Saya memiliki seorang teman kecil yang lincah dan lucu, sebut saja namanya Rio. Keindahan masa kanak-kanaknya tidak bisa sepenuhnya dinikmati dengan kondisi keluarganya yang boleh dibilang berantakan. Dan sore tadi Rio saya ajak jalan-jalan melepas kejenuhan di pekerjaan.
Di sebuah keramaian kami bertemu dengan seorang anak muda yang saya tahu pernah andil dalam menghancurkan masa depan teman kacil saya. Rio tiba-tiba nyeletuk, "mas, ada om anu tuh."
Saya diam sejenak lalu bertanya, "kok sekarang manggilnya om. Kayaknya dulu kamu manggilnya ayah?"
"Itu kan dulu, mas. Sama ibu harus manggil ayah. Ibu juga manggilnya gitu."
"Trus, ke ayah kamu manggilnya gimana?"
"Ya ayah Rio. Kalo ke om itu ayah aja."
"Emang kamu suka ayahmu baru."
"Ya engga mau. Masa ayah diganti. Tapi kalo bilang gitu, ibu marah-marah. Jadi pura-pura nurut aja."
Saya diam lagi menarik nafas panjang. "Itu kan dulu, sekarang ayah Rio ga jadi baru dong?"
"Sekarang kan udah ada ayah baru lagi. Tapi jauh, cuma kenal di internet. Kata ibu lebih cakep dan lebih kaya dariada ayah Rio."
"Kamu mau?"
"Ya engga, tapi gimana. Tar malah diusir dari rumah seperti ayah Rio dulu. Pengennya sih ikut ayah aja, tapi ga boleh. Karena kata ibu ayah Rio jahat."
"Emang ayah Rio jahat..?"
"Biar jahat, Rio lebih suka ikut ayah. Soalnya ga pernah marah-marah kaya ibu. Juga ga pernah ganti-ganti ibu. Buat Rio, kejahatan ayah hanya satu, ayah terlalu pengalah."
"Masa sih ibumu jahat. Kelihatannya baik hati tuh sekarang."
"Sekarang memang baik karena dapat ayah baru yang kaya. Rio juga disuruh bilangin ayah Rio agar cepetan cari ibu baru biar ga gangguin ibu lagi."
Kali ini saya terdiam lama banget sambil menekan pedal gas dalam-dalam dengan harapan tekanan batin teman kecil itu ikut terbuang bersama asap knalpot.
Saya sendiri tak habis pikir. Ibunya yang sekarang kelihatan baik dan taat beribadah itu bisa sampai mengabaikan mental seorang anak kecil yang masih polos. Walaupun dia punya catatan buruk di masa lalu, tapi saya yakin dia tidak sejahat seorang
teman perempuan saya.
Kalau kita buka penjelasan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di pasal 13 ayat d yang menyebutkan :
Perlakuan yang kejam, misalnya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan peng¬aniayaan, misalnya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial. Tapi kenapa hanya kekerasan fisik saja yang disorot. Dan yang lebih menyakitkan adalah istilah Kekerasan Dalam Rumah Tangga itu lebih ditekankan pada kekerasan fisik suami kepada istri. Tapi kekerasan psikis ibu ke anak tidak pernah ada gaungnya, walaupun data
Komisi Perlindungan Anak Indonesia telah berani menyebut
angka kekerasan terhadap anak 80% dilakukan oleh ibu kandungnya.
Tidakkah terbayang apa yang ada dalam benak seorang anak kecil, disaat dia dipaksa untuk berkali-kali menyebut orang lain sebagai ayah? Sementara dia tahu ayahnya masih ada dan terusir dari rumah hanya karena terlalu pengalah? Tak usahlah kita pikirkan apa yang ada dalam otak sang ayah, karena bagaimanapun dia adalah manusia dewasa. Tapi begitu teganya seorang ibu kandung hanya demi
"sesuatu yang lebih" mau merampas hak anak akan kasih sayang seorang ayah kandung.
Beda kasus kalau ayah kandungnya itu benar-benar tidak mau peduli atau benar-benar melakukan kekerasan di rumah itu. Walaupun tetap saja dalam sebuah konflik, pasti ada sebab akibatnya. Misalnya ibunya bisa berbuat seperti itu, karena memang ayahnya yang tidak mampu mendidik istri dengan baik. Mengalah tidak selamanya bagus buat kesehatan.
Bagaimana dengan ayah barunya? Saya bisa melihat dari dua sisi. Satu sisi dia salah. Dia masuk ke wilayah konflik, sehingga memicu perpecahan semakin besar karena salah satu pihak merasa memiliki tempat pelarian. Di lain sisi dia tidak bisa sepenuhnya disalahkan, karena mungkin dia hanya memperoleh informasi yang sepihak. Sehingga timbul iba dan belas kasihan setelah melihat ada seorang perempuan lemah yang menghiba-hiba mengumbar penderitaan dan teraniaya. Niatnya baik, menolong sesama yang lemah, walaupun mengabaikan ada pihak lain yang juga menjadi teraniaya dengan tidak melakukan
crosscheck ke berbagai sumber.
Huuuh... persetan lah.
Malah jadi sibuk mikirin orang lain. Sudahlah, mendingan kembali ke habitatnya masing-masing walaupun saya pun
orang yang terbuang. Semoga saja teman kecilku itu bisa menemukan kembali kebahagiaannya yang hilang. Dan orang-orang yang tanpa sadar menganiaya temanku itu segera sadar. Dan semoga Tuhan tak pernah kehabisan maaf untuk mereka yang
mengatasnamakan cinta tapi merusak definisi cinta itu sendiri.
Tetap semangat teman kecilku...
Saya akan tetap menjadi teman baikmu...
Seperti halnya
kesunyian jiwa yang setia menemani hidupku...
Semoga...