Namanya Uweldi. Seorang petugas keamanan di kantor yang sebenarnya tak perlu sampai begitu. Waktu perusahaan tambang belum berdiri, beliaulah tuan tanah tempat kantor ini dibangun. Begitu luas kebun karet yang dia kelola. Namun tertarik memiliki uang hampir 300 juta secara instan, lahan usahanya itu berpindah tangan dengan nilai penggantian sekitar 15 juta per hektar.
Tak lagi memiliki usaha, dia melamar menjadi karyawan tambang. Kurangnya skil yang dia miliki membuatnya harus merelakan diri menjadi seorang satpam. Posisi itupun sebenarnya sedikit dipaksakan karena tidak ada dasar pengetahuan keamanan sama sekali, selain modal sebagai yang punya kawasan. Dia termasuk rajin dalam bekerja dan tak pernah aku lihat bolos. Namun dia memiliki kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain dan tak jarang main hajar saat terjadi salah komunikasi. Tak heran ketika latihan rutin, ada polisi instruktur yang digamparnya. Kadang diapun tak pernah merasa bersalah ketika ngantor sambil bertelanjang dada.
Di mataku, Uweldi adalah simbol budaya lokal yang jarang berpikir panjang tentang status. Bukan bermaksud rasialis, namun aku melihat begitu banyak perbedaan kebiasaan penduduk setempat dengan pendatang. Bila kita jalan-jalan di daerah Danau Salak yang didominasi pendatang dari Jawa, perkebunan karet rakyat begitu teratur dan terawat. Berbeda dengan perkebunan karet di seputaran tambang yang dikelola penduduk setempat, tanaman karet seperti tumbuh liar dan tak ubahnya hutan penuh belukar.
Padahal dengan dirawat teratur, satu hektar lahan karet bisa menghasilkan sekitar satu kuintal getah karet mentah perbulan dengan harga perkilonya saat ini mencapai 17 ribu perak di tempat. Tanpa perawatan yang baik, wajar bila menjual tanah dianggap lebih menghasilkan uang karena hasilnya tak seberapa. Seolah tak pernah ada rasa kehilangan atas tanahnya, karena setelah tak punya lahan dia bisa buka hutan untuk mendapatkan lahan baru. Mungkin itu sangat masuk logika ekonomi. Toh dia juga bisa maksa kerja di perusahaan yang membeli tanahnya daripada sekedar jadi pekebun. Bisa jadi dia berpikir jadi karyawan berseragam lebih terhormat daripada petani karet yang dekil. Melupakan bahwa dengan profesi petaninya itu dia berhak menyandang gelar sebagai seorang entrepreneur.
Walau pilihan hidup merupakan hak masing-masing orang, tetap saja aku merasa iba dengan pola pikir semacam itu. Kapan penduduk lokal bisa maju bila mereka lebih suka menjadi warga jajahan di tanah airnya sendiri. Sementara kekayaan alam dari perut buminya dikeruk habis-habisan dan uangnya diboyong ke Jawa atau bahkan keluar negeri hanya menyisakan sedikit saja di kantong penguasa setempat.
Kapan Uweldi dan Uweldi yang lain bisa diberdayakan agar mereka menjadi penguasa ekonomi di tanahnya sendiri..?
Tak lagi memiliki usaha, dia melamar menjadi karyawan tambang. Kurangnya skil yang dia miliki membuatnya harus merelakan diri menjadi seorang satpam. Posisi itupun sebenarnya sedikit dipaksakan karena tidak ada dasar pengetahuan keamanan sama sekali, selain modal sebagai yang punya kawasan. Dia termasuk rajin dalam bekerja dan tak pernah aku lihat bolos. Namun dia memiliki kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain dan tak jarang main hajar saat terjadi salah komunikasi. Tak heran ketika latihan rutin, ada polisi instruktur yang digamparnya. Kadang diapun tak pernah merasa bersalah ketika ngantor sambil bertelanjang dada.
Di mataku, Uweldi adalah simbol budaya lokal yang jarang berpikir panjang tentang status. Bukan bermaksud rasialis, namun aku melihat begitu banyak perbedaan kebiasaan penduduk setempat dengan pendatang. Bila kita jalan-jalan di daerah Danau Salak yang didominasi pendatang dari Jawa, perkebunan karet rakyat begitu teratur dan terawat. Berbeda dengan perkebunan karet di seputaran tambang yang dikelola penduduk setempat, tanaman karet seperti tumbuh liar dan tak ubahnya hutan penuh belukar.
Padahal dengan dirawat teratur, satu hektar lahan karet bisa menghasilkan sekitar satu kuintal getah karet mentah perbulan dengan harga perkilonya saat ini mencapai 17 ribu perak di tempat. Tanpa perawatan yang baik, wajar bila menjual tanah dianggap lebih menghasilkan uang karena hasilnya tak seberapa. Seolah tak pernah ada rasa kehilangan atas tanahnya, karena setelah tak punya lahan dia bisa buka hutan untuk mendapatkan lahan baru. Mungkin itu sangat masuk logika ekonomi. Toh dia juga bisa maksa kerja di perusahaan yang membeli tanahnya daripada sekedar jadi pekebun. Bisa jadi dia berpikir jadi karyawan berseragam lebih terhormat daripada petani karet yang dekil. Melupakan bahwa dengan profesi petaninya itu dia berhak menyandang gelar sebagai seorang entrepreneur.
Walau pilihan hidup merupakan hak masing-masing orang, tetap saja aku merasa iba dengan pola pikir semacam itu. Kapan penduduk lokal bisa maju bila mereka lebih suka menjadi warga jajahan di tanah airnya sendiri. Sementara kekayaan alam dari perut buminya dikeruk habis-habisan dan uangnya diboyong ke Jawa atau bahkan keluar negeri hanya menyisakan sedikit saja di kantong penguasa setempat.
Kapan Uweldi dan Uweldi yang lain bisa diberdayakan agar mereka menjadi penguasa ekonomi di tanahnya sendiri..?