04 Oktober 2008

Mampukah menjadi ombak

Sebuah notes tertulis di Communicatorku. Aku jadi seringkali terdiam agak lama membaca catatan kecil jagoanku itu. Belum bisa terlupakan percakapan dengan jagoan di tepi pantai beberapa hari lalu...

"Adi suka ke pantai kalo kangen, yah..."
"Kenapa? Ayah malah suka ke gunung. Di pantai kan panas."
"Kalo lihat ombak, adi inget ayah."
"Kok ayah disamain ombak?"

"Adi seperti pasir yang engga bisa kemana-mana, yah. Adi ingin ayah seperti ombak. Ga pernah capek nengokin pasir di pantai...."

Celoteh anak kecil yang meluncur ringan itu terasa banget menusuk sampai saat ini. Seorang ayah yang tak bertanggungjawab menghilang hampir satu tahun, ternyata tak juga melunturkan sebuah ungkapan pengakuan, Ayah.

Tapi pengakuan itu justru membuatku malu dengan sebutan itu. Sepertinya sebutan pecundang lebih pantas daripada analogi sebagai ombak. Bisakah aku benar-benar menjadi ombak yang tak pernah lelah membelai pasir kecil itu. Mampukah sapuan ombak itu mengikis kerasnya karang yang mengurung pasir itu agar bisa bebas bercengkrama dengan angin laut?

Huuuh...
Ayah..???

2 comments:

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena