Ada seorang teman cewek, dia penyanyi yang sedang kebanjiran job setelah lebaran ini. Semalam dia nelpon dengan suara serak dah habis-habisan. Ketika saya suruh istirahat jangan berangkat setiap hari, dia malah menjawab begini :
"Mumpung ada kesempatan, mas. Kerjaan saya memang begini. Kalo engga berangkat, saya harus makan apa...?"
Harus makan apa..? Harus makan apa..?
Itu yang terus terngiang di telinga saya.
Saya jadi teringat, hampir delapan tahun yang lalu, ketika saya masih jadi tukang bersih-bersih telepon umum. Nama besar Telkom tak mampu menggaji saya sampai 4 bulan hanya karena carut marut manajemen dengan Aria West sebagai mitra KSO. Setiap hari saya memberi makan keluarga saya dengan cara mengambil coin yang salah jalur masuk ke blok mesin di boks telepon umum hanya untuk bertahan hidup.
Ketika ada PHK halus-halusan dengan istilah pensiun dini, saya ikut. Pesangon yang tidak terlalu besar saya gunakan untuk membuka usaha dan alhamdulillah setahun kemudian saya bisa memonopoli penyediaan alat wartel di wilayah Priangan Timur. Saat itu biaya hidup tak lagi jadi pikiran.
Ketika angin otonomi daerah berhembus meruntuhkan saya, saya terpuruk hampir ke titik nol di serang kanan kiri dengan dalih bukan putra daerah. Saya pun kembali ke kampung halaman membawa bekal yang tersisa. Membuat gubuk mungil di sisi jalan kereta api. Saya jualan rokok dan istri saya jualan es campur. Setahun setelah itupun saya sudah bisa bangkit lagi dan menguasai pasar service komputer untuk wilayah Cilacap barat.
Sampai detik ini saya sudah berulang kali jatuh bangun dalam masalah usaha. Dan saya amati, ketika posisi saya di atas maupun di bawah, saya selalu merasa bahwa uang saya kurang. Ketika omset saya mencapai satu juta, saya pikir kalau bisa dua juta pasti saya tenang. Tapi nyatanya tidak, saya malah berharap memperoleh tiga juta. Sehingga, kesimpulan saya, dimanapun posisi saya, saya sama seperti teman saya tadi. Isinya hanya ketakutan dan ketakutan akan kekurangan uang.
Padahal kalau saya amati dari lain sisi, di segala posisi itu saya tidak pernah tidak pakai baju. Saya tidak pernah sampai kekurangan makan. Kalau hanya masalah rasa, nyatanya saya lebih bisa menikmati makan sega pecel di Wijilan dari pada makan pizza di Ambarukmo Plaza.
Saya jadi bertanya kepada diri saya sendiri. Mengapa kita sering ketakutan menjadi miskin dan kekurangan uang, bila nyatanya di posisi paling miskin sekalipun saya masih bisa makan dengan nikmat. Dan kenyataan pula di posisi tidak miskin, keluarga saya malah menjadi berantakan.
Masa depan pun nyata sekali bukan semata karena uang. Setahun lalu saya hanya berbekal kaos 2 stel tanpa sepatu apalagi ijasah, tidurpun di sebelah halte busway Pasar Senen. Hanya berbekal kemauan, alhamdulillah saya bisa seperti ini. Sebaliknya, berapa banyak sarjana dari perguruan tinggi terkenal di Jogja yang seringkali datang atau nelpon saya minta dibantu untuk bisa bekerja disini.
Jadi terpikirkan sekarang.
Sudah saatnya buat saya untuk belajar miskin.
Dan belajar untuk membuang ketakutan serta teriakan, "saya harus makan apa...???"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
tulisan ini sangat bagus. inspiratif. sy sangat setuju dgn pendapat njenengan. uang bukanlah segalanya.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapustragis haru biru
BalasHapushummm....
BalasHapussetuju ma samsul aripin
hummm....
BalasHapussetuju ma samsul aripin
pada akhrinya saya juga berfikir begitu, tapi bagaimanapun juga harus selesai kuliah itu yg jadi pikiran... hmm....
BalasHapusseandainya orang tua saya membaca ini, hihi...