Hidup di daerah Kalimantan yang berawa-rawa memang memiliki keunikan tersendiri. Rumah-rumah panggung menjadi satu ciri khas daerah yang bahkan masih dipertahankan oleh mereka yang rumahnya tidak di atas rawa. Awalnya aku sempat heran melihat rumah berlantai keramik berdinding tembok dibangun di atas panggung kayu tanpa pondasi batu dan semen. Namun setelah dijelaskan oleh teman tentang kehebatan kayu ulin, sedikit banyak aku mulai bisa mengerti.
Tanah rawa yang lembek membutuhkan biaya mahal bila harus pasang pondasi sebagaimana umumnya rumah-rumah di Jawa. Apalagi bila ditambah dengan biaya pengurukan, jauh lebih mahal dibandingkan dengan penggunaan tiang rumah dari kayu ulin. Apalagi katanya, rumah temanku itu sudah berumur 10 tahun lebih dan belum pernah diganti tiang-tiang panggungnya. Bisa dibayangkan kekuatan kayu ulin menahan beban dinding tembok, lantai keramik dan segala perabotan di atasnya.
Ulin atau disebut juga kayu besi adalah pohon kayu khas Kalimantan. Kayu hutan liar ini juga dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi jembatan, tiang listrik, dan perkapalan. Ulin merupakan salah satu jenis kayu hutan tropika basah yang tumbuh secara alami di Kalimantan dan katanya di wilayah Sumatera bagian selatan.
Ulin termasuk jenis pohon besar yang tingginya dapat mencapai 50 m dengan diameter sampai 120 cm. Pohon ini tumbuh pada dataran rendah, terpencar atau mengelompok dalam hutan campuran namun sangat jarang dijumpai di habitat rawa-rawa. Kayu Ulin tahan terhadap perubahan suhu, kelembaban, dan pengaruh air laut sehingga sifat kayunya sangat berat dan keras. Pertumbuhannya termasuk lambat. Untuk mencapai diameter 20 cm saja diperlukan waktu antara 20 - 25 tahun. Itulah sebabnya ulin jarang dibudidayakan termasuk oleh pengelola HPH. Maunya tinggal tebang dan pembudidayaannya diserahkan sepenuhnya kepada alam. Tanpa ada perhatian pemerintah dan masyarakat atas kesemena-menaan akan kayu ulin, kayaknya suatu saat kekayaan alam khas kita ini bisa habis dari bumi Borneo.
Alam memang seringkali membuat kesukaran bagi kita. Namun dilain sisi, alam juga selalu memberikan solusi untuk kita mengatasi masalah tersebut. Masalahnya adalah, mampukah kita membaca tanda-tanda alam untuk menemukan solusi itu plus menjaga agar tidak punah.
Stop pembalakan liar
Anak cucu kita juga berhak warisan khas Kalimantan ini
Agar mereka tak hanya tahu "ulin" nya orang Sunda semata...
Tanah rawa yang lembek membutuhkan biaya mahal bila harus pasang pondasi sebagaimana umumnya rumah-rumah di Jawa. Apalagi bila ditambah dengan biaya pengurukan, jauh lebih mahal dibandingkan dengan penggunaan tiang rumah dari kayu ulin. Apalagi katanya, rumah temanku itu sudah berumur 10 tahun lebih dan belum pernah diganti tiang-tiang panggungnya. Bisa dibayangkan kekuatan kayu ulin menahan beban dinding tembok, lantai keramik dan segala perabotan di atasnya.
Ulin atau disebut juga kayu besi adalah pohon kayu khas Kalimantan. Kayu hutan liar ini juga dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi jembatan, tiang listrik, dan perkapalan. Ulin merupakan salah satu jenis kayu hutan tropika basah yang tumbuh secara alami di Kalimantan dan katanya di wilayah Sumatera bagian selatan.
Ulin termasuk jenis pohon besar yang tingginya dapat mencapai 50 m dengan diameter sampai 120 cm. Pohon ini tumbuh pada dataran rendah, terpencar atau mengelompok dalam hutan campuran namun sangat jarang dijumpai di habitat rawa-rawa. Kayu Ulin tahan terhadap perubahan suhu, kelembaban, dan pengaruh air laut sehingga sifat kayunya sangat berat dan keras. Pertumbuhannya termasuk lambat. Untuk mencapai diameter 20 cm saja diperlukan waktu antara 20 - 25 tahun. Itulah sebabnya ulin jarang dibudidayakan termasuk oleh pengelola HPH. Maunya tinggal tebang dan pembudidayaannya diserahkan sepenuhnya kepada alam. Tanpa ada perhatian pemerintah dan masyarakat atas kesemena-menaan akan kayu ulin, kayaknya suatu saat kekayaan alam khas kita ini bisa habis dari bumi Borneo.
Alam memang seringkali membuat kesukaran bagi kita. Namun dilain sisi, alam juga selalu memberikan solusi untuk kita mengatasi masalah tersebut. Masalahnya adalah, mampukah kita membaca tanda-tanda alam untuk menemukan solusi itu plus menjaga agar tidak punah.
Stop pembalakan liar
Anak cucu kita juga berhak warisan khas Kalimantan ini
Agar mereka tak hanya tahu "ulin" nya orang Sunda semata...
setuju, jangan main tebang aja dong. masa prinsipnya gitu sih? diserahkan ke alam? padahal alam juga bisa murka.
BalasHapussaya dulu juga nggumon mas ama rumah-rumah di sini. kok ndak ambruk yo? padahal pondasinya dari kayu aja. trus kalau ada truk lewat ngrasain getaran gitu, kayak gempa kecil...
Aku tinggal di rumah ulin sewaktu kerja di Kalimantan dulu. Tinggal bersama satu keluarga yang berisik banget. Kalo mereka jalan di dalam rumah, seluruh lantai rumah bergetar, alhasil aku sering nggak bisa tidur dan gampang terbangun, hihihi..
BalasHapusulin kalo bahasa sunda itu tidur kalo nggak salah ya? di kalimantan nama kayu. hehe
BalasHapus