidupan di barak bukanlah hal yang mudah. Banyak pengungsi yang mulai stres dan terganggu perilakunya. Bagaimanapun juga hidup bersama banyak orang mudah menyulut masalah sosial dan tidak bisa menjaga privasi masing-masing orang. Tak jarang terjadi keributan kecil dan mulai perang dingin dengan tetangga sebelah tikar hanya karena ada barang yang hilang. Perbedaan kualitas bantuan yang diterima pun bisa memancing kecemburuan sosial.

Belum lagi bagi sebagian orang, hasrat biologis seringkali menjadi kebutuhan yang teramat mendesak. Ketiadaan tempat yang privasi bisa menjadi sumber masalah jangka panjang. Memang pemerintah di beberapa tempat pengungsian telah menyiapkan apa yang disebut bilik asmara yang bisa dipergunakan oleh pengungsi dikala kebelet. Namun keharusan lapor petugas untuk minta kunci bilik juga menjadi masalah tersendiri. Pengungsi itu kebanyakan warga pedesaan yang mungkin masih punya rasa ewuh pekewuh sedemikian besar bila harus laporan ke petugas hanya untuk urusan perkenthuan. Tak heran bila petugas sekuriti di stadion Maguwoharjo bilang, pembuatan bilik itu mubazir karena bisa dibilang tidak ada yang mau pakai.

Berawal dari pemikiran itu beberapa lembaga seperti dari NU dan ACT membangun shelter di beberapa lokasi. Shelter ini statusnya sama dengan barak pengungsian sebagai tempat penampungan sementara sebelum rumahnya siap huni. Namun shelter ini hanya dihuni oleh satu keluarga sehingga lebih terjamin keamanan harta benda yang ada dan privasi juga lebih terjaga. Setiap shelter dipersyaratkan luas minimalnya 18 meter persegi dilengkapi sarana rumah tangga minimum dan MCK saja yang berbarengan. Dilengkapi pula dengan kandang ternak bersama untuk komunitas. Lokasi pembangunannya juga harus sedekat mungkin dengan kampung asalnya sehingga penghuni shelter mudah menjangkau kebun atau sawahnya.

Walau sedikit telat, pemerintah pun mulai membangun shelter untuk menggantikan barak-barak pengungsian. Sayangnya pembangunan shelter pemerintah ini dibumbui aroma kurang sedap dari beberapa pejabat yang berwenang. Kondisi shelter swasta katanya memiliki standar yang berbeda dengan shelter pemerintah dan sebaiknya disesuaikan. Shelter swasta yang lebih bagus ditakutkan akan menciptakan kecemburuan sosial antara penghuni shelter swasta dengan shelter pemerintah. Kata bapak pejabat itu, sementara sih biar saja. Tapi bila di kemudian hari menimbulkan gejolak sosial, harus ditindak.

Dan aku pun cuma bisa bilang, ndasku...!!!

4 comments:

  1. whoalaaaaah...

    memang serba salah yah... mau menyediakan tempat agar tidak ada penyalah gunaan maka diberlakukan wajib lapor, tp malah mubazir... >.< tapi emang nggak enak kali yah kalo harus lapor >.<

    terus tuch koq ya bisa ada pemikiran kalo ada masalah baru ditindak >.< mustinya kan mencegah dulu >.<

    BalasHapus
  2. duh bahasanya : perkenthuan... ngakak saya bacanya. kalo diterjemahin pake bahasa gaul jadi perkentotan yak?..~vulgar~
    tapi mikir juga sih, berarti kalo dalam kondisi bencana aja korban masih mikir kebutuhan biologis berarti perkenthuan tuh masuk kbutuhan primer donk!

    BalasHapus
  3. iya juga ya.. ngga mikir masalah biologis segala #eh

    BalasHapus
  4. waduh....repot domng...klo sdh terlanjur basah :D

    apa lagi yg mau ditindaki klo shelternya sdh jadi?

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena