Saat pulang dari tambang tengah malam kemarin, aku melihat ada keramaian di pinggir jalan tak begitu jauh dari tambang. Malam tadi aku samperin kesana dan ternyata itu adalah acara pemugaran makam secara adat Hindu Kaharingan. Kegiatan pokoknya sebenarnya hanya memugar makam tua yang mulai rusak nisannya. Tapi menjadi begitu ramai bak pasar malam karena berkaitan dengan itu, diadakan acara perjudian selama 7 hari 7 malam nonstop.
Penasaran dengan acara langka yang cuma bisa aku temukan di Kalimantan, aku sempatkan ngobrol dengan tetua setempat yang bernama pak Wanterlin. Dengan panjang lebar beliau cerita tentang Dayak Maanyan dan agama Kaharingan walau aku cuma bisa tangkap sepotong-sepotong, karena banyak istilah lokal yang susah aku pahami. Mungkin aku harus ngobrol lagi dengan beliau dengan membawa alat tulis atau alat perekam.
Ada yang menarik dengan kepercayaan Kaharingan ini yang aku lihat banyak benang merah dengan berbagai kepercayaan lainnya di muka bumi. Seperti proses penciptaan manusia berawal dari seorang laki-laki yang muncul dari tanah dan disusul seorang perempuan turun dari langit. Filosofi asal dari tanah identik dengan penciptaan Adam. Keyakinan bahwa manusia memiliki 4 saudara spiritual juga hampir mirip dengan falsafah Kejawen, sedulur papat kelimo pancer. Penjelasan tentang 4 unsur itu juga mirip dengan pola keseimbangan 4 elemen dalam budaya China sebagai penjaga keseimbangan yin yang.
Identiknya filosofi Kaharingan dengan Kejawen bisa dimengerti dengan adanya legenda yang menceritakan bahwa leluhur Suku Dayak berasal hasil perkawinan laki-laki pribumi Kalimantan dan perempuan dari Jawa. Sehingga wajar bila orang Dayak merasa memiliki pertalian spiritual yang kuat dengan orang Jawa. Bahasa Maanyan juga memiliki cukup banyak persamaan kosa kata dengan bahasa Jawa. Seperti berapa yang dalam bahasa Jawa disebut pira, dalam bahasa Maanyan dilafalkan pire. Lima menjadi lime, duapuluh lima diucapkan sama sebagai selawe.
Bila Kejawen disebut sebagai agama Jawa purba yang muncul sebelum agama-agama besar lainnya ada, Kaharingan pun dianggap begitu. Menurut orang Dayak, Kaharingan telah ada sejak awal penciptaan sejak Ranying Hatalla Langit menciptakan alam semesta. Datangnya agama-agama impor ke tengah orang Dayak menyebabkan Kaharingan dipandang sebagai agama Helo (agama lama), agama Huran (agama kuno), agama Tato-hiang (agama nenek-moyang), bahkan ada yang mengatakan sebagai agama kafir.
Baru pada jaman Perang Dunia II, penguasa militer Jepang mengangkat kepercayaan Kaharingan ke tempat yang terhormat. Nama Kaharingan juga baru dimunculkan saat itu oleh Tjilik Riwut pada tahun 1944, saat beliau menjabat Residen Sampit yang berkedudukan di Banjarmasin. Untuk mencari dukungan dari orang-orang Dayak, penguasa militer Jepang menyatakan Agama Kaharingan ada kaitannya dengan Agama Shinto. Karena itu pada zaman Jepang, untuk kali pertama agama suku ini diangkat dan diterima sebagai agama yang terpandang bahkan dijadikan partner serius pemerintah dalam menangani kebudayaan.
Pada jaman Orde Baru, pemerintah Indonesia mewajibkan warganegaranya untuk menganut salah satu agama resmi yang diakui oleh negara. Hal ini mengakibatkan kebingungan tersendiri bagi masyarakat Dayak yang menganut kepercayaan Kaharingan. Di satu pihak mereka harus memilih salah satu dari agama-agama yang diakui pemerintah. Sementara di pihak lain ajaran-ajaran yang ditawarkan oleh para misionaris dan penyebar agama tersebut dianggap tidak dapat mewadahi kepercayaan asli mereka. Pada akhirnya para penganut kepercayaan Kaharingan memilih agama Hindu Dharma sebagai agama resmi mereka karena adanya persamaan mendasar dalam kehidupan spiritual di antara keduanya. Sejak saat itulah muncul istilah Hindu Kaharingan.
Ketika kekuasaan Orde Baru bangkrut, timbul perpecahan di antara umat Hindu Kaharingan. Sebagian dari mereka menyatakan tetap bergabung dengan agama Hindu Dharma dengan tetap mengakui PHDI sebagai lembaga tertinggi umat Hindu yang resmi diakui oleh pemerintah. Sebagian lagi menginginkan Hindu Kaharingan sebagai agama yang berdiri sendiri sejajar dengan agama lain. Mereka juga telah membuat majelis umat tersendiri di luar PHDI dengan nama Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) yang berpusat di Palangkaraya.
Saat ini, suku Dayak sudah diperbolehkan mencantumkan agama Kaharingan dalam KTP. Suku Dayak yang melakukan upacara perkawinan menurut adat Kaharingan, diakui pula pencatatan perkawinan tersebut oleh negara. Menurut Wikipedia, hingga tahun 2007, Badan Pusat Statistik mencatat penganut Kaharingan di Indonesia ada 223.349 orang. Kaharingan juga mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Kitab agama mereka adalah Panaturan dan buku-buku agama lain seperti Talatah Basarah (kumpulan doa), Tawar (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras) dan sebagainya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Pangunraung yang sudah jarang dikenal oleh masyarakat awam. Ini merupakan versi halus dari bahasa Dayak yang mungkin bisa disamakan dengan bahasa halus dalam budaya Jawa yang digunakan dalam pedalangan.
Menarik sekali membicarakan budaya asli Nusantara ini. Cuma sayang aku belum bisa memberikan secara detil termasuk istilah-istilah yang digunakan karena aku tidak bawa alat tulis semalam. Bila ada kesempatan, aku coba ngobrol lagi deh dengan pak Wanterlin. Senang juga melihat kekayaan spiritual budaya bangsa sendiri yang beraneka ragam. Buat yang sok fanatik dan suka bikin keributan dengan perbedaan keyakinan, kelaut aja dah...
--- bersambung
Penasaran dengan acara langka yang cuma bisa aku temukan di Kalimantan, aku sempatkan ngobrol dengan tetua setempat yang bernama pak Wanterlin. Dengan panjang lebar beliau cerita tentang Dayak Maanyan dan agama Kaharingan walau aku cuma bisa tangkap sepotong-sepotong, karena banyak istilah lokal yang susah aku pahami. Mungkin aku harus ngobrol lagi dengan beliau dengan membawa alat tulis atau alat perekam.
Ada yang menarik dengan kepercayaan Kaharingan ini yang aku lihat banyak benang merah dengan berbagai kepercayaan lainnya di muka bumi. Seperti proses penciptaan manusia berawal dari seorang laki-laki yang muncul dari tanah dan disusul seorang perempuan turun dari langit. Filosofi asal dari tanah identik dengan penciptaan Adam. Keyakinan bahwa manusia memiliki 4 saudara spiritual juga hampir mirip dengan falsafah Kejawen, sedulur papat kelimo pancer. Penjelasan tentang 4 unsur itu juga mirip dengan pola keseimbangan 4 elemen dalam budaya China sebagai penjaga keseimbangan yin yang.
Identiknya filosofi Kaharingan dengan Kejawen bisa dimengerti dengan adanya legenda yang menceritakan bahwa leluhur Suku Dayak berasal hasil perkawinan laki-laki pribumi Kalimantan dan perempuan dari Jawa. Sehingga wajar bila orang Dayak merasa memiliki pertalian spiritual yang kuat dengan orang Jawa. Bahasa Maanyan juga memiliki cukup banyak persamaan kosa kata dengan bahasa Jawa. Seperti berapa yang dalam bahasa Jawa disebut pira, dalam bahasa Maanyan dilafalkan pire. Lima menjadi lime, duapuluh lima diucapkan sama sebagai selawe.
Bila Kejawen disebut sebagai agama Jawa purba yang muncul sebelum agama-agama besar lainnya ada, Kaharingan pun dianggap begitu. Menurut orang Dayak, Kaharingan telah ada sejak awal penciptaan sejak Ranying Hatalla Langit menciptakan alam semesta. Datangnya agama-agama impor ke tengah orang Dayak menyebabkan Kaharingan dipandang sebagai agama Helo (agama lama), agama Huran (agama kuno), agama Tato-hiang (agama nenek-moyang), bahkan ada yang mengatakan sebagai agama kafir.
Baru pada jaman Perang Dunia II, penguasa militer Jepang mengangkat kepercayaan Kaharingan ke tempat yang terhormat. Nama Kaharingan juga baru dimunculkan saat itu oleh Tjilik Riwut pada tahun 1944, saat beliau menjabat Residen Sampit yang berkedudukan di Banjarmasin. Untuk mencari dukungan dari orang-orang Dayak, penguasa militer Jepang menyatakan Agama Kaharingan ada kaitannya dengan Agama Shinto. Karena itu pada zaman Jepang, untuk kali pertama agama suku ini diangkat dan diterima sebagai agama yang terpandang bahkan dijadikan partner serius pemerintah dalam menangani kebudayaan.
Pada jaman Orde Baru, pemerintah Indonesia mewajibkan warganegaranya untuk menganut salah satu agama resmi yang diakui oleh negara. Hal ini mengakibatkan kebingungan tersendiri bagi masyarakat Dayak yang menganut kepercayaan Kaharingan. Di satu pihak mereka harus memilih salah satu dari agama-agama yang diakui pemerintah. Sementara di pihak lain ajaran-ajaran yang ditawarkan oleh para misionaris dan penyebar agama tersebut dianggap tidak dapat mewadahi kepercayaan asli mereka. Pada akhirnya para penganut kepercayaan Kaharingan memilih agama Hindu Dharma sebagai agama resmi mereka karena adanya persamaan mendasar dalam kehidupan spiritual di antara keduanya. Sejak saat itulah muncul istilah Hindu Kaharingan.
Ketika kekuasaan Orde Baru bangkrut, timbul perpecahan di antara umat Hindu Kaharingan. Sebagian dari mereka menyatakan tetap bergabung dengan agama Hindu Dharma dengan tetap mengakui PHDI sebagai lembaga tertinggi umat Hindu yang resmi diakui oleh pemerintah. Sebagian lagi menginginkan Hindu Kaharingan sebagai agama yang berdiri sendiri sejajar dengan agama lain. Mereka juga telah membuat majelis umat tersendiri di luar PHDI dengan nama Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) yang berpusat di Palangkaraya.
Saat ini, suku Dayak sudah diperbolehkan mencantumkan agama Kaharingan dalam KTP. Suku Dayak yang melakukan upacara perkawinan menurut adat Kaharingan, diakui pula pencatatan perkawinan tersebut oleh negara. Menurut Wikipedia, hingga tahun 2007, Badan Pusat Statistik mencatat penganut Kaharingan di Indonesia ada 223.349 orang. Kaharingan juga mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Kitab agama mereka adalah Panaturan dan buku-buku agama lain seperti Talatah Basarah (kumpulan doa), Tawar (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras) dan sebagainya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Pangunraung yang sudah jarang dikenal oleh masyarakat awam. Ini merupakan versi halus dari bahasa Dayak yang mungkin bisa disamakan dengan bahasa halus dalam budaya Jawa yang digunakan dalam pedalangan.
Menarik sekali membicarakan budaya asli Nusantara ini. Cuma sayang aku belum bisa memberikan secara detil termasuk istilah-istilah yang digunakan karena aku tidak bawa alat tulis semalam. Bila ada kesempatan, aku coba ngobrol lagi deh dengan pak Wanterlin. Senang juga melihat kekayaan spiritual budaya bangsa sendiri yang beraneka ragam. Buat yang sok fanatik dan suka bikin keributan dengan perbedaan keyakinan, kelaut aja dah...
--- bersambung
hmmm.. artikel benar-benar membuka wawasan warisan budaya indonesia mas.. sebelumnya aku gak tahu kalau orang2 dayak itu menganut agama hindu (kaharingan)..
BalasHapusbaru tahu kalau dayak ada 'pertalian' dengan jawa, mas. ternyata walau terpisah lautan dayak dan jawa memang sudah menjadi 'saudara' sejak lama ya?
BalasHapusacara perjudian selama 7 hari 7 malam nonstop..? emangnya selama itu gak kerja? ya ampun....
BalasHapusBanyak sekali budaya di Indonesia ya? Pasti menarik membicarakannya satu persatu.
BalasHapusOK deh... ditunggu sambungannya, Om. Jangan lupa bawa kertas ama pena, biar bisa nyatet semuanya.
BalasHapusWah, mantab banget info kaharingan nya mas. Salute mas rawins ma tulisannya.
BalasHapusBoleh njuluki rawinspedia neh kalo pas mbahas beginian. Ya belih?
He
anang...
BalasHapussebagian yang masih menganut kaharingan. sebagian lagi sudah menganut agama lain. cuma memang jadi sedikit terpecah. tapi yang menganut islam seolah enggan disebut suku dayak dan mengatakan dirinya orang banjar
bu reni...
jangankan dengan orang jawa, dengan orang madagskar saja mereka masih satu rumpun. 45% kosakata malagasi suku merina sama dengan bahasa maanyan
soal judi 7 hari, tar deh aku cerita di jurnal selanjutnya...
cerbok...
BalasHapusjangan sampe segitunya lah. bukan ilmu pengetahuan kok. itu cuma curhatan gajelas doang...
gak ngerti ah.. kadang orang ngomong itu budaya, sebagai alasan pembenaran buat ngelakuin yang gak bener.
BalasHapustapi ya kita wajib menghormati to?.. lha wong namanya budaya je..
kaharingan jarang sekali terdengar, karena merupakan agama tua dari suku dayak. dan masih dianggap kepercayaan oleh pemerintah, sehingga agama ini dianggap budaya dan bukan agama, jadi mau tak mau, suku dayak dikerucutkan oleh 6 agama nasional yang ada. trims mas artikelnya, jadi lebih banyak tau soal kaharingan.
BalasHapusDab...
BalasHapussebenarnya ga susah. yang penting kuncinya kita ga mengukur badan kita ketika akan membuat baju untuk orang lain..
kamaropini..
ya begitulah, ketika negara ikut serta mengurusi masalah keyakinan. menyimpang tidak menyimpang kan tidak bisa dilihat dari apa yang diyakini suatu kaum. tapi merugikan negara atau masyarakat apa tidak. daripada usilin itu aku pikir lebih baik gunakan energi untuk brantas korupsi...
hahahahaha
BalasHapusmanggilna cerbok, ihh
kerenan bicidi owh mas.. Hehe
pemugaran makam, berarti dibongkar gitu kah??
BalasHapus