Aku sedang mencuci mobil ketika seorang mbak-mbak yang cantik masuk ke halaman galeri membawa amplop besar. Wajahnya intelek tapi cuek aja masuk ke ruangan yang masih tertulis closed. Aku hampiri dan menanyakan keperluannya yang ternyata mau memasukan lamaran pekerjaan.
"Masih terlalu pagi, mbak. Kantor belum buka. Tinggal aja CVnya."
"Ga ah, makasih. Tar aja kesini lagi..." Cuman gitu doang trus ngeloyor pergi kayak jaelangkung.
Aku langsung instropeksi diri. Kenapa ya masih ada orang membuang muka. Apakah karena bangun tidur ku terus mandiin mobil, padahal orangnya belum? Dan ini persis seperti pas pembukaan lamaran pertama dulu. Ada yang ngotot mau ketemu direktur.
Dan agaknya ini berkaitan dengan wawancara pada tahap selanjutnya. Pada pertanyaan, kalo diterimanya jadi cleaning service mau ga..? Dengan senang hati hampir semuanya geleng kepala. Ada apa yah, jabatan itu..?
Salahkah aku yang pernah menganalogikan diri sebagai sepatu boot, sehingga pekerjaan sekotor apapun selalu aku embat saja asalkan halalan toyibah? Dan aku selalu berpikir, sesuatu yang dekat dengan asumsi "hina" asalkan kita bisa membawa diri ke tempat yang tepat, orang tidak akan memandang rendah lagi.
Cobalah kita amati ke sekeliling sejenak. Dulu, kalo orang mendengar kata sepatu plus embel-embel boot, yang terlintas di pikiran selalu lumpur, kuli, bau dan segala yang tidak enak. Tapi kenyataannya dengan sedikit polesan, abg abg sekarang, bahkan selebritis sudah tak malu lagi mengenakannya ke mall atau jingkrak-jingkrak di panggung tv.
Untuk apa kita merasa hina dengan sebutan "pembantu" padahal nyatanya kita seorang pengangguran. Sedangkan sejak dulu pun pejabat tak malu menggunakan istilah pembantu gubernur, ketika istilah residen harus di Indonesiakan.
Jadi...
Haruskan analogi sepatu bootku itu terus aku bina...
atau binasakan saja...
demi gengsi...
walau tanpa isi...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
itulah cerminan bangsa kita. jabatan sebagai 'koruptor' malah dijunjung tinggi saat ini.
BalasHapus