04 Desember 2010

Mencoba Prihatin

Orang hidup memang sawang sinawang dan semua pilihan pasti mengandung resiko. Seperti ketika memutuskan untuk putus hubungan dengan yang namanya mobil, awalnya begitu damai. Namun ketika harus pulang kampung seperti saat ini, kerasa juga ribetnya. Citra dan ibunya berangkat naik travel dan aku menyusul pakai sepeda motor. Bisa sih berangkat bareng pakai travel, cuma nanti di kampung ribet tidak ada kendaraan. Apalagi dari rumah ortu ke jalan raya jaraknya sekitar 5 km dan transportasi satu-satunya adalah ojek.

Masalah lain adalah keponakanku yang pasti ngambek seperti pas mudik terakhir kemarin. Karena sudah kebiasaan setiap aku pulang pasti jalan-jalan, ketika aku pulang naik motor kemarin dia gabisa ditanya sampai 2 hari. Ponakan cute tapi mutungan, hehe...

Pertimbangan awalnya sebenarnya dari sebuah cita-cita. orang Jawa bilang bila sedang menginginkan sesuatu kita harus mangan longan turu longan. Mengurangi makan dan tidur dalam artian prihatin mengurangi kesenangan sementara sampai cita-citanya tercapai. Terinspirasi burung pun membuatkan sarang untuk pasangan dan anak-anaknya, masa aku tak bisa membuatkan rumah untuk anak istriku. Selamanya jadi kontraktor kan tidak nyaman.

Dan salah satu sumber pemborosan adalah kendaraan. Memang tak seberapa kalo hanya mikir bensin saja. Masalahnya ketika ada kendaraan, asal bengong sedikit pengennya keluar rumah. Niat awalnya cuma jalan-jalan. Tapi nyatanya kalo sudah muter-muter akhirnya mampir-mampir. Dan buntut-buntutnya tak jarang jadi borong-borong.

Saat pulang kampung pun sama. Jogja Cilacap itu normalnya 3 jam nyampe. Masa berangkat jam 9 pagi nyampe rumah ortu bisa jam 9 malem. Asal ada sesuatu yang kelihatan asik langsung parkir. Dari perempatan buntu tinggal ke selatan dikit dah nyampe, seringnya malah belok kanan ke arah Purwokerto dulu hanya karena pengen soto Sokaraja. Belum lagi setelah sampai di kampung, keponakan-keponakan pasti ribut ngajak jalan. Sudah gitu, adik-adik atau ortu suka nodong juga main ke Pangandaran atau Baturaden. Jadinya tidak mungkin bisa pulang kampung hemat. Bagaimanapun beban mental seorang perantau memang teramat berat. Orang kampung selalu menganggap perantau sebagai orang sukses dan banyak duit.

Eh, ndilalah kersane ngallah. Pada saat keinginan berhemat mulai ditindaklanjuti, statusku malah berubah jadi pengangguran. Yasudah, makin hemat cermat dan bersahaja saja menjalani hidup. Kadang ada sih keinginan untuk hidup nyaman lagi seperti sebelumnya. Tapi cita-cita tentang rumah agaknya jauh lebih penting.

Toh falsafah Jawa tentang priya utama akan garwa (istri), tata urutannya adalah griya (rumah), baru turangga (kuda atau kendaraan) dan kukila (burung). Walau nyatanya keadaanku kebalik. Untuk dapat garwa dulu modalku cuma kukila doang...

1 comments:

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena