Hidup bersama banyak orang memang memiliki keunikan tersendiri. Apalagi bila yang berkumpul disitu adalah anak-anak muda yang kadang hanya pinter secara akademis namun masih kurang dengan pengalaman lapangan. Ketika menemukan pengalaman baru, mereka kadang merasa perlu untuk mengikuti agar tidak terlihat oon atau oot. Sayangnya mereka suka asal comot saja tanpa mau menelusur lebih lanjut asal muasalnya.
Seperti dalam penggunaan radio komunikasi misalnya. Bolak-balik aku bilang kepada mereka agar menggunakan gaya bahasa yang biasa seperti dalam komunikasi sehari-hari. Terutama bila itu menyangkut tentang berita atau informasi penting yang bersifat darurat. Namun tetap saja sebagian dari mereka seolah merasa tak afdol bila tidak mengikuti gaya bahasa breaker walau acakadut. Tak jarang aku dengar ada kata-kata ajaib seperti, roger dicopy dimonitor begitu ganti tewewewwww...
Entah grogi atau memang lagi kemaruk dengan mainan baru. Dalam menyampaikan berita pun tak jarang malah bikin bingung orang lain. Apalagi bila sudah menggunakan kode atau sandi yang menggunakan angka, wes mirip pasar bubrah ketubruk erupsi. Mereka asal pakai saja apa yang pernah didengar tanpa mau tahu bahwa kode-kode itu secara umum ada dua jenis. Yang satu adalah Ten Code yang biasa digunakan oleh kelompok radio antar penduduk RAPI. Yang satu lagi adalah yang digunakan oleh kepolisian.
Penggunaan dua jenis kode yang berbeda secara campur aduk, tentu bikin bingung mereka yang mengerti. Walau kalo aku lihat mereka yang asal pake itu malah enjoy dengan bahasa itu. Mereka seringkali mencampuradukan kode 33 milik polisi yang artinya kecelakaan dengan 10-33 Ten Code yang artinya keadaan darurat. Yang paling sering dipakai mungkin kode 10-2 yang dalam Ten Code artinya penerimaan sinyal bagus atau informasi diterima dengan jelas. Padahal dalam sandi kepolisian 102 itu artinya posisi. Untuk penerimaan informasi yang jelas disandikan dengan kode 86. Padahal menggunakan radio komunikasi secara awam tanpa harus selalu bilang 86, menurutku justru lebih baik di tengah bencana semacam ini. Kesalahpahaman komunikasi sedikit saja bisa berakibat fatal bila menyangkut soal evakuasi misalnya.
Jangankan yang pakai kode-kode rumit, yang sifatnya umum juga banyak yang salah pakai kok. Misalnya istilah CP. Entah berapa kali aku ketemu orang yang menanyakan harus menghubungi siapa. Ketika aku jawab misalnya Eko, eh dia nanya lagi, CP nya berapa. Awalnya aku sempat bengong dengan pertanyaan susulan itu sampai akhirnya aku ngeh kalo CP itu ada yang mengartikannya sebagai Cell Phone alias nomer hape, bukannya Contact Person. Hhhhh, mbokyao pakai bahasa yang mudeng aja kenapa sih..?
Tapi tidak semuanya begitu kok. Ada juga yang begitu nasionalis dan selalu bicara dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam setiap kesempatan. Aku tanya dalam berbagai bahasa dari bahasa inggris, jawa, tubuh sampai bahasa binatang, tetap akan menjawab dengan bahasa Indonesia. Setelah aku vonis dia orang tak mudeng bahasa Jawa, baru saat itu dia ngaku kalo dia orang Magelang. Pantesan aja ngambek pas aku gosipin pakai bahasa Jawa. Ternyata bisa juga tho ngomong Jawa dan cuma merasa ga sreg aja dengan bahasa ibunya. Ga gaul katanya kalo ga ngomong lu gue.
Tapi gapapalah. Walau demi alasan gaul, yang pentingkan bisa 86 dengan yang lain. Toh ini cuma masalah bahasa komunikasi bukan soal nasionalisme. Obama atau Justin saja maksa pakai bahasa Indonesia walau cuma sepotong, agar dianggap lebih 86 dengan masyarakat Indonesia. Biarpun maksa, tapi ya jangan seperti Cinta Laura seperti saat tampil di tipi kemarin. Dia nyanyi begini :
So why or a jump you..
Jump you go down tell a..
So why or a cat em you..
Cat em you peace and ga why gell a...
Ketika ditanya lagu apa itu, dengan gegap gempita dia menjawab, "suwe ora jamu.."
Demikian lapan anam...?
Seperti dalam penggunaan radio komunikasi misalnya. Bolak-balik aku bilang kepada mereka agar menggunakan gaya bahasa yang biasa seperti dalam komunikasi sehari-hari. Terutama bila itu menyangkut tentang berita atau informasi penting yang bersifat darurat. Namun tetap saja sebagian dari mereka seolah merasa tak afdol bila tidak mengikuti gaya bahasa breaker walau acakadut. Tak jarang aku dengar ada kata-kata ajaib seperti, roger dicopy dimonitor begitu ganti tewewewwww...
Entah grogi atau memang lagi kemaruk dengan mainan baru. Dalam menyampaikan berita pun tak jarang malah bikin bingung orang lain. Apalagi bila sudah menggunakan kode atau sandi yang menggunakan angka, wes mirip pasar bubrah ketubruk erupsi. Mereka asal pakai saja apa yang pernah didengar tanpa mau tahu bahwa kode-kode itu secara umum ada dua jenis. Yang satu adalah Ten Code yang biasa digunakan oleh kelompok radio antar penduduk RAPI. Yang satu lagi adalah yang digunakan oleh kepolisian.
Penggunaan dua jenis kode yang berbeda secara campur aduk, tentu bikin bingung mereka yang mengerti. Walau kalo aku lihat mereka yang asal pake itu malah enjoy dengan bahasa itu. Mereka seringkali mencampuradukan kode 33 milik polisi yang artinya kecelakaan dengan 10-33 Ten Code yang artinya keadaan darurat. Yang paling sering dipakai mungkin kode 10-2 yang dalam Ten Code artinya penerimaan sinyal bagus atau informasi diterima dengan jelas. Padahal dalam sandi kepolisian 102 itu artinya posisi. Untuk penerimaan informasi yang jelas disandikan dengan kode 86. Padahal menggunakan radio komunikasi secara awam tanpa harus selalu bilang 86, menurutku justru lebih baik di tengah bencana semacam ini. Kesalahpahaman komunikasi sedikit saja bisa berakibat fatal bila menyangkut soal evakuasi misalnya.
Jangankan yang pakai kode-kode rumit, yang sifatnya umum juga banyak yang salah pakai kok. Misalnya istilah CP. Entah berapa kali aku ketemu orang yang menanyakan harus menghubungi siapa. Ketika aku jawab misalnya Eko, eh dia nanya lagi, CP nya berapa. Awalnya aku sempat bengong dengan pertanyaan susulan itu sampai akhirnya aku ngeh kalo CP itu ada yang mengartikannya sebagai Cell Phone alias nomer hape, bukannya Contact Person. Hhhhh, mbokyao pakai bahasa yang mudeng aja kenapa sih..?
Tapi tidak semuanya begitu kok. Ada juga yang begitu nasionalis dan selalu bicara dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam setiap kesempatan. Aku tanya dalam berbagai bahasa dari bahasa inggris, jawa, tubuh sampai bahasa binatang, tetap akan menjawab dengan bahasa Indonesia. Setelah aku vonis dia orang tak mudeng bahasa Jawa, baru saat itu dia ngaku kalo dia orang Magelang. Pantesan aja ngambek pas aku gosipin pakai bahasa Jawa. Ternyata bisa juga tho ngomong Jawa dan cuma merasa ga sreg aja dengan bahasa ibunya. Ga gaul katanya kalo ga ngomong lu gue.
Tapi gapapalah. Walau demi alasan gaul, yang pentingkan bisa 86 dengan yang lain. Toh ini cuma masalah bahasa komunikasi bukan soal nasionalisme. Obama atau Justin saja maksa pakai bahasa Indonesia walau cuma sepotong, agar dianggap lebih 86 dengan masyarakat Indonesia. Biarpun maksa, tapi ya jangan seperti Cinta Laura seperti saat tampil di tipi kemarin. Dia nyanyi begini :
So why or a jump you..
Jump you go down tell a..
So why or a cat em you..
Cat em you peace and ga why gell a...
Ketika ditanya lagu apa itu, dengan gegap gempita dia menjawab, "suwe ora jamu.."
Demikian lapan anam...?
Kijang satu merapat----kijang satu merapat wekwekwekwekwek...!!!
BalasHapusKalau ngedenger kaya ginian ingat film dono BRAD hehehehe...!!!
Gimana ni merapi sudah kondusif pa blum. Maaf br bs brkunjung ni brad.
laah.. bukannya 86 tuh artinya : SIAAP! yak?
BalasHapushemm kalo di Makassar, 86 tuh dilafalkan Lapang Anang.. hehehe :P
salam sahabat
BalasHapussalam kenal sekalian izin follow ya
terima kasih
blognya keren dihalaman depan tampak sepi
BalasHapustapi didalamnya sangat ramai
klo tempatku bukan lapan anam tapi lha panganan....he...he...
BalasHapus