Cilongkrang, sebuah desa kecil di kecamatan Wanareja kabupaten Cilacap memang benar-benar mungil dengan bentuk wilayahnya yang memanjang mengikuti alur jalan raya dan rel kereta api. Pemukiman penduduk yang padat namun sempit berada di tengah lembah yang diapit pegunungan yang menghijau oleh perkebunan karet.
Sampai dengan era 80an, desa di kawasan onderneming peninggalan Belanda itu cukup makmur. Ketika PLN baru menjangkau kota kabupaten, Cilongkrang sudah terang benderang oleh listrik dari pabrik. Sempitnya areal persawahan tak membuat angka pengangguran tinggi, karena sebagian besar warga diserap sebagai tenaga kerja perkebunan. Desa kecil itu jadi begitu hidup mengalahkan kota-kota kecamatan atau kawedanan di sekelilingnya.
Begitu berpengaruhnya perkebunan kepada masyarakat sejak jaman Belanda, sampai-sampai pejabat perkebunan lebih besar pengaruhnya dibanding pejabat pemerintahan. Kepala desa bahkan camat, dulu kalah pamor dibanding sinder. Jarang sekali misalnya anak muda akan mengadakan kegiatan olahraga menemui kepala desa, yang paling dulu diajak rembugan justru pemimpin kebun. Demikian juga dibidang keamanan, polsus yang sebenarnya setingkat satpam saat ini, lebih disegani rakyat dibanding polisi atau tentara. Pokoknya ucapan pejabat perkebunan lebih dituruti warga dibanding yang punya kuasa politik. Persis seperti orang Jogja yang lebih nurut terhadap titah Sultan dibanding omongan esbeyek.
Sejak aku kecil, di plasa depan pabrik dipasang sebuah pesawat televisi untuk umum. Tempat duduk dari bambu berjajar makin ke belakang makin tinggi. Televisi hitam putih itu mulai buka sekita jam 5 sore bersamaan dengan listrik pabrik untuk penerangan menyala. Walau cuma ada siaran TVRI tapi jangan tanya penontonnya. Dari desa tetangga berdatangan berombongan jalan kaki atau naik sepeda. Pedagang pun banyak sekali bak pasar malam, mulai dari penjual kacang, limun, 7up, jajan pasar, mainan anak jadul macam othok-othok sampai yang dagang pakaian. Apalagi kalo habis gajian pabrik tiap tanggal 5 dan 17, lapangan depan pabrik tak mampu menampung lapak pedagang.
Tak cuma ekonomi, bidang-bidang lainpun bisa maju dibawah binaan perkebunan. Kepemudaan dan prasarana olah raga juga tak pernah kekurangan. Dari lapangan bola sampai tenis tersedia. Padahal waktu itu, tenis masih sangat jarang dan dianggap olahraga elit.
Keperluan komunikasi pun pabrik begitu pro rakyat. Telepon onthel satu-satunya di wilayah itu bisa dipakai untuk menerima telepon atau sekedar menitip pesan. Untuk surat pos pun masyarakat lebih suka menggunakan alamat perkebunan daripada alamat desa. Jaman dulu kantor pos tidak punya armada sampai ke desa-desa. Surat beralamat desa akan dititipkan di kecamatan. Ketika ada perangkat desa yang datang ke kecamatan surat itu akan diambil. Sampai balaidesa, surat kembali menunggu ada orang dusun atau RT sesuai alamat tercantum mampir kesana. Akibatnya bisa sebulan lebih surat dari kantor pos baru sampai ke penerima. Apabila menggunakan alamat pabrik, setiap 3 hari ada petugas yang sengaja mengambil ke kantor pos. Surat itu akan dipajang di jendela kantor yang bisa dilihat oleh karyawan, sehingga informasinya cepat sampai ke alamat dimaksud.
Itulah masa keemasan desa tempat aku dibesarkan. Sampai akhir dekade 80an, entah kenapa pabrik dilikuidasi pemerintah. Yang ada hanya perkebunannya saja sedangkan untuk pengolahan dll diangkut keluar daerah. Sejak saat itu Cilongkrang berubah gelap gulita lebih dari 10 tahun saat PLN masuk di akhir 90an.
PHK besar-besaran juga merubah pola hidup masyarakat. Sempitnya areal pesawahan membuat hanya sedikit yang bisa bertani. Apalagi setelah pemerintah membangun avoor atau saluran pembuangan air yang maksudnya untuk mengeringkan rawa bombak atau pernah dikenal dengan nama rawa lakbok. Saluran yang ternyata tidak berfungsi itu telah menyita sebagian lahan pesawahan yang subur. Areal produktif yang sempit dibuat semakin sempit tanpa hasil yang jelas.
Sebagian besar terpaksa hijrah sebagai perantau ke kota-kota besar terutama Jakarta. Tak heran bila Cilongkrang kini hanya ramai saat lebaran saja ketika para perantau pulang mudik. Hijrahnya sebagian warga juga membuat pasar tradisional mati dengan sendirinya. Stasiun kereta api pun ikut ditutup karena penumpang makin jarang dan yang paling penting tidak ada lagi karet olahan pabrik yang diangkut menggunakan kereta api.
Kini, desa yang pernah makmur dibawah feodalisme ondeneming warisan Belanda itu telah merana oleh kebijakan privatisasi BUMN pemerintah Indonesia raya. Keadaannya bak kerakap diatas batu, hidup segan mati tak mau. Bahkan beberapa waktu lalu sempat tak punya kepala desa bertahun-tahun akibat enggannya warga mencalonkan diri menjadi pemimpin di desa tertinggal yang minus itu. Untung saja sekarang ada seorang pemuda tukang tambal ban bernama Topik yang mau menjadi kepala desa, sehingga roda pemerintahan bisa kembali berjalan.
Semoga suatu saat nanti semua itu bisa kembali. Walau mungkin harus menunggu ada yang menawarkan satu permintaan. Ngimpiiii....
Sabarlah, Cilongkrangku...
Trimak-trimakno nasibmu kini...
Mobile Post via XPeria
Sampai dengan era 80an, desa di kawasan onderneming peninggalan Belanda itu cukup makmur. Ketika PLN baru menjangkau kota kabupaten, Cilongkrang sudah terang benderang oleh listrik dari pabrik. Sempitnya areal persawahan tak membuat angka pengangguran tinggi, karena sebagian besar warga diserap sebagai tenaga kerja perkebunan. Desa kecil itu jadi begitu hidup mengalahkan kota-kota kecamatan atau kawedanan di sekelilingnya.
Begitu berpengaruhnya perkebunan kepada masyarakat sejak jaman Belanda, sampai-sampai pejabat perkebunan lebih besar pengaruhnya dibanding pejabat pemerintahan. Kepala desa bahkan camat, dulu kalah pamor dibanding sinder. Jarang sekali misalnya anak muda akan mengadakan kegiatan olahraga menemui kepala desa, yang paling dulu diajak rembugan justru pemimpin kebun. Demikian juga dibidang keamanan, polsus yang sebenarnya setingkat satpam saat ini, lebih disegani rakyat dibanding polisi atau tentara. Pokoknya ucapan pejabat perkebunan lebih dituruti warga dibanding yang punya kuasa politik. Persis seperti orang Jogja yang lebih nurut terhadap titah Sultan dibanding omongan esbeyek.
Sejak aku kecil, di plasa depan pabrik dipasang sebuah pesawat televisi untuk umum. Tempat duduk dari bambu berjajar makin ke belakang makin tinggi. Televisi hitam putih itu mulai buka sekita jam 5 sore bersamaan dengan listrik pabrik untuk penerangan menyala. Walau cuma ada siaran TVRI tapi jangan tanya penontonnya. Dari desa tetangga berdatangan berombongan jalan kaki atau naik sepeda. Pedagang pun banyak sekali bak pasar malam, mulai dari penjual kacang, limun, 7up, jajan pasar, mainan anak jadul macam othok-othok sampai yang dagang pakaian. Apalagi kalo habis gajian pabrik tiap tanggal 5 dan 17, lapangan depan pabrik tak mampu menampung lapak pedagang.
Tak cuma ekonomi, bidang-bidang lainpun bisa maju dibawah binaan perkebunan. Kepemudaan dan prasarana olah raga juga tak pernah kekurangan. Dari lapangan bola sampai tenis tersedia. Padahal waktu itu, tenis masih sangat jarang dan dianggap olahraga elit.
Keperluan komunikasi pun pabrik begitu pro rakyat. Telepon onthel satu-satunya di wilayah itu bisa dipakai untuk menerima telepon atau sekedar menitip pesan. Untuk surat pos pun masyarakat lebih suka menggunakan alamat perkebunan daripada alamat desa. Jaman dulu kantor pos tidak punya armada sampai ke desa-desa. Surat beralamat desa akan dititipkan di kecamatan. Ketika ada perangkat desa yang datang ke kecamatan surat itu akan diambil. Sampai balaidesa, surat kembali menunggu ada orang dusun atau RT sesuai alamat tercantum mampir kesana. Akibatnya bisa sebulan lebih surat dari kantor pos baru sampai ke penerima. Apabila menggunakan alamat pabrik, setiap 3 hari ada petugas yang sengaja mengambil ke kantor pos. Surat itu akan dipajang di jendela kantor yang bisa dilihat oleh karyawan, sehingga informasinya cepat sampai ke alamat dimaksud.
Itulah masa keemasan desa tempat aku dibesarkan. Sampai akhir dekade 80an, entah kenapa pabrik dilikuidasi pemerintah. Yang ada hanya perkebunannya saja sedangkan untuk pengolahan dll diangkut keluar daerah. Sejak saat itu Cilongkrang berubah gelap gulita lebih dari 10 tahun saat PLN masuk di akhir 90an.
PHK besar-besaran juga merubah pola hidup masyarakat. Sempitnya areal pesawahan membuat hanya sedikit yang bisa bertani. Apalagi setelah pemerintah membangun avoor atau saluran pembuangan air yang maksudnya untuk mengeringkan rawa bombak atau pernah dikenal dengan nama rawa lakbok. Saluran yang ternyata tidak berfungsi itu telah menyita sebagian lahan pesawahan yang subur. Areal produktif yang sempit dibuat semakin sempit tanpa hasil yang jelas.
Sebagian besar terpaksa hijrah sebagai perantau ke kota-kota besar terutama Jakarta. Tak heran bila Cilongkrang kini hanya ramai saat lebaran saja ketika para perantau pulang mudik. Hijrahnya sebagian warga juga membuat pasar tradisional mati dengan sendirinya. Stasiun kereta api pun ikut ditutup karena penumpang makin jarang dan yang paling penting tidak ada lagi karet olahan pabrik yang diangkut menggunakan kereta api.
Kini, desa yang pernah makmur dibawah feodalisme ondeneming warisan Belanda itu telah merana oleh kebijakan privatisasi BUMN pemerintah Indonesia raya. Keadaannya bak kerakap diatas batu, hidup segan mati tak mau. Bahkan beberapa waktu lalu sempat tak punya kepala desa bertahun-tahun akibat enggannya warga mencalonkan diri menjadi pemimpin di desa tertinggal yang minus itu. Untung saja sekarang ada seorang pemuda tukang tambal ban bernama Topik yang mau menjadi kepala desa, sehingga roda pemerintahan bisa kembali berjalan.
Semoga suatu saat nanti semua itu bisa kembali. Walau mungkin harus menunggu ada yang menawarkan satu permintaan. Ngimpiiii....
Sabarlah, Cilongkrangku...
Trimak-trimakno nasibmu kini...
Mobile Post via XPeria
kok maLah terbaLik yah, justru penurunan aktifitas pembangunan :D
BalasHapusharus kembali ke jaman belanda kah, om..?
Hapustrimak trimakno nasibmu kini
BalasHapusbenar benar khas wong jowo ya
yang selalu "nrimo" atas segala kondisi yang diterima
nJowo banget yo..?
HapusPotone umaeh pak sinder kuwi yo mas.... :D
BalasHapusNek jaman biyen disebut umaeh pak pemimpin :D
HapusDahsyat, Mas Raw, mampu menampilkan kegetiran hidup dengan halus. Ini kalau ditulis jadi novel bisa ngalahin karya Kang Tohari nih.
BalasHapusHalah...
HapusSungkem doang kalo ke mbah Ahmad Tohari...
mas raw njenengan sinten toh mas? kok critane bener-bener pas banget
BalasHapussoale bapaku, masku, mbakku juga aq pernah kerja di PT tsb.
malah sekarang ini mbakku msh aktif bekerja.
Umaeh nyong kulon lapang, lik...
HapusPersis sebrang kalenan
Oh sing enek papringane ya
Hapusakau lahir di cilongkrang, bapaku polsus, lulusan sd tarisi iv.... apa kabar cilongkrang, untung esih ana warunge mba saripah jadi cilongkrang esih rame ndean mbok...
BalasHapusla kon sih pada nang endi aku ya cilongkrang cikadu jabang bayi ra pada genah
HapusSaripah Mart pancen tiada lawan :D
Hapuswah, warunge mba saripah siki wis ra patia eksis..
BalasHapusmbuh siki sing eksis nang kana apa nyong ra weruh..
Tesih, lik
HapusMung kalah nang warunge Yuli anake sing mbarep
Warung hasil kolaborasi Saripah vs Mambrah..
Siiip, Cilongkrang banget Giye jenenge ....
BalasHapusBerita baru , sejak bulan Juni 2012 lalu klo mau ke Gunung Jambu, diturunan preuweh sudah diaspal lho ....
Salam warga cilongkrang, SD Tarisi IV lulus tahun 1986
apa naruh esih nang stasiun ? kae kancaku sd karo toto, trisno juga dibyo siki dibyo nang krakatau steel ko ora kenal lah kowe brayane kolorku eslih ku 81 tamat S L A
HapusTerakhir bali kampung, dalan Cikadu kayane malah wis ajur maning, lik
HapusMas Naruh ya apal wong biyen sok dolan stapsiun. Bareng tapsiune dibubrah mbuh terus mengendi ra tau krungu...
Taun 81 nyong esih esde, lah... :D
Jenengku cilik Agus
BalasHapusbapake siki manggone nang endi ya..?
HapusMartin Banjaranyar kidul sepur ya, lik..?
Hapuscilongkrang desane mbahku rukiyah. wong sak ndesa cilongkrang kenal karo mbahku. omahe persis seberang jalan ngarep bangunan omah gedong. pengen tilik aku nang cilongkrang. suwun mas. sigit
BalasHapusDela maning bada masa ora balik..?
Hapusayu bangkit cilongkrang...
BalasHapusKepengine sih kaya kuwe...
Hapuscilongkrang rep dadi apa mbuh nanggap wayangan bae yuh ben ana grengsenge
BalasHapusYa ngesuk bada mbok pawarang biasane wayangan..?
Hapussampean siki pada nang endi sih ora pada katon nang jkt apa ?
BalasHapusPawarang esih cokan kumpul kumpul mbok nang Jakarta
HapusNek nyong tah anu nylentha, mblusuk meng alas Kalimantan...
bagus mas rawins, desa cilongkrang hrus di kembangkan kembali supaya lebih maju,, postingannya kalo di buat buku bagus mas, bolehkah
BalasHapusHihihi buku apa..?
HapusBuku tulis halus ya...
Kangen masa kecil ku di cilongkrang huhu . .
BalasHapusikhlasin aja ga bakal kembali kok, hehe
Hapusmbahku penayagane dalang parno..tukang nabuh gong..
BalasHapuspenabuh gong bukane kaki yasa..?
Hapustp nah cilongkrang nek di tinggal merantau ngangeni lah,,,,,
BalasHapusKie mS hebring wong lor ya... Cedak langgare pak munjirin
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMas Rawin angkatan tahun prira ya ning Tarisi IV, kayane bareng adikku lho. Gemiyen aku manggonning gedong Cilongkrang. Seangkatan karo Eko putrane Pak Surip Guru Matematika
BalasHapusNonton video kaset betamax di gedung dekat lap. tenis klo gak salah. Waktu itu judulnya pendekar bukit tengkorak...( klo gak salah juga))))
BalasHapus